Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terluka
“Itu dia!” seru Ali sambil berlari di gang sempit pinggiran kota J. Dengan cekatan ia menarik jaket pengedar narkoboy itu. Dicengkramnya bahu pria berusia 20 tahunan tersebut hingga ambruk ke bawah.
Masih sempat melawan, pria itu kemudian di hantamkan kepalanya masuk ke tembok gang. Ali segera menggasak pria yang usianya lebih muda 7 tahun darinya. Di tendangnya kaki pria itu hingga terdengar bunyi krekk. Jatuh berlutut, tersungkur.
“Kamu berhak diam hingga pengacaramu datang ke kantor polisi.” Ali segera memasangkan borgol pada kedua tangan pria pengedar itu.
Akan tetapi, tanpa Ali sadari. Ada seorang yang membantu pengedar itu. Dari belakang, leher Ali dijerat dengan tali.
Kedua kaki Ali nampak menendang debu dalam gang sempit yang sangat sepi. Wajah tampannya memerah, berusaha bernapas dengan baik. Kedua tangannya yang kekar memegang tali.
Ali berpikir cepat, seketika ia arahkan sebelah kakinya ke tembok lalu mengumpulkan tenaga hingga badannya terdorong ke belakang dan menimpuk tubuh komplotan pengedar itu.
“Hufttt.” Ali mengusap keningnya, bercucuran keringat. “Kurang ajar ya, kalian.” Ia regangkan ototnya sambil memasang kuda-kuda siap adu tinju. “Maju kau!”
Pria yang tadi mencoba mencekik leher Ali, kini mengeluarkan sebuah pisau. Sambil tersenyum miring, pria berkumis itu berkata, “tamat riwayatmu, mahluk pemakan uang haram!”
Ali tertawa kencang mendengar penjahat itu, “lihat, siapa yang sedang bicara?” Karena geram, Ali maju duluan.
Perkelahian pun tak terelakkan. Sementara pria tadi masih dalam keadaan terborgol, berusaha kabur tapi tidak bisa sebab sebelah kakinya nampak patah habis ditendang oleh Aliando.
“Dasar Intel sialan!” decak pria 20 tahunan itu. Ia mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang.
(Halo? Desta?) jawab suara imut itu dari sambungan telepon.
(Segera menuju gang belakang kos putri!) kata Desta sambil ngos-ngosan.
(Des? Kamu kenapa, Des?) panik suara wanita itu.
(Gak usah banyak omong, Lolly! Cepatan ke sini, kalau gak, video syur lo bakalan gue sebar!)
Ali sukses melumpuhkan pria itu. Ia berjongkok kemudian meraih rahang lawannya. “Dimana markas kamu? Jika kamu mau di ajak bekerja sama, maka, hukumanmu bisa dipotong.”
Pria itu malah meludahi wajah Ali. Cairan merah kental mengenai pipi mulus nan putihnya Aliando. Karena ekspresi wajah Ali selalu datar, penjahat itu malah makin tertawa, “benar kata Baskara, lo itu polisi tolol!”
Mata Ali seketika memicing, makin kencang ia cengkram rahang pengedar narkoboy itu. “Tau darimana kamu nama adik saya?”
“Bener, ‘kan? Lo itu bego, Baskara aja gak nganggep lo kakaknya dan lo malah mengaku sebagai saudaranya?”
Ali menampar kuat pengedar itu, membalikkan tubuhnya lalu memasangkan borgol. Akan tetapi, perhatian Ali teralihkan barang beberapa detik dan seketika itu ia menyesalinya.
Ada seorang wanita sedang berlari sambil membawa tumpukan kertas seperti mahasiswi mau bimbingan. Mata Ali berusaha menangkap sosok itu tapi pandangannya tertutupi oleh cahaya matahari.
Tepat saat Ali mengancingkan borgolnya. Terasa ujung runcing sebuah benda tajam menusuk perutnya kemudian samping kanannya.
Tubuh Ali tersentak kaget. Ia melihat ke samping dan cairan merah sudah mengalir dari balik baju kaosnya.
Ali mundur sambil memegang pinggang kanannya yang nampak tertusuk dalam. Berusaha menahan kucuran itu dan berdiri lunglai.
Pengedar berkumis yang bermulut jahat itu segera tersenyum penuh kemenangan. Ia memanggil wanita itu, “hoy, ambilin kunci borgolnya.”
Wanita itu mendekat dengan takut-takut tapi ia tetap merogoh saku celana si Intel tanpa berani membuka mata.
“Ka …, kamu?” serak suara Ali, matanya membola melihat siapa perempuan itu. Benar, dia adalah Lolly, temannya Laras.
Tapi Lolly tidak mendengar ucapan Ali dan juga tidak melihat wajahnya. Borgol kedua pengedar itu pun lepas. Mereka bertiga hendak pergi namun tangan Ali menahan sebelah betis si Pengedar berkumis.
“Nyawa lo udah mau melayang. Gak usah nahan-nahan gue yang hidupnya masih lama,” kata si Kumis.
Karena Ali masih bersikeras menahan betisnya. Pengedar narkoboy berkumis itu menendang kepala Ali hingga pegangan tangan Ali pun terlepas. Aliando pingsan.
“Ke … kenapa, kalian bunuh orang?” tanya Lolly sangat ketakutan.
“Udahlah, Lolly, dia pantes dapetin itu, dia hampir nangkap aku, loh!” seru kekasih Lolly yang bernama Desta.
“Emang kamu ngapain aja sampai mau ditangkap, hah?!” cemas Lolly bukan main. