Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 19 Nenek Yasmin Sakit
Mata Lana menyapu seisi kelas, mencari sosok Sakha yang hilang sejak jam istirahat pertama. Padahal, pagi tadi mereka sempat bertegur sapa, namun kini Sakha lenyap bak ditelan bumi. Lana ingin bertanya pada Dilla, namun urung. Ia tahu betul, rasa penasarannya hanya akan menjadi bahan ledekan sahabatnya itu.
"Dia izin pulang duluan tadi, neneknya sakit," suara ketua kelas memecah lamunan Lana, membuat jantungnya berdegup kencang.
Kabar itu bagai petir di siang bolong. Lana terkejut, khawatir menyelimuti hatinya. Ia segera meraih ponselnya, mencoba menghubungi Sakha, namun tak ada jawaban. Ponsel Sakha mati. Lana mengirimkan pesan singkat, berharap Sakha segera membalasnya. Ia memanjatkan doa dalam hati, memohon kesembuhan untuk nenek Yasmin.
Lana tak bisa memusatkan perhatiannya pada pelajaran. Pikiran dan hatinya tertuju pada Sakha dan neneknya. Rasa khawatir dan cemas bercampur aduk, membuatnya gelisah sepanjang hari.
...----------...
Keesokan harinya, sepulang sekolah, Lana bergegas menuju rumah Sakha, tangannya menenteng keranjang buah-buahan segar untuk nenek Yasmin. Hatinya dipenuhi rasa khawatir dan simpati.
Kemarin, Sakha menghubunginya, mengabarkan bahwa neneknya terpeleset di kamar mandi. Tulang tangan nenek patah, dan meski telah ditawari perawatan di rumah sakit, nenek memilih untuk dirawat di rumah dengan bantuan perawat dan dokter pribadi yang selalu siaga.
Lana telah memberitahu Sakha bahwa ia akan berkunjung. Saat bel rumah megah itu berbunyi, Sakha berlari menyambutnya, wajahnya lega melihat Lana.
"Dia teman saya, Pak," ucap Sakha pada security, lalu menggandeng Lana masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana kondisi nenek?" tanya Lana, tak sabar ingin tahu.
Mereka duduk di sofa ruang tamu, menunggu dokter selesai memeriksa nenek di kamar. Bi Maya datang membawakan segelas minuman untuk Lana, yang disambut dengan senyum hangat dan ucapan terima kasih.
"Sudah membaik," jawab Sakha, raut wajahnya masih terlihat cemas. "Kemarin, aku panik sekali saat Bi Maya menelepon, mengabarkan nenek jatuh dan dibawa ke rumah sakit. Aku langsung izin pulang lebih awal."
Lana mengangguk, memahami kecemasan Sakha.
"Pasti kamu khawatir sekali," ujarnya.
"Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada nenek," lirih Sakha, tatapannya kosong.
"Nenek akan baik-baik saja," Lana menggenggam jemari Sakha, mencoba menenangkan.
"Kau tidak tahu rasanya," bisik Sakha, suaranya bergetar.
"Hm?" Lana menatap Sakha, mencoba memahami kesedihannya.
"Rasanya kehilangan seseorang selamanya. Rasa sakit yang melebihi luka apapun," ucap Sakha, suaranya tercekat.
Lana terdiam, dadanya terasa sesak. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Lalu, ia tersenyum dan menyentuh bahu Sakha.
Sakha menoleh, menatap Lana dengan mata sendu.
"Nenek Yasmin orang yang kuat," ujar Lana, suaranya penuh keyakinan. "Aku yakin nenek akan segera pulih. Jangan terus berpikiran buruk. Saat ini, nenek Yasmin membutuhkan Sakha yang kuat, bukan yang lemah dan cengeng."
...---------...
Lana dengan penuh kasih sayang membantu menyuapi nenek Yasmin. Kondisi kaki dan tangan nenek cukup memprihatinkan akibat terjatuh di toilet. Tangan kanannya harus di gips karena patah tulang, sedangkan pergelangan kakinya terkilir, membuatnya harus menggunakan kursi roda untuk sementara waktu.
Untungnya, ada perawat dan dokter pribadi yang selalu siaga menjaga nenek, sehingga kekhawatiran Sakha pada neneknya sedikit mereda.
