Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Curiga dan Antusiasme
Bab 30: Curiga dan Antusiasme
Rabu, 29 Februari 1984
Malam itu, setelah Arya dan Sulastri tiba di rumah dari perusahaan, mereka langsung melihat Hermanto berjalan keluar dari halaman rumah, diantar oleh Brata hingga ke gerbang. Hermanto tampak tersenyum ramah sambil melambai, tetapi di mata Arya, senyum itu menyimpan sesuatu yang licik.
Ketika Sulastri dan Arya masuk ke rumah, mereka langsung bertanya pada Brata mengenai kehadiran Hermanto.
“Kenapa Hermanto datang ke sini, Pak?” tanya Sulastri sambil melepas sepatu.
Brata menghela napas sambil duduk di sofa. “Dia ingin memastikan mutasinya ke Polsek Betung minggu depan. Katanya ingin memberi tahu secara langsung dan bersilaturahmi.”
Arya yang duduk di samping ayahnya langsung menatap penuh tanya. “Ayah, bukankah Hermanto sudah membicarakan soal ini beberapa hari lalu? Kenapa dia masih begitu ngotot?”
Brata tersenyum tipis. “Arya, ini keputusan dari Kapolres langsung. Aku tidak bisa menolaknya. Hermanto adalah ajudan kepercayaan Kapolres, jadi permintaan mutasinya pasti dituruti.”
“Tapi, Ayah, Hermanto bukan polisi yang jujur. Gaji Bripda seperti dia jelas tidak cukup untuk gaya hidup dan pengaruh yang dia miliki. Apalagi kabarnya dia bahkan memberikan puluhan hektar lahan ke Kapolres untuk perkebunan sawit. Dari mana dia mendapatkan itu semua?” Arya mencoba mengingatkan.
Brata mengangguk pelan. “Aku tahu, Arya. Hermanto memang licik, tapi aku tidak punya bukti apa-apa. Lagipula, dia selama ini terlihat rajin dan membantu.”
Sulastri ikut menimpali. “Brata, kamu harus waspada. Orang seperti Hermanto tidak melakukan sesuatu tanpa alasan. Dia terlalu ingin berada di bawah kepemimpinanmu, pasti ada tujuan tertentu.”
Brata mengangguk, tetapi tak ada jawaban pasti. Di dalam hatinya, ia mulai merasa sedikit terganggu, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan Hermanto dengan Kapolres terlalu kuat untuk diabaikan.
"Aku tahu, aku akan lebih hati-hati dengan nya. Aku ingat di kehidupan sebelumnya, keluarga kita membeli sebuah mobil tangki bekas dari kerabat kita yang membutuhkan uang dan mobil tangki tersebut di pinjam oleh Hermanto selama beberapa tahun. Tanpa sepengetahuan ku mobil tangki tersebut dia gunakan untuk bisnis minyak ilegal dan ketika akan aku ambil mobil tersebut, ternyata mobilnya sudah rusak dan hancur. Tetapi karena Hermanto sering membantu ku ketiga bertugas, aku jadi sungkan untuk meminta ganti rugi padanya, " Cerita brata tentang kenangan di kehidupan sebelumnya.
Arya juga mengingat kejadian ini di kehidupan sebelumnya, karena mobil tangki ini juga yang membuat Hermanto menjadi polisi yang kaya raya. Arya merasa sangat kesal mengingat nya, Hermanto adalah orang yang sangat licik dan tidak tahu berterima kasih serta orang yang sangat kejam sampai tega membunuh Brata atasan nya sendiri.
Malam itu keluarga Arya memasang sikap hati-hati dan curiga terhadap gerak-gerik Hermanto.
***
Sabtu Pagi, 3 Maret 1984
Beberapa hari kemudian di sekolah, Arya, Saka, Abdi, dan Mitha berkumpul di bawah pohon besar saat jam istirahat. Seperti biasa, mereka berbincang dan bermain bersama, tetapi kali ini suasana lebih santai.
Tiba-tiba, Abdi membuka percakapan dengan penuh semangat. “Arya, kapan terakhir kali kita ke studio? Aku sudah lama tidak main di sana.”
“Aku juga setuju, Windah dan Putri sering bertanya kapan bisa melihat studio kita,” sambung Mitha.
Arya tersenyum kecil. “Baiklah, minggu besok kita berkumpul di studio. Kebetulan aku dan Saka hampir menyelesaikan proyek baru kita.”
“Proyek baru?” tanya Abdi penasaran.
Saka, yang duduk bersandar di batang pohon, menjawab dengan santai. “Kami sedang membuat dua video game baru untuk dingdong.”
Mendengar itu, Abdi langsung bereaksi. “Apa? Kalian tidak bilang apa-apa soal ini! Kenapa kalian diam-diam membuat game tanpa mengajakku?”
Arya mencoba menjelaskan dengan tenang. “Abdi, game ini berbeda dari yang biasa kita buat. Membuat video game untuk dingdong itu lebih rumit karena memerlukan pemrograman komputer dan komponen elektronik yang lebih canggih. Kami tidak ingin membebani kalian.”
Saka menimpali dengan nada menggoda. “Lagipula, apa yang bisa kamu lakukan, Abdi? Paling-paling cuma makan cemilan.”
Abdi langsung bereaksi dengan marah. “Hei, aku juga punya ide-ide bagus untuk game! Mitha juga bisa membantu dengan desain gambarnya!”
Melihat Abdi dan Saka mulai berdebat, Arya cepat melerai. “Sudah, sudah. Game-nya belum selesai. Justru aku dan Saka memang berencana meminta pendapat kalian berdua untuk desain dan finishing-nya, Saka hanya bercanda dengan mu, Abdi.”
Mitha yang sedari tadi diam mulai bertanya, “Jadi, video game apa yang kalian buat?”
Arya menjelaskan, “Yang pertama adalah game di mana pemain harus menyusun balok-balok dengan berbagai bentuk menjadi satu dinding utuh. Semakin banyak balok yang tersusun, semakin tinggi nilainya, tetapi kecepatannya akan terus bertambah setiap levelnya.”
“Wah, seru sekali! Apa nama game itu?” tanya Mitha penuh antusias.
“Kami menyebutnya Tetris,” jawab Arya. “Nama itu berasal dari kata ‘tetra,’ bahasa Yunani yang berarti empat, karena semua baloknya terdiri dari empat kotak. Dan ‘tenis,’ yang mengingatkan kami pada permainan minggu lalu.”
“Wah, hebat sekali!” seru Mitha. “Aku ingin mencoba game itu!”
Saka, yang tampak puas dengan tanggapan mereka, menambahkan. “Kami juga membuat game kedua. Pemain akan mengendalikan ular rakus yang terus memanjang setiap kali memakan makanan.”
“Namanya apa?” tanya Abdi.
“Snakes,” jawab Arya singkat.
Abdi tertawa kecil. “Saka, game itu seperti kamu. Makin makan, makin panjang perutmu.”
Saka yang merasa tersindir langsung mengejar Abdi, dan keduanya mulai berlari mengelilingi pohon sambil saling mengejek. Mitha dan Arya hanya tertawa melihat tingkah mereka.
***
Minggu, 4 Maret 1984
Keesokan paginya, Arya dan Amanda menjemput Mitha dan Tiara untuk berlari pagi bersama ke studio DreamWorks. Setelah itu, mereka bertemu Saka dan Abdi di jalan, serta Windah dan Putri yang sudah menunggu di studio.
Studio DreamWorks kali ini terasa lebih hidup karena semua teman-teman Arya datang untuk melihat proyek baru mereka. Setelah sarapan bersama, Arya dan Saka mulai memperlihatkan mesin dingdong yang sedang mereka kerjakan.
“Lihat ini,” kata Saka sambil menyalakan prototipe dingdong mereka. “Ini adalah Tetris. Mesinnya masih sederhana, tapi fungsional.”
Arya mulai menjelaskan cara bermain kepada teman-temannya. Mereka bergiliran mencoba, dan ekspresi kagum terlihat di wajah mereka. Mitha bahkan berhasil mencetak skor tertinggi setelah bermain beberapa kali.
“Game ini seru sekali!” seru Putri. “Aku yakin kalau kita membawa ini ke sekolah, semua orang akan mengantri untuk mencobanya.”
Arya tersenyum. “Itu memang rencana kami. Tapi kami harus menyelesaikan semuanya terlebih dahulu.”
Setelah puas bermain Tetris, Arya dan Saka memperkenalkan game Snakes. Kali ini, giliran Windah yang menunjukkan keahliannya dengan mencetak skor tinggi. Abdi, yang awalnya mengeluh karena tidak dilibatkan, akhirnya ikut membantu menyempurnakan beberapa elemen permainan.
Hari itu di studio menjadi hari penuh tawa dan kebersamaan. Arya merasa bersyukur memiliki teman-teman yang selalu mendukungnya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ia tahu bahwa bayang-bayang Hermanto masih mengintai, dan ia harus terus waspada demi melindungi keluarganya.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa