Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Langit Menangis 当天空哭泣时
Cahaya yang terpancar dari tubuh Xialong memenuhi seluruh ruangan pagoda, berpadu dengan energi ketujuh Pedang Pendiri. Zhao mundur selangkah, untuk pertama kalinya tampak ragu. Di belakangnya, Para Pemburu Bayangan berbisik-bisik cemas melihat manifestasi kekuatan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
"Tidak mungkin," Zhao mendesis, mencengkeram Mowen lebih erat. "Kekuatan ini... bahkan Dewi Pedang Perak tidak pernah mencapai level ini."
Lin Huifang tersenyum penuh arti. "Karena dia bukan hanya pewaris kekuatan para Dewa, Zhao. Dia adalah jembatan—manifestasi sempurna dari apa yang kita perjuangkan ribuan tahun lalu."
Tepat saat itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tato di tubuh Xialong mulai bergerak, huruf-huruf kuno itu mengalir seperti air, membentuk pola baru yang memancarkan cahaya keemasan. Tian Jian beresonansi dengan perubahan ini, dan satu per satu, ketujuh Pedang Pendiri mulai mengelilinginya dalam formasi yang familiar.
"Formasi Bintang Utara," Lin Huifang terkesiap. "Formasi legendaris yang hanya bisa diaktifkan ketika kedelapan pedang berkumpul."
"Tapi Mowen..." Xialong melirik pedang hitam di tangan Zhao.
"Tepat," Zhao tertawa dingin. "Selama Mowen ada di tanganku, kalian tidak akan bisa—"
Kata-katanya terputus oleh suara dentuman keras dari luar pagoda. Sosok tinggi melangkah masuk, tubuhnya penuh luka tapi matanya memancarkan tekad membara.
"Tianfeng!" Xialong berseru, antara lega dan khawatir melihat kondisi kakaknya.
Tapi ada yang berbeda dengan Tianfeng. Huang Jin yang tadinya retak kini bersinar dengan cahaya keemasan, dan di tubuhnya juga muncul tato-tato kuno yang mirip dengan milik Xialong.
"Maaf aku terlambat, adikku," Tianfeng tersenyum lemah. "Butuh waktu untuk memahami dan menerima warisan dalam darahku sendiri."
"Tidak..." Zhao menatap tidak percaya. "Kau... kau juga?"
"Ya," Tianfeng mengangguk. "Aku adalah reinkarnasi dari Dewa Pedang Emas. Kami bersaudara bukan hanya dalam darah manusia, tapi juga dalam darah para Dewa."
Mendadak, Huifang melangkah ke depan, pedang transparannya berubah warna menjadi putih murni. "Sudah waktunya kalian tahu semuanya. Zhao, kau pikir kau satu-satunya yang bertahan dalam wujud asli? Kau salah."
Tubuh Lin Huifang bersinar, dan dalam sekejap, sosoknya berubah. Sayap energi putih membentang dari punggungnya, rambutnya yang hitam berubah seputih salju, dan matanya memancarkan kebijaksanaan ribuan tahun.
"Dewi Pedang Putih," Zhao mundur selangkah. "Tidak mungkin... kau seharusnya sudah..."
"Mati? Berevolusi?" Huifang—atau Dewi Pedang Putih—tersenyum sedih. "Tidak, Zhao. Aku memilih jalan tengah. Aku tetap dalam wujud asliku, tapi tidak dengan cara gelap sepertimu. Aku di sini untuk menyaksikan dan memastikan ramalan itu terpenuhi."
"Ramalan?" Xialong dan Tianfeng bertanya bersamaan.
Sebelum Huifang bisa menjawab, Zhao mengeluarkan raungan murka. Mowen berdenyut dengan energi kegelapan yang lebih pekat, dan sosoknya semakin mirip dengan wujud Dewa yang telah terkorupsi.
"TIDAK! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN RAMALAN ITU TERPENUHI!"
Ia melesat ke arah Xialong dengan kecepatan tidak masuk akal. Tapi kali ini, Xialong tidak bergerak menghindar. Dengan ketenangan yang mengejutkan, ia mengangkat Tian Jian, dan ketujuh Pedang Pendiri berputar lebih cepat di sekelilingnya.
