Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Empat hari kemudian.
Pabrik tempat Arman bekerja digemparkan dengan keracunan makanan beberapa pegawai yang disebabkan oleh kue kacamata dan nagasari. Pihak pabrik segera melakukan investigasi pada makanan itu dan ternyata kue itu tidak layak makan.
Yang keracunan sudah mendapatkan pertolongan medis, Arman pun dipanggil untuk mempertanggungjawabkan kue yang direkomendasikan itu.
"Kue-kue itu tidak akan dijual di sini lagi."
"Saya akan mengevaluasinya, kalau memang ada kelalaian maka kue-kue itu tidak akan saya bawa lahi. Tapi kalau tidak ada, maka biarkan kue-kue itu tetap ada di kantin."
"Tidak bisa, Arman. Ini bukan pabrik kamu. Pabrik punya aturannya sendiri. Kalau satu orang yang keracunan, kita bisa menerimanya. Ini ada sepuluh orang dan pabrik harus bertindak tegas di sini."
"Baik."
Sambil berjalan menuju ruangan kerjanya, pikirannya langsung tertuju pada Laila. Janda dua anak itu pasti akan sedih mendengar hal ini. Padahal perempuan itu lagi semangat-semangatnya merintis usaha untuk menghidupi keluarganya.
"Kenapa, Bos?." Tanya Maman, bawahannya.
"Tidak mungkin kalau Laila teledor." Sahut Arman sembari mendaratkan bokongnya pada kursi.
"Namanya juga manusia Bos, pasti ada salahnya."
"Tahu, tapi setahuku Laila tidak akan melakukan hal ceroboh tersebut."
"Terus sekarang mau bagaimana?."
Arman mengusap kasar wajahnya. Memikirkan cara apa yang bisa dilakukannya untuk bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sedangkan di lain tempat, rumah Laila sudah digeruduk puluhan warga sembari dilempari batu. Mereka berteriak meminta Laila segera meninggalkan rumah karena dianggap sengaja mencelakai warga yang lain. Imbas dari keracunan beberapa warga kampung Telaga.
Pecahan kaca sudah berserakan. Laila dan kedua anaknya tidak ada yang berani keluar rumah.
"Halwa takut, Bu?." Anak kecil sudah menangis.
"Ada apa ya sama jualan Ibu?" tanya Ibu Laila sembari menatap Salwa.
Salwa menggeleng, karena tidak mendengarkan jelas. Semua orang yang ada di luar rumahnya bersuara semua.
"Tolong Kakak jaga Adik Halwa, ya. Ibu akan keluar bicara pada mereka."
"Aku takut Ibu kenapa-kenapa." Salwa memegangi erat tangan Ibunya. Tidak rela kalau sampai Ibunya terluka seorang diri.
"Ibu di sini saja" Salwa pun ikut memegangi tangan Ibu Laila.
"Percaya sama Ibu, Ibu akan baik-baik saja."
Kedua anaknya langsung menggeleng. Tetap tidak mau membiarkan Ibunya keluar.
"Aku akan menemani Ibu" ucap Salwa menggenggam tangan kanan Ibu Laila.
Si kecil Halwa pun mengangguk sembari menggenggam tangan kiri sang Ibu. "Aku juga."
"Baik, tapi kalian harus berada di belakang Ibu."
Mereka berdua menggeleng.
"Aku akan di samping Ibu" lanjut Salwa yang diangguki Halwa.
Ibu Laila pun setuju dan mereka keluar bertepatan dengan Arman yang sudah berada di tengah-tengah kerumunan.
"Ada apa? Kenapa kalian merusak rumah kami?." Suara Laila bergetar karena nyalinya tidak cukup besar untuk bicara di depan mereka semua. Apalagi wajah-wajah mereka dipenuhi kemarahan.
Salah satu dari mereka buka suara.
"Kamu telah mencelakai beberapa warga dengan kue kacamata dan nagasari buatanmu. Jadi kamu harus segera pergi dari sini."
Mata berkaca-kaca Laila bertemu pandang dengan mata Arman. Pria itu mengangguk kecil.
Tes
Air matanya menetes. Mata pencahariannya sedang ada masalah. Tentu saja Laila sangat sedih.
"Bicara yang jelas, saya tidak mengerti." Berusaha kuat menghapus air matanya.
"Kue-kue kamu menuntut tumbal karena kamu menggunakan ilmu hitam."
"Tidak, saya tidak menggunakan ilmu hitam." Suara Laila menghilang di ujung tenggorokannya.
"Mana ada maling mau mengaku."
"Sumpah demi Allah, saya berkata jujur. Saya jualan dengan cara benar." Ucapnya lirih.
"Jangan bawa-bawa Tuhan, dasar pembawa sial."
Salwa dan Halwa memeluk Ibu mereka saat beberapa warga mendekat namun sudah ada Arman yang menghadang.
"Hanya laki-laki pengecut yang beraninya pada perempuan lemah. Apalagi ini, kalian main keroyok. Lagi pula warga yang keracunan sudah ditangani medis dan tidak ada yang terluka serius. Mereka sekarang sudah baik-baik saja."
"Sebentar lagi malam, biarkan perempuan ini tinggal di rumahnya dengan tenang. Saya sudah meminta polisi setempat untuk mengusut masalah ini sampai tuntas. Kalau memang perempuan ini bersalah, maka saya sendiri yang akan mengusirnya. Tapi kalau ternyata perempuan ini tidak bersalah, kalian semua harus meminta maaf."
Tanpa diminta seketika mereka membubarkan diri. Kini Arman memutar tubuhnya menghadap Laila dan kedua anaknya.
"Saya akan menjelaskannya nanti, sekarang masuklah. Saya akan berjaga di luar, karena jendela kaca rumah ini sudah pecah semua."
"Terima kasih" Laila segera membawa masuk kedua putrinya.
Salwa dan Halwa bisa tidur setelah Ibu Laila menemaninya. Seperti biasa, perempuan muda itu sanggup menenangkan mereka.
Dari balik gorden yang lebar Laila bicara dengan Arman.
"Pak Arman masih di situ?."
"Iya."
"Anak-anak sudah tidur?."
"Iya."
Kemudian Arman menceritakan kronologi yang terjadi di pabrik tanpa ada yang ditutupi.
"Kenapa bisa ya?." Laila merasa heran.
"Padahal saya membuatnya dari jam sebelas malam, guna menjaga kualitas rasa. Kalau ditaruh di suhu ruang dua hari masih bagus."
"Saya juga heran, kenapa ini bisa terjadi."
Arman juga menceritakan laporannya yang tidak main-main. Untuk mengusut tuntas masalah ini. Sampai benar-benar clear masalahnya.
Laila menutup wajahnya, usahanya yang sedang dirintisnya mengalami masalah dan harus berhenti sementara waktu. Bahkan ada pikiran untuk berhenti berjualan makanan karena terlalu beresiko. Ini pertama dan terakhir kalinya Laila berjualan karena jujur saja merasa takut.
"Jangan pernah patah semangat, terus berjuang untuk kamu dan kedua anakmu. Mungkin ujian ini akan membawamu pada tempat yang lebih baik."
"Aamiin" sahut Laila lirih sembari mengusap wajah.
*****
Laila sudah kedatangan orang-orang berseragam lengkap. Untung saja Arman masih ada di sana karena laki-laki itu mengambil cuti beberapa hari untuk mengurus masalah ini. Sangat membantu Laila yang sangat awam terhadap hal seperti sekarang ini.
Setelah mendapatkan banyak pertanyaan, Laila bisa bernapas lega. Langsung menemui Salwa dan Halwa yang sedang ditemani Arman.
"Sudah selesai?."
Laila mengangguk. Sekarang giliran Arman yang ditanyai.
"Kita bisa jualan di jalan sekolah lagi, Bu." Ucap Salwa.
"Tidak sekarang-sekarang, Kak."
"Kenapa?."
"Kita istirahat dulu, ya."
Salwa mengangguk.
Laila terdiam, mengingat beberapa pertanyaan di mana ada satu pertanyaan yang cukup menganggunya. Karena tidak pernah memiliki musuh tapi yang tidak menyukainya ada banyak. Apa benar ini terjadi karena orang-orang yang tidak menyukainya?. Tapi kenapa?.
Orang-orang berseragam itu sudah pulang, Arman juga harus pulang untuk mandi tapi berjanji akan kembali ke rumah Laila lagi selama kacanya belum dipasang.
Laila dan anak-anak tidak melakukan aktivitas apa-apa, Ibu Laila hanya goreng telur untuk lauk mereka.
"Kata Pak Arman, aku, Adik Halwa sama Ibu. Adalah perempuan-perempuan hebat. Jadi kita harus terus berjuang dan semangat."
Salwa tidak seperti Salwa yang dikatakan orang-orang. Anak kecil itu sanggup menjadi pelita di dalam kegelapan hidup Ibu Laila.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