Dimensi Rakaluna

Dimensi Rakaluna

Dunia yang Asing

Di sebuah kota kecil di dimensi teknologi yang biasa saja, hiduplah seorang pria bernama Raka. Bukan seorang pahlawan, bukan pula orang penting—dia hanya seorang penjual keliling yang senang berpetualang dan tidak pernah bisa menolak godaan untuk mencoba hal baru, meski sering kali berakhir dengan masalah. Hari itu, langit di atas kota begitu cerah, namun di dalam benak Raka, selalu ada rasa gelisah yang tak pernah bisa diabaikan. Keinginan untuk meninggalkan rutinitas membosankan dan menemukan sesuatu yang baru selalu membakar hatinya.

Dengan sepeda motornya yang sudah tua namun setia, Raka berkeliling pasar, menjual pernak-pernik yang ia kumpulkan dari berbagai penjuru kota. "Barang-barang antik! Barang-barang aneh! Siapa tahu, kalian butuh sesuatu yang tak pernah kalian sadari sebelumnya!" teriaknya sambil tersenyum lebar pada kerumunan yang lalu-lalang.

Di tengah perjalanan pulangnya, Raka melewati toko tua yang sudah lama ia abaikan. Toko itu terletak di sudut jalan kecil, terjepit di antara dua gedung tinggi yang lebih modern. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk berhenti. Dia menatap papan nama yang sudah pudar, bertuliskan “Barang-Barang Kuno dan Rahasia.” Namanya cukup menarik perhatian, meskipun Raka tahu bahwa tempat seperti ini biasanya menjual barang-barang yang tidak berguna. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat dari logika. Dia mendorong pintu kayu yang berderit dan masuk.

Di dalam, suasananya redup. Rak-rak dipenuhi benda-benda berdebu yang terlihat tidak terawat. Pemilik toko, seorang pria tua dengan kacamata tebal, menyapanya tanpa banyak bicara. "Mencari sesuatu yang spesial, Nak?"

Raka mengedarkan pandangannya ke seluruh toko, tangannya menyentuh satu-dua benda tanpa niat membeli. "Sebenarnya, saya hanya ingin lihat-lihat. Tapi siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang menarik." Tawa kecil keluar dari mulutnya, namun pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah benda di sudut ruangan, tertutup kain lusuh. Sesuatu tentang benda itu menarik perhatiannya—entah bentuknya, atau mungkin auranya yang berbeda dari barang lain di toko itu.

"Yang itu?" tanya pemilik toko sambil mengangkat alisnya. "Ah, itu cuma barang antik yang rusak. Alat kuno yang tidak bisa digunakan lagi. Saya tidak yakin fungsinya, tapi kamu boleh membawanya kalau tertarik."

Dengan rasa penasaran, Raka berjalan mendekat dan mengangkat kain yang menutupi benda itu. Sebuah kotak logam kecil dengan tombol-tombol di permukaannya terlihat. Benda itu terlihat tua dan rumit, seperti teknologi dari masa lalu yang sudah dilupakan. Tanpa pikir panjang, Raka mengambil kotak itu dan mengamatinya. "Berapa harganya?"

"Ah, anggap saja hadiah. Barang itu hanya duduk di sana dan tidak ada yang membutuhkannya," jawab si pemilik toko, tersenyum tipis.

Dengan semangat yang tiba-tiba, Raka membayar sedikit barang-barang lain yang ia ambil dan membawa alat misterius itu pulang. Di rumah kecilnya yang sederhana, rasa penasaran semakin membakar dirinya. Ia duduk di kursi usang di tengah ruangan, memandangi kotak itu. "Apa ini?" gumamnya sambil menekan salah satu tombol di atasnya.

Saat itu juga, dunia di sekitarnya berubah drastis.

Cahaya terang menyilaukan mata Raka, dan dalam sekejap, ia merasa seperti terhisap ke dalam pusaran energi yang tidak terlihat. Segalanya terasa melayang, dan sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya mendarat dengan keras di atas tanah yang asing. Ia merasakan aroma yang berbeda, mendengar suara angin berdesir melalui pepohonan yang aneh. Ia sudah tidak berada di dimensi asalnya lagi.