"Guru Zhao," Xialong berkata lembut, "apakah kau pernah bertanya-tanya kenapa air mata para Dewa bisa ditempa menjadi pedang?"
Pertanyaan itu membuat Zhao terhenti sejenak.
"Air mata adalah ekspresi emosi paling murni," Xialong melanjutkan, tato di tubuhnya bersinar semakin terang. "Dan para Dewa menangis bukan karena kesedihan atau penyesalan saat memutuskan untuk menjadi manusia. Mereka menangis karena akhirnya memahami apa yang selama ini hilang dalam keabadian mereka—kemampuan untuk berubah, untuk bertumbuh, untuk mencintai dan kehilangan."
Mendadak, Tian Jian berdengung dalam nada yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketujuh Pedang Pendiri meresponnya, menciptakan harmoni yang membuat seluruh pagoda bergetar.
"Air mata para Dewa," Huifang menambahkan, "adalah bukti bahwa bahkan makhluk abadi pun bisa merasakan kemanusiaan. Dan pedang-pedang ini ditempa bukan sebagai senjata..."
"...tapi sebagai pengingat," Tianfeng menyelesaikan, Huang Jin bersinar dalam resonansi yang sama.
Tepat saat itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Mowen, pedang kegelapan dalam genggaman Zhao, mulai bergetar. Aura hitamnya berubah, seolah meresponss panggilan saudara-saudaranya.
"Tidak..." Zhao mencoba mempertahankan kontrolnya atas Mowen. "TIDAK!"
Tapi sudah terlambat. Mowen terlepas dari genggamannya, melayang bergabung dengan ketujuh pedang lainnya. Saat kedelapan pedang legendaris itu akhirnya bersatu dalam Formasi Bintang Utara, cahaya menyilaukan memenuhi pagoda.
Dalam cahaya itu, Xialong melihat segalanya—masa lalu, masa kini, dan kemungkinan masa depan. Ia melihat para Dewa Pedang dalam keagungan mereka, melihat momen ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan keabadian, melihat air mata mereka yang jatuh dan ditempa menjadi pedang-pedang legendaris.
Tapi yang paling mengejutkan, ia melihat rahasia yang selama ini tersembunyi—alasan sebenarnya di balik keputusan para Dewa untuk berevolusi.
"Mereka melihat sesuatu," Xialong berbisik, matanya melebar dalam pemahaman. "Di masa depan yang jauh... mereka melihat ancaman yang tidak bisa mereka hadapi dalam wujud Dewa mereka."
"Ya," Huifang mengangguk grave. "Ancaman dari dimensi lain—makhluk-makhluk yang memakan energi murni para Dewa. Para Dewa tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyembunyikan energi mereka dalam bentuk yang tidak bisa dideteksi musuh..."
"...dalam darah manusia," Tianfeng melanjutkan. "Tapi bukan hanya itu, kan? Ada alasan khusus kenapa harus dalam darah manusia."
"Karena manusia bisa berevolusi," Xialong tiba-tiba memahami. "Manusia bisa beradaptasi, berubah, menciptakan bentuk-bentuk kekuatan baru yang bahkan para Dewa tidak pernah bayangkan."
Zhao, yang masih terduduk di lantai setelah kehilangan Mowen, tertawa getir. "Dan kalian pikir itu membenarkan keputusan untuk merendahkan diri menjadi makhluk fana?"
"Bukan merendahkan," Xialong melangkah mendekati gurunya, "tapi meningkatkan. Para Dewa tidak kehilangan kekuatan mereka—mereka mengevolusinya menjadi sesuatu yang lebih besar."
Kedelapan pedang masih berputar dalam formasi, tapi kini cahaya mereka mulai menyatu, menciptakan pilar energi yang menembus atap pagoda. Di luar, langit malam mendadak dipenuhi aurora dengan warna-warna yang belum pernah dilihat mata manusia.
"Ramalan itu," Huifang berkata lembut, "berbicara tentang saat ketika darah Dewa dan manusia akan mencapai harmoni sempurna dalam satu vessel. Saat itulah kekuatan sejati para Dewa akan bangkit kembali—bukan dalam wujud lama mereka, tapi dalam evolusi tertinggi yang melampaui batas antara kedua ras."
