Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03 Gudang Tersembunyi
Setelah pesta usai, Valeria melangkah masuk ke apartemennya yang mewah di pusat kota. Ia melepaskan gaun hitamnya, membiarkannya jatuh ke lantai sebelum mengenakan jubah satin dan menyalakan sebatang rokok.
Matanya menatap bayangannya sendiri di cermin besar di depan tempat tidur. Dante Salvatore.
Nama itu terus berputar di kepalanya.
Bukan hanya karena siapa dia—seorang mafia yang ditakuti—tapi karena bagaimana dia melihatnya.
Dante tidak takut.
Bahkan lebih dari itu, dia tampak tertarik.
Valeria tersenyum tipis, mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Kau menyenangkan, Dante,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Tapi seberapa jauh kau bisa bermain?”
Tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Kau cantik malam ini.”
Valeria mengangkat alis, lalu tersenyum. Dante.
Dia tidak terkejut. Pria seperti Dante tidak akan membiarkan seseorang yang menarik perhatiannya begitu saja.
Jari-jarinya mengetik balasan.
“Kau juga tidak buruk.”
Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan datang.
“Aku ingin tahu bagaimana wajahmu saat kau memb*nuh seseorang.”
Jantung Valeria berdebar. Bukan karena takut—tapi karena antisipasi.
Tidak ada basa-basi. Tidak ada kepura-puraan. Dante tahu sesuatu.
Dan itu membuatnya semakin menarik.
Valeria menyesap rokoknya sekali lagi, lalu mengetik balasan yang sederhana.
“Mungkin suatu hari nanti kau akan melihatnya sendiri.”
Lalu dia mematikan ponselnya, melemparkannya ke atas meja, dan membiarkan senyumnya semakin melebar.
Permainan baru saja dimulai.
---
Di tempat lain, Dante duduk di ruang kerjanya, memandangi ponselnya dengan ekspresi penuh minat. Dia tidak salah menilai wanita itu.
Valeria bukan wanita biasa.
Dia berbahaya. Gelap. Tak terduga.
Dan itu membuat Dante semakin ingin memilikinya.
---
Udara di dalam ruangan dingin dan berbau logam. Lampu gantung berkelap-kelip redup, menerangi sosok Valeria yang duduk di kursi dengan tangan terikat di belakang punggungnya.
Di sekelilingnya, beberapa anak buah Dante berjaga. Mereka mengira wanita itu akan panik, berteriak, atau setidaknya menunjukkan sedikit ketakutan.
Tapi Valeria hanya tersenyum.
Matanya penuh antisipasi, seperti seorang anak kecil yang baru saja menemukan permainan baru.
Pintu besar di ujung ruangan terbuka. Langkah berat bergema di lantai beton, disusul oleh suara yang dalam dan dingin.
“Kudengar kau suka permainan, Valeria.”
Dante.
Dia berjalan mendekat, menatapnya dengan ketertarikan yang lebih dalam dari sebelumnya.
“Apa ini caramu menguji nyaliku, Dante?” Valeria bertanya santai, seolah tidak peduli dengan posisinya yang ‘tertangkap’. “Kalau begitu, kau harus mencoba lebih keras.”
Dante terkekeh kecil. Tidak ada ketakutan. Tidak ada kepanikan.
Hanya gairah terhadap permainan ini.
Dia berlutut di depan Valeria, mengangkat dagunya dengan ujung jarinya. “Biasanya orang yang duduk di kursi ini menangis, memohon, atau setidaknya mengutukku.”
Valeria mencondongkan tubuh sedikit ke depan, membiarkan napasnya hampir menyentuh wajah Dante. “Kau pikir aku seperti mereka?”
Dante tersenyum. “Tidak. Itu yang membuatmu menarik.”
Tanpa peringatan, Valeria menggigit bibir bawahnya sedikit, matanya berbinar penuh kenikmatan. “Lalu, apa selanjutnya? Kau akan mengancamku? Menyakitiku? Membunuhku?”
Dante mengamati ekspresi wajahnya. Tidak ada ketakutan. Tidak ada rasa terancam.
Dia benar-benar menikmati ini.
Dan entah kenapa, itu membuat Dante semakin tertarik.
Tapi sebelum dia bisa berkata lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, Valeria melompat dari kursinya—tali yang mengikat tangannya ternyata sudah dia lepaskan.
Dalam hitungan detik, dia menarik pisau dari pinggang salah satu anak buah Dante dan men*kamnya tepat di tenggorokan.
Darah menyembur. Pria itu mengerang, lalu jatuh ke lantai, tubuhnya bergetar sebelum akhirnya diam tak bergerak.
Ruangan menjadi hening.
Anak buah Dante yang lain langsung mengangkat senjata mereka, siap menembak.
Tapi Dante mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk mundur.
Dia menatap Valeria yang berdiri di sana dengan senyum menggoda, darah mengotori gaun satin yang masih ia kenakan.
Dia tidak melarikan diri. Tidak mencari jalan keluar.
Sebaliknya, dia menatap Dante dengan penuh tantangan.
Seolah dia baru saja memberinya hadiah.
Dante mendekat, memandang tubuh tak bernyawa yang tergeletak di lantai, lalu kembali menatap Valeria.
Alih-alih marah, dia justru tertawa kecil.
“Seharusnya aku marah, tapi entah kenapa, aku justru semakin menyukaimu.”
Valeria menyeringai. “Aku hanya ingin melihat reaksimu.”
Dante mendekat lagi, kali ini hampir menempel padanya. Tangannya terangkat, menyentuh wajah Valeria dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan situasi di sekitar mereka.
“Aku tidak tahu siapa yang lebih gila di antara kita,” gumamnya.
Valeria tertawa pelan, lalu berbisik, “Mungkin kita harus mencari tahu bersama.”
Mata mereka bertemu, dan di dalam kegelapan, dua jiwa yang sama gilanya saling menemukan satu sama lain.