"Dimana aku...?" Raka meraba-raba tanah di bawahnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Sekelilingnya bukan lagi kota kecil yang biasa ia kenal. Pohon-pohon besar dengan daun berkilauan berdiri menjulang, dan di kejauhan, ia bisa melihat istana besar yang tampak seperti keluar dari cerita dongeng. Di langit, awan bergerak dengan warna-warna yang tidak biasa, seolah-olah alam di sini hidup dengan cara yang berbeda.

Raka mengedarkan pandangannya, mencoba mencerna semua yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon besar dengan daun berkilauan, tanah yang terasa lembut di bawah kakinya, dan suara burung-burung aneh yang bernyanyi di kejauhan. “Ini pasti mimpi… ya, mimpi buruk!” gumamnya, mulutnya terbuka lebar sambil melihat sekeliling dengan kebingungan yang kentara.

“Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apa ini dimensi... fantasi? Sihir? Apa aku baru saja jatuh ke dalam buku dongeng?” Suaranya naik beberapa oktaf saat ia berjalan mondar-mandir, terlihat seperti anak kecil yang tersesat di taman hiburan. “Oke, tenang, Raka. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya harus menekan tombol yang benar dan—"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara langkah kaki yang berat di belakangnya. Ia menoleh dan terkejut melihat seorang perempuan muda dengan gaun mewah yang tampak seperti baru keluar dari buku dongeng.

“Kau siapa?” tanya perempuan itu, suaranya tegas tapi sedikit bergetar, seolah-olah dia juga berada dalam keadaan darurat.

Raka terperanjat, matanya membelalak lebar. “Aku? Siapa aku?” Dia melihat ke sekeliling, seolah-olah berharap ada orang lain di situ yang bisa memberikan jawaban. “Aku... aku Raka! Dan... ini di mana? Apa ini bagian dari permainan? Apa aku sedang di prank? Kamu ini siapa?”

Aluna, yang tidak terbiasa dengan sikap aneh semacam itu, memandangnya dengan bingung. “Aku Aluna, putri dari Kerajaan Eldar. Dan aku bukan sedang bercanda.” Suaranya serius, membuat Raka semakin panik. Ia merogoh sakunya dengan cepat, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya keluar dari situasi ini. Alat dimensi kuno itu masih ada di tangannya, tapi tidak ada yang terjadi ketika ia menekan tombolnya.

Raka mulai berjalan mundur, semakin bingung. "Tidak, tidak, ini pasti mimpi! Aku pasti masih di rumah, atau di toko itu. Iya, aku pasti tertidur di kursi! Mungkin aku kebanyakan makan gorengan tadi pagi, itu dia!"

Aluna hanya mengerutkan kening, lalu mendekatinya. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, tapi aku tahu satu hal: kau jelas bukan dari sini, dan kau harus membantuku. Kita tidak punya waktu. Prajurit kerajaan sedang mencariku, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukanku.”

Raka menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tunggu, tunggu! Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di sini! Aku baru saja menekan tombol ini dan... boom, aku di sini!" Tangannya menunjuk-nunjuk ke alat kecil di tangannya, matanya liar seperti anak kecil yang takut dimarahi.

“Apa itu?” tanya Aluna, melihat alat aneh di tangan Raka.

“Aku... tidak tahu! Ini cuma benda tua yang aku temukan di toko kumuh! Aku bahkan nggak ngerti cara kerjanya!” Raka mengeluh dengan nada putus asa, wajahnya berubah semakin panik. Dia menekan tombol di alat itu beberapa kali, berharap ada sesuatu yang bisa mengembalikannya ke rumah, tapi alat itu hanya bergetar dan mengeluarkan suara aneh, sama sekali tidak membantu.

Aluna memandangnya dengan tatapan yang sedikit kesal. "Alat itu bisa membawamu ke dimensi lain, kan? Kau pasti bisa membawaku keluar dari sini juga."