Mendadak, Zhao bangkit. Tapi alih-alih menyerang, ia menatap Xialong dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kau... kau benar-benar vessel itu? Anak dalam ramalan?"
Sebelum siapapun bisa menjawab, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dari pilar cahaya yang menembus langit, turun butiran-butiran cahaya seperti salju. Setiap butiran yang menyentuh tanah berubah menjadi tetesan air—air mata dengan warna dan energi yang berbeda-beda.
"Air mata para Dewa," Huifang terkesiap. "Mereka... mereka menangis lagi."
"Tapi kali ini bukan air mata kesedihan," Tianfeng tersenyum, mengulurkan tangannya menangkap tetesan-tetesan itu. "Ini air mata kebahagiaan. Mereka tahu waktunya telah tiba."
Xialong merasakan setiap tetesan yang menyentuh kulitnya seperti membawa pesan—bisikan-bisikan dari para leluhur yang telah lama pergi. Tato di tubuhnya menyerap air mata itu, menciptakan pola-pola baru yang semakin kompleks dan indah.
"Guru Zhao," ia berbalik menatap gurunya, "tidak ada yang terlambat untuk memahami. Bahkan setelah ribuan tahun, para Dewa masih memberi kita pilihan."
Tepat saat itu, sebuah tetesan air mata jatuh di wajah Zhao. Saat menyentuh kulitnya yang bersisik, tetesan itu menciptakan riak energi yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.
"Ini..." Zhao menatap tangannya yang perlahan mulai kehilangan sisik-sisiknya, "...ini tidak mungkin..."
"Healing Tears," Huifang menjelaskan dengan senyum lembut. "Air mata penyembuhan yang hanya bisa dihasilkan saat kedelapan pedang bersatu dalam harmoni sempurna. Air mata yang bisa memurnikan bahkan jiwa yang telah terkorupsi sekalipun."
Perlahan tapi pasti, wujud Dewa yang tidak natural dalam diri Zhao mulai memudar. Sayap energi gelapnya menghilang, matanya kembali normal, dan untuk pertama kalinya dalam ribuan tahun, air mata manusia mengalir di pipinya.
"Apa yang telah kulakukan?" ia jatuh berlutut. "Semua pengorbanan itu... semua nyawa yang kuambil... hanya karena aku tidak bisa menerima perubahan..."
Xialong berlutut di hadapan gurunya, menyentuh pundaknya dengan lembut. "Setiap tetes darah yang tumpah akan dipertanggungjawabkan, Guru. Tapi untuk sekarang... terimalah kesempatan ini untuk memulai lagi. Bukan sebagai Dewa, bukan sebagai manusia, tapi sebagai jembatan antara keduanya—seperti yang seharusnya."
Kedelapan pedang perlahan turun, masih dalam formasi mereka. Mowen, yang tadinya segelap malam, kini bersinar dengan cahaya keperakan yang sama dengan saudara-saudaranya.
"Ramalan itu belum selesai," Huifang memperingatkan. "Ini baru permulaan. Ancaman yang dilihat para Dewa ribuan tahun lalu... semakin dekat."
"Dan kita akan menghadapinya," Tianfeng melangkah maju, berdiri di samping adiknya. "Bukan sebagai Dewa, bukan sebagai manusia, tapi sebagai sesuatu yang baru—evolusi yang bahkan para Dewa tidak pernah bayangkan."
Air mata para Dewa terus turun, membasahi Kuil Pedang Berkabut dengan energi pembaruan. Di kejauhan, aurora di langit membentuk pola yang mirip dengan formasi pedang di hadapan mereka—pertanda bahwa takdir baru telah dimulai.
Dan di tengah semua itu, Wei Xialong berdiri tegak, Tian Jian bersinar dalam genggamannya, siap menghadapi apapun yang akan datang. Karena kini ia tahu—kekuatannya bukan dalam darah Dewa yang mengalir di pembuluhnya, tapi dalam kemampuannya untuk terus berevolusi, terus bertumbuh, dan terus mencintai.
Kisah baru akan segera dimulai, dan kali ini, bukan hanya takdir para Dewa yang dipertaruhkan—tapi masa depan seluruh alam semesta.