Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 4 ~ Kamar 2807
“Dara, tunggu!”
Gadis itu hanya bisa berdecak, tidak jadi membuka pintu mobil lalu berbalik menatap pria yang berada di hadapannya.
“Kenapa lagi sih, aku sibuk,” ujar Dara menatap ke arah lain.
“Kamu tahu kalau kita ….”
“Menurut kamu?” tanya Dara balik dengan nada tidak biasa dan tatapan dingin. Bagaimana tidak, Harsa masih punya nyali untuk menegurnya bahkan terlihat baik-baik saja, meskipun di dalam tadi tampak tidak nyaman. Karena Dara bungkam akan skandal yang dibuat oleh Harsa dan Citra, pria itu merasa di atas angin.
“Aku tidak tahu kalau kalian ternyata bersaudara dan kita juga akan menjadi saudara. Bisa kita cari tempat untuk bicara, aku harus menjelaskan hubunganku dengan Citra.”
“Ah, aku tidak mau dengar apapun karena pengkhianatan tidak butuh alasan. Aku doakan semoga kalian bahagia. Kalau dilihat-lihat lagi, kalian memang cocok karena sama-sama … murahan,” tutur Dara lalu tergelak.
“Eh, lepas!” teriak Dara karena lengan kanannya sudah dicengkram oleh Harsa. “Jadi ini yang bisa kamu lakukan, menyakiti perempuan. Kayaknya kamu harus ganti pakai rok dan ….”
“Dara,” ujar Harsa sambil menunjukan kalau dia menahan emosi. “Aku tahu kamu marah dan kecewa. Aku bisa membahagiakanmu, setelah melepas Citra. Aku tidak mencintainya, dia hanya hiburan saja. Jangan berpura-pura tegar karena aku tahu kamu terluka karena sangat mencintaiku,” tutur Harsa dengan pelan lalu tersenyum tipis seraya mengejek.
Dara menghempaskan cengkaman Harsa dan mendorong tubuh pria itu.
“Apa menurutmu aku bisa bahagia setelah melihat langsung bagaimana hubunganmu dengan Citra?” Dara bahkan terkekeh malas. “Citra hanya hiburan, tidak menutup kemungkinan kamu akan mencari hiburan lagi atau memang kamu sudah biasa hidup bebas. Maaf, aku tidak tertarik.”
Kini gantian Harsa yang terkekeh mendengar penuturan Dara yang mengandung ejekan dan sindiran.
“Jangan sombong, sayang. Perempuan semakin dewasa disebut perawan tua, atau jangan-jangan kamu bukan … perawan lagi.”
“Itu bukan urusanmu.”
“Ahh, jadi itu alasan selalu menolakku. Kita lihat saja, apa kamu bisa mendapatkan pengganti yang bisa lebih dari aku. Sepertinya tidak ada, karena orang-orang seperti kalian memang membutuhkan kami untuk mendukung hidup kalian. Kamu pikir Bunda kamu itu benar-benar mencintai Papaku? Tentu saja karena status keluarga kami.”
Kalau saja kekerasan dan pembunuhan bukan suatu kejahatan, mungkin Dara akan melakukan sesuatu pada tubuh Harsa. Membuat pria itu buta atau tidak bisa berjalan lagi. Ucapan yang baru saja keluar dari mulutnya sangat merendahkan dan menghina dirinya juga Bunda.
“Apa sudah selesai? Telingaku rasanya… gatal mendengar ocehanmu.”
“Mas Harsa,” panggil Citra yang berjalan ke arah mereka.
“Di sini Cit, ini masmu yang paling menyebalkan,” cetus Dara.
“Kalian bicara apa?” Citra memeluk lengan Harsa posesif bahkan menatap Dara lalu menoleh ke arah Harsa di sampingnya. “Jangan bilang kalian merencanakan sesuatu. Dara, kalian sudah putus dan di dalam kamu tidak mengakui kalau kalian pernah ada hubungan. Jadi ….”
“Ya … ya… ya. Ambilah, aku juga sudah bosan.”
“Ingat Dara, jangan sombong. Kamu sudah menyia-nyiakan berlian,” ungkap Harsa.
“Terserah,” ucap Dara lalu memasuki mobilnya mengabaikan pasangan itu yang terlihat akan berdebat.
“Apa maksudnya? Kamu kasih Dara berlian? Kenapa aku nggak?” Cecar Citra dan Harsa hanya menghela pelan dan meninggalkan perempuan itu.
