Awalnya aku merasa melayang dan jatuh cinta, tapi setelah tahu alasannya memilihku hanya karena aku mirip cinta pertamanya, membuat hatiku terluka.
Bisakah aku, kabur dari obsesi cinta suamiku🎶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Proyek Besar Venus
Selama beberapa hari ini, Venus berhasil mencegah Viola yang mau bekerja panen nanas di kebun bibi. Gadis itu juga masih menurut, karena marahnya Venus benar-benar tidak main-main.
Viola pun tidak mau ibu mendengar pertengkaran tak berujung mereka yang hanya karena masalah sepele.
Tapi, sudah beberapa hari ini juga, Venus tidak keluar dari kamarnya. Katanya sedang mempersiapkan proyek desain Mega besar dengan temannya.
"Kalau kau tidak mau panen, kenapa melarangku pergi! ah kakak, menyebalkan sekali, kau pikir di kota besar aku bekerja seperti putri yang duduk di belakang meja!"
Akhirnya meledak juga amarah Viola, gadis itu berteriak di depan pintu setelah mendobrak kamar Venus.
Venus melompat dari tempat duduknya, wajahnya kucel, kantung matanya besar sekali. Laki-laki itu mengumpat, tapi setelah melihat Viola umpatannya dia telan lagi.
"Apa si Vio! bikin kaget saja. Aku baru saja tidur setelah begadang semalaman!"
Venus menguap lebar-lebar, kantuknya menggantung di pelupuk mata. Komputernya berkedip-kedip.
Ah, dia tidak dengar omonganku tadi ya, syukurlah gumam Viola.
"Aku mau pergi, sarapan sudah ada di meja makan. Kakak makan dulu sana, baru tidur. Ckck, memang proyek apa si, sampai membuatmu tidak tidur berhari-hari." Viola sudah mundur keluar kamar, dan mau menutup pintu.
Berharap Venus menguap dan mengibaskan tangan mengusirnya. Tapi maaf Viola, kakakmu langsung melek saat kau bilang mau pergi.
"Kau mau kemana? Kalau kau berani ke kebun dan panen nanas-nanas sialan itu, aku akan mengikatmu Vio."
"Apa si Kakak ini, Kakak kan nggak bisa panen karena sibuk. Lagian cuma panen begitu aku juga bisa Kak."
"Kau mau mati? Membantah kakakmu!"
Mulut Viola langsung merengut, Venus benar-benar marah.
"Pulang ke kota sana! Kau mau mencari apa di desa yang cuma ada nanas. Sudah kubilang kuliah dan bekerja di perusahaan besar, lupakan desa ini, lupakan aku dan ibu! Kau mau membusuk di desa ini bersama nanas-nanas sialan itu!"
Ini sudah kesekian kalinya Venus mengusirnya.
"Aku dipecat dari kafe, uangku belum cukup untuk daftar kuliah." Dengan suara getir, Viola menjawab.
"Vio.." Venus tercekak, sedih dan merasa bersalah, karena menjadi kakak yang tidak berguna.
"Aku lelah di kota besar sendirian Kak, di sini tidak hanya ada nanas, tapi juga ada Kakak dan Ibu. Aku capek hidup sendirian di kota!"
Viola tertunduk, sedang menunjukkan kesedihan.
"Sialan! Kenapa kau bisa dipecat?"
Ada orang gila yang mengajakku menikah, CEO gila jus nanas yang membuka kafe hanya supaya aku meladeninya bicara. Orang gila yang mau menjadikanku istri keduanya. Aaaaa! aku ingin sekali bicara begitu. Namun semua kata-kata itu cuma nyangkut di tenggorokan Viola.
Hah, untuk apa mengatakannya. Toh aku sudah kabur, dan CEO gila itu tidak akan menemukanku
"Karena kau nyolong kopi?" tanya Venus lagi.
"Aaaa! Kakak! aku membeli kopi-kopi itu dasar bodoh."
"Lantas kenapa?" teriak Venus.
"Kafe ku bangkrut, tidak bisa bersaing dengan kafe baru yang lebih keren, ada yang membuka kafe di depan kafe ku. Dan pelangganku semua pergi ke sana."
Memang benar kan, aku hanya tidak cerita alasan kenapa kafe itu berdiri.
"Sialan banget itu pemilik kafe."
"Ya, seumur hidup aku akan memakinya. Jadi biarkan aku tinggal di sini bersama kalian! Jangan menyuruh ku kembali ke kota!" Viola berteriak sampai suaranya serak. Tangan Viola mengguncang bahu kakaknya. "Aku bisa panen nanas Kak, cuma petik nanas aku juga biasa."
