"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis itu Punya Fans
Dalian melangkah masuk ke kelas dengan perasaan yang masih campur aduk. Ia menjatuhkan diri ke kursinya di samping Chelsey.
Wajahnya terlihat masam, dan mulutnya langsung mengomel tanpa basa-basi. “Ugh, itu Karel benar-benar nyebelin! Gue nggak tahu kenapa gue bisa terus-terusan keseret sama kelakuan absurd dia. Tadi dia…”
Dalian terhenti, menggigit bibirnya sejenak, sadar bahwa ia hampir keceplosan.
"Untung gue nggak sekelas sama dia. Bisa sering makan ati gue nanti kalo ketemu dia terus. Nggak sekelas aja bisa sering ketemu gini. Huh! Cupu!!"
Chelsey, yang biasanya menanggapi omelan Dalian dengan antusias atau candaan, kali ini hanya duduk diam. Wajahnya tampak tegang, dan matanya terus memandang lurus ke depan, tak sedikit pun melirik Dalian.
Dalian, merasa ada yang aneh, akhirnya berhenti menggerutu. Dia menoleh ke Chelsey. “Lo kenapa? Kok diem aja?”
Chelsey menoleh perlahan, ekspresinya dingin, tapi ada kilatan emosi di matanya. “Dalian,” katanya datar, tapi suaranya terasa tajam. “Gue ngeliat kalian tadi.”
Jantung Dalian langsung melonjak. “Ngeliat apa?” tanyanya gugup, meski dalam hati dia sudah tahu.
Chelsey memutar bola matanya, jelas-jelas tidak sabar. “Ngeliat lo sama Karel. Ngeliat lo CIUMAN sama dia.”
Dalian membelalak, wajahnya langsung memanas. “Itu... nggak kayak yang lo pikirin! Itu cuma... ya, semacam... gue nggak tahu harus gimana jelasinnya!” katanya tergagap, merasa semakin panik.
“Cuma?” Chelsey menyipitkan mata, nadanya penuh sindiran. “Jadi, lo mau bilang ciuman tadi itu nggak berarti apa-apa?”
“Bukan begitu!” Dalian buru-buru membela diri, tapi ia juga tak tahu harus menjelaskan seperti apa.
Perasaan campur aduk yang tadi ia rasakan kembali muncul, tapi kali ini bercampur dengan rasa bersalah yang tiba-tiba menghantamnya. “Chelsey, dengar, itu cuma... itu rumit, oke?”
“Rumit?” Chelsey mengulang kata itu dengan nada tak percaya. Dia menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri.
Kemudian, dia menatap Dalian, wajahnya berubah serius. “Dalian, gue suka sama Karel.”
Dalian tertegun. Ia merasa seperti dihantam palu besar di kepalanya. “Lo l l l loo… suka sama Karel?”
Chelsey mengangguk, tatapannya tak lepas dari Dalian. “Iya. Gue udah suka sama dia dan gue nggak pernah berani bilang ke siapa-siapa, termasuk lo.”
Dia menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan, “Makanya gue minta bantuan lo, Dalian. Lo temenan deket sama dia, kan? Lo bisa bantu gue deketin dia.”
Permintaan itu seperti angin dingin yang menampar wajah Dalian. Ia merasa kehilangan kata-kata. Rasanya ironis—baru saja dia merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Karel, dan sekarang sahabatnya sendiri memintanya untuk membantu mendekatkan Karel kepadanya.
“Chelsey…” Dalian akhirnya berkata, meski suaranya pelan dan ragu. “Lo yakin mau gue bantuin soal ini? Maksud gue… Karel tuh orangnya…”
“Nyebelin?” potong Chelsey dengan senyum tipis. “Iya, gue tahu. Tapi di balik itu, dia baik. Gue suka caranya bikin suasana jadi lebih ringan, suka caranya bikin orang di sekitarnya ketawa. Gue suka semuanya tentang dia.”
Dalian terdiam. Perasaan di dadanya bercampur—antara bingung, kesal, dan... cemburu? Tapi ia menekan perasaan itu, mencoba bersikap sewajarnya.
"Tapi, kalo elo suka sama dia, gue nggakpapa kok," ucapan Chelsey langsung memecah perasaan Dalian yang bercampur.
Membuat Dalian semakin berfikir seribu kali, "It's just gimmick? Dia, ngalah gitu? Atau sengaja menguji perasaan gue?" Gumamnya sambil melihat wajah sedih sahabatnya. Seketika, kepalanya seolah bergerak sendiri untuk terus menggeleng-geleng.
"Nggak nggak... nggak Chelsey. Gue gak suka..." meski masih ragu tapi akhirnya Dalian memantapkan ucapannya. "Ma-- mana mungkin gue suka sama cowok culun kek dia."
Chelsey tersenyum lebar, wajahnya langsung cerah. “Jadi, Deal ya elo bantuin gue buat deket sama dia. Gue tahu gue bisa ngandelin lo.”
Dalian hanya mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyum palsu. Dalam hati, ia merasa seperti tengah berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.
Dalian masih tenggelam dalam perasaan campur aduk ketika tiba-tiba seorang adik kelas berdiri di ambang pintu kelas. Dia mengenakan seragam olahraga dengan handuk kecil melingkar di lehernya. Napasnya terengah-engah seolah baru saja lari dari lapangan.
“Dalian kakak, boleh minta waktunya sebentar?” Adik kelas itu tersenyum cerah, wajahnya penuh antusiasme.
Dalian mengangkat alis, masih belum sepenuhnya terlepas dari percakapannya dengan Chelsey. “Kenapa? Ada apa?”
Adik kelas itu, seorang siswi bernama Isana, melangkah masuk ke kelas dengan penuh semangat.
Dia mengabaikan tatapan ingin tahu dari Chelsey dan beberapa teman sekelas lainnya. “Kak, kita butuh bantuan kakak di tim basket. Kita mau ada pertandingan antar sekolah, tapi tim kita masih kurang percaya diri. Kakak kan jago main basket, tolong ajari kami, dong.”
Dalian mengerutkan kening. “Isana, lo salah orang. Gue nggak bisa ngajarin basket. Cari orang lain yang lebih cocok buat itu.”
“Tapi, Kak!” Isana membungkuk sedikit, nada suaranya hampir memohon. “Kakak nggak perlu ngajar secara detail, kok. Cukup tunjukin cara kakak main aja. Dari situ kita pasti bisa belajar banyak. Kakak itu idola di lapangan, loh!”
Dalian langsung menggaruk tengkuknya, merasa canggung bin bingung. “Idola? Apaan, sih. Lagian, kenapa gue? Kok bisa gue?"
"Kakak kelas yang ngelatih kita merekomendasikan Dalian Kakak untuk menjadi motivator kami. Ayo kak latih kami, please." Isana memohon.
"Ha? Kok bisa? Gue main buat senang-senang, bukan buat jadi pelatih.”
Isana tidak menyerah. Dia melangkah lebih dekat, tatapannya berbinar penuh semangat. “Tapi itu, kan, justru yang bikin beda, Kak. Aku pernah lihat kakak tanding. Semangat kakak bikin kami terinspirasi. Apalagi kakak pernah membawakan juara satu untuk sekolah kita. Kalau kakak cuma nunjukin cara kakak main, kami pasti bisa termotivasi lebih dari sekarang.”
Mendengar itu, Chelsey terkekeh kecil di sebelah Dalian. “Wah, Dalian lo nggak bisa nolak, nih. Fans lo udah pasang tampang serius banget. Tuh, di luar sana."
"Glek!" Dalian malah merasa terintimidasi.
Ucapan Chelsey membuat Dalian semakin merasa tersudut. Dia melirik Isana yang masih berdiri tegak di depannya dengan tatapan penuh harap.
Akhirnya, ia menghela napas panjang, menyerah. “Oke, gue bakal bantu. Tapi gue nggak janji bisa ngasih banyak. Gue cuma bakal tunjukin cara gue main, gitu aja.”
“Beneran, Kak?!” Mata Isana berbinar seperti lampu neon. “Makasih banget, Kak! Nanti gue yang atur jadwalnya!”
Sikap penuh antusias itu membuat Dalian tersipu. Dia berdeham pelan, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “Ya, ya. Jangan terlalu lebay, deh.”
Setelah Isana pergi dengan penuh semangat, Dalian duduk kembali di kursinya. Chelsey menatapnya sambil menahan senyum geli.
“Jadi sekarang lo bakal jadi mentor idola, ya?” goda Chelsey.
“Diam, Chelsey,” balas Dalian, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum kecil.
aku sudah mampir yah kak "Fight or Flight"