“Harsa!”
***
Dara sedang sibuk di kubikelnya, sejak tadi sore. Padahal seharusnya dia menikmati jatah liburnya dua hari ini, tapi malah diminta lembur. Ucapan Harsa tadi siang sebenarnya cukup membuat naik darah. Selain merendahkan Dara, pria itu juga menantang dan menyombongkan dirinya.
“Hah, dia bilang berlian,” gumam Dara lalu mengalihkan pandangan dari layar komputer karena pikirannya sangat tidak fokus. “Dia tidak lebih dari lempengan besi dan sudah berkarat, bagaimana bisa dia anggap dirinya adalah berlian.”
“Woi, kenapa lo ngomong sendiri?” tanya rekan Dara dari kubikelnya.
“Aku sedang menelpon, “jawab Dara sambil menunjukan ponselnya. “Fokus Dara, fokus. Pak Leo bisa ngamuk kalau kamu sampai salah,” ujarnya lalu kembali menatap layar komputer. Membuat jadwal shift untuk bulan berikutnya, apalagi housekeeper team bertambah personil.
Gelas kopinya sudah kosong, ia memijat tengkuknya yang berat karena lelah dan kantuk. Bahkan sempat menguap dan melirik jam dinding.
Jam sebelas, tapi sudah ngantuk banget. Apa tidur dulu ya, bentaran, batin Dara.
Baru ia berdiri dari kursi, telpon di mejanya berdering.
“Halo.”
“Mbak Dara, ada masalah di lantai 28.”
Hotel tempatnya bekerja termasuk hotel mewah, dengan jumlah tiga puluh lantai di mana paling atas adalah penthouse suite dengan beberapa fasilitas untuk para tamu di lantai tersebut. Sedangkan di lantai dua delapan, digunakan untuk kamar bertipe suite room. Bisa dibilang penghuni penthouse dan suite room adalah kalangan atas dan para sultan.
Masalah apa yang sudah dilakukan oleh bawahannya, membayangkannya saja sudah membuat kepala Dara semakin berdenyut nyeri.
“Masalah?”
“Ada tamu yang tidak terima kamar yang biasa ditempati sudah diberikan untuk tamu lain. Padahal penggantinya suite room juga.”
“Itu bukan urusanku, seharusnya kamu FO manager. Aku tutup ya,” ujar Dara.
“Ehh, Mbak Dara. Tunggu dulu.”
“Apa lagi.”
“Masalahnya, ada petugas housekeeping yang membuat masalah. Silahkan diatasi, sekarang ya. Kamar 2807.”
Dara mengerang pelan lalu beranjak dari kursinya, keluar dari ruangan menuju lift. Ia berada di lantai lima belas. Lantai yang digunakan untuk para pekerja administrasi, sedangkan di lantai berikutnya khusus manajemen dan petinggi hotel.
Saat berada di lift, ia membuka ponsel untuk mengecek jadwal housekeeping yang bertugas di lantai tersebut.
“Padahal senior, tapi kenapa ada masalah.”
Ting.
Dengan langkah pasti dan wajah mengulas senyum dan mengangguk saat berpapasan dengan tamu, Dara akhirnya tiba di kamar 2807. Pintu kamar terbuka dan terdengar suara laki-laki mengoceh, lebih tepatnya marah-marah.
“Selamat malam, saya Dara. Mohon maaf atas ketidaknyamanan,” ujar Dara menganggukan kepala dan tersenyum lalu menatap pria yang suaranya terdengar dari luar.
Wow, satu kata yang terucap meski hanya dalam hati. Pria dengan tubuh tinggi hanya mengenakan jubah mandi dan sandal hotel. Rambutnya agak gondrong karena sampai diikat. Meskipun terbalut jubah, tapi bisa dipastikan kalau tubuh itu tegap dan kokoh (mirip motto produk semen). Pasti sangat nyaman bersandar di dada dan bergelayut manja di leher itu.
“Ini atasan kamu?” ucap pria itu. “Kita lihat bagaimana kemampuannya menyelesaikan masalah. Bukan hanya bermodalkan wajah cantik dan senyum palsu saja.”
“Apa?”
bener 2 meresahkanb dara fdan pandu
terbucin bucinlah kamu..
pegalan katacdisetiap kalimatmya teratur dan ini udah penulis profeaional banget , aku suka npvel seperti ini simple yo the point dan tak bertele tele..aku suka🥰🥰💪