Raka berhenti sejenak, ekspresinya bingung. “Dimensi lain? Seriusan? Aku pikir ini cuma... mainan rusak atau semacamnya.” Matanya menyipit saat ia menatap alat itu lagi, seakan-akan baru sadar bahwa benda di tangannya mungkin lebih dari sekadar rongsokan antik. Namun, alih-alih merasa bersemangat, ia semakin bingung. “Tapi kenapa harus aku yang diseret ke dalam kekacauan ini? Aku cuma penjual keliling yang... salah pencet tombol!”

Sementara Raka masih merutuk dirinya sendiri, tiba-tiba terdengar suara kuda mendekat. Derap kaki mereka semakin keras, dan jantung Raka langsung melonjak ke tenggorokannya. “Apa itu?” Dia menoleh ke Aluna, dan kali ini benar-benar panik.

“Prajurit kerajaan,” jawab Aluna, dengan suara yang penuh kewaspadaan. “Mereka mencariku. Dan sekarang mereka akan mencarimu juga kalau tahu kau bersamaku.”

Raka mulai gemetar. “Mereka mencarimu? Kenapa mereka mencarimu? Apa yang kau lakukan? Kau... penjahat?”

Aluna menghela napas, frustasi. “Aku kabur dari istana. Mereka ingin menikahkanku dengan pangeran dari kerajaan tetangga, dan aku tidak mau. Jadi aku kabur. Sekarang, kalau kau tidak mau ikut ditangkap, kita harus cepat kabur sebelum mereka menemukan kita!”

Raka hanya bisa menatapnya tanpa berkedip. "Menikah? Pangeran? Apa ini benar-benar dunia sihir? Aku... aku nggak bisa!" Dia memutar-mutar alat di tangannya, menekan tombolnya secara acak. "Ayo, ayo, kerjalah lagi! Bawa aku pulang, bawa aku ke tempat lain! Bawa aku... ke tempat yang tidak ada prajuritnya!" Tangannya gemetar hebat, dan alat itu mengeluarkan suara derak yang tidak menyenangkan.

“Apa yang kau lakukan?” Aluna bertanya, sekarang mulai terlihat sedikit panik juga.

“Aku mencoba menyelamatkan kita, oke? Alat ini berhasil membawaku ke sini, jadi harusnya bisa membawa kita keluar, kan? Harusnya! Aku cuma... butuh... pencet tombol yang tepat!” Raka terus menekan tombol tanpa berpikir, tapi tidak ada yang terjadi kecuali suara-suara aneh dari alat tersebut.

Aluna menghela napas panjang, menatap Raka dengan putus asa. “Kau benar-benar tidak tahu cara menggunakannya, ya?”

Raka hanya bisa mengangkat bahu, tangannya masih memegang alat itu dengan keringat dingin mengucur di dahinya. “Jangan salahkan aku! Ini pertama kalinya aku memegang alat ini!” Di saat yang sama, suara derap kaki semakin mendekat, membuat Raka semakin panik. “Kita mati, kita mati! Ini akhirnya! Aku bahkan belum sempat jual barang daganganku hari ini!”

Aluna menarik napas panjang, menahan diri agar tidak meledak marah. “Dengar, kita tidak akan mati kalau kita segera bergerak. Alat itu tidak bisa diandalkan sekarang, jadi kita harus kabur dengan cara lama—lari.”

Raka menatapnya seolah-olah Aluna baru saja menyarankan sesuatu yang mustahil. “Lari? Dengan kaki? Aku bukan pelari!”

“Baiklah, kau bisa tetap di sini dan tertangkap. Aku akan pergi sekarang,” kata Aluna dengan nada datar, mulai bergerak menjauh.

Raka mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu dengan cepat berlari mengejar Aluna. “Oke, oke! Aku ikut! Tapi kau harus tahu, aku ini lebih cocok naik motor daripada lari marathon!”

Aluna meliriknya dengan kesal tapi juga sedikit geli. “Asal kau bisa menjaga kakimu tetap bergerak, kita mungkin masih punya kesempatan.”

Mereka berdua mulai berlari menyusuri hutan, suara kuda yang semakin mendekat di belakang mereka. Meski Raka masih diliputi kebingungan dan ketakutan, ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai menyadari satu hal—ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah kenyataan, dan ia harus beradaptasi secepat mungkin, atau ia tidak akan pernah kembali ke rumah.

---

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!