"Kau mau mati! Sudah kubilang berhenti bilang mau panen nanas! Kalau kau mau tinggal di desa nanas sialan ini, baiklah. Aku izinkan, tapi jangan berani-berani kau jadi buruh petik nanas!"
Venus yang setiap kali pergi ke kebun dengan perasaan terhina dan muak, tidak mungkin dia membiarkan tubuh kecil adiknya menyunggi keranjang nanas di punggungnya.
"Tidak menjawab?"
"Ia, ia. Aku tidak akan pergi ke kebun!"
"Sebentar lagi aku akan sukses, proyekku ini proyek besar dengan perusahaan besar. Aku sedang membuat beberapa desain, tunggu saja Vio, aku akan membayar uang kuliahmu. Kita bisa pergi dari desa ini dan membawa ibu kembali ke kota."
"Kak.."
Jangan bermimpi terlalu tinggi, kau dan aku sudah pernah kecewa kan. Tapi semangat berapi-api di mata Venus yang membara, Viola tidak tega memadamkannya.
"Kita bisa membeli rumah dipinggir kota yang tenang dan tidak terlalu ramai, kau bisa pulang pergi dari sana. Aku akan terus membuat desain sambil merawat ibu, pokoknya proyekku kali ini sangat penting."
Genggaman erat tangan Venus ditangan Viola.
"Memang Kakak menangani proyek apa?"
"Temanku berhasil menjadi vendor penyedia seragam pabrik, seragam karyawan mall dan kafe serta tim keamanan. Aku juga dia masukkan ke dalam pemegang saham, jadi selain dari desainku, aku juga dapat keuntungan Vio dari seragam-seragam itu. Pokoknya kamu siapkan saja semua untuk persiapan kuliahmu."
Lagi-lagi bola mata Venus berbinar, sudah banyak rencana pasti di kepalanya.
"Memang perusahaan apa Kak? Kok banyak banget, pabrik, kafe, mall.. dan..."
Pertanyaan Viola menggantung, saat hp Venus di atas meja berdering dengan suara keras.
"Ah, tunggu, itu pasti temanku. Aku angkat telepon dulu ya."
Bergegas Venus meraih hpnya, dan dia sudah terlibat pembicaraan serius. Sambil duduk di depan komputer, Venus terlihat mengirimkan email.
Ya sudahlah, nanti lagi aku tanya, seperti Kakak benar-benar sibuk.
"Kak aku pergi dulu ya?"
Venus menoleh, mendelik sambil menancapkan dua jari ke matanya. Aku mengawasimu mungkin itu yang mau dia katakan.
"Aku mau ke rumah bibi sama ibu, bibi bilang masakin makanan kesukaanku. ia, ia, aku nggak akan panen nanas!"
Viola menutup pintu, sebelum mendengar ocehan Venus.
Hah, dasar! Nanas sialan, nanas sialan! Padahal setiap hari kau panen dan dari situ kau dapat uang. Dasar Venus bodoh! Perusahaan apa ya? Kok kayaknya besar banget. Ah, sudahlah, sepertinya kali ini benar-benar serius. Viola akhirnya menyudahi rasa penasarannya.
Karena seingatnya kakaknya memang punya teman, yang rutin membeli desainnya, untuk dibuat baju, kaos atau seragam. Karena temannya itu punya perusahaan konveksi yang mensuplai banyak kantor dan instansi.
Semoga semua lancar Kak, gumam Viola sambil keluar rumah. Mendapati ibu yang sedang berjemur di bawah matahari pagi.
"Maaf Bu, menunggu lama. Ibu sudah berkeringat, sini Vio hapus keringat ibu."
Ibu tersenyum sambil mengusap kepala Viola.
"Jangan bertengkar dengan kakakmu, dia cuma khawatir sama kamu Nak."
"Hehe, ia Bu. Kami nggak bertengkar kok, kakak cuma marah-marah karena kesal aku bangunkan, padahal dia begadang tadi malem."
Ibu mengangguk.
"Ayo Bu ke rumah bibi sekarang," ujar Viola sambil mengandeng tangan ibunya.
Ah, aku punya ide bisnis juga si, semoga bibi setuju dan mau. Gumam Viola semangat. Semoga apapun yang akan dia mulai, di desa kecil yang cuma ada nanas ini akan berhasil.
Sambil berjalan mengandeng ibu, tatapan Viola tertuju pada Vila megah yang ada di dekat bukit.
"Bu, Vila itu kayaknya lagi renovasi ya?"
"Hemm, katanya dibeli sama orang kota," ujar ibu menjawab sekenanya.
Viola hanya menatap sejenak, lalu sudah melupakannya. Dia kembali bercerita pada ibu, betapa senangnya dia bisa pulang ke desa, yang ada ibu dan kakaknya.
Bersambung