Saat kejadian, Sakha sedang berada di sekolah. Ketika diberitahu bahwa neneknya ditemukan tak sadarkan diri di toilet, tanpa pikir panjang, pemuda itu langsung bergegas pergi dari sekolah, mengabaikan segala urusan, demi memastikan kondisi neneknya.
"Mau Lana kupaskan apel, Nek?" tanya Lana dengan lembut setelah selesai menyuapi bubur.
Nenek Yasmin langsung menjawab dengan anggukan cepat, matanya berbinar bahagia.
Lana segera meraih tisu dan dengan telaten mengelap sisa-sisa makanan di mulut nenek.
"Terima kasih ya, sayang, sudah menjenguk nenek," ucap nenek tulus, hatinya terharu.
"Sama-sama, Nek. Pokoknya, Nenek harus cepat pulih, ya! Nanti kalau Nenek sudah sembuh, Lana akan memasak makanan kesukaan Nenek," janji Lana dengan senyum ceria.
Nenek Yasmin kembali mengangguk, sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum hangat yang penuh rasa syukur.
Sakha, yang duduk di sofa samping tempat tidur neneknya, sejak tadi memperhatikan interaksi keduanya. Hatinya menghangat melihat ketulusan Lana.
Lana terlihat begitu cekatan dalam mengurus nenek. Setiap kali melihat nenek merasa kurang nyaman dengan posisinya, gadis itu langsung bergerak membantu, seperti membetulkan letak bantal, membenarkan posisi kaki nenek, dan lain-lain. Gerakannya lincah dan penuh perhatian.
Gadis itu seakan memiliki indra keenam, mampu merasakan apa yang nenek butuhkan tanpa perlu diminta. Ia tahu kapan dan apa yang nenek Yasmin inginkan, seperti seorang malaikat penolong.
...---------...
"Kau yakin tidak ingin diantar Pak Izal?" tanya Sakha dengan raut khawatir yang kentara.
Lana menggeleng cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi gadis itu bersikeras untuk pulang dengan transportasi umum, membuat Sakha semakin cemas.
"Ini sudah malam," tambah Sakha, suaranya sarat akan kekhawatiran.
Lana melirik jam di tangannya. "Jangan khawatir, aku masih sempat mengejar bus terakhir," tukas Lana yakin, mencoba menenangkan. "Kau masuklah ke dalam."
Sakha menarik tangan Lana, menggenggamnya erat, seolah tak ingin melepaskannya. Ia bergerak mendekat, mengikis jarak di antara mereka, membuat jantung Lana berdebar kencang.
Sontak, Lana mendongak, matanya yang bulat mengerjap, terkejut dengan kedekatan mereka.
"Terima kasih sudah menjenguk nenek," ucap Sakha lirih, hampir seperti berbisik, nafasnya terasa hangat di wajah Lana.
"Mmm," Lana mengangguk gugup, pipinya merona merah.
Jarak keduanya terasa begitu dekat, hingga Lana takut Sakha bisa mendengar degup jantungnya yang menggila.
"Lana..." panggil Sakha lembut, matanya menatap Lana dengan penuh harap.
"Hmm?" jawab Lana, suaranya hampir tak terdengar.
"Aku... mungkin tidak bisa memaksakan perasaanmu. Tapi, izinkan aku untuk tidak menyerah," ucap Sakha tulus, hatinya dipenuhi keyakinan.
"Sakha... aku..." Lana mendadak merasa bersalah, kata-katanya tercekat di tenggorokan.
Sakha kembali mendekatkan jarak keduanya, hingga akhirnya ia menarik Lana dalam pelukannya, memberikan kehangatan yang tak terlukiskan. Tangan kanannya mengusap lembut rambut gadis itu, membuat Lana merasakan debaran halus di dadanya, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Akal sehat Lana menyuruhnya mendorong pemuda itu, namun anehnya, ada rasa nyaman yang baru pertama kali ia rasakan. Rasa yang membuatnya gugup, bahagia, sekaligus takut. Perasaan yang membingungkan namun begitu memikat.
"Aku... akan menunggu sampai kau jatuh cinta kepadaku, meski itu selamanya," bisik Sakha di telinga Lana, suaranya penuh dengan kesungguhan.
...----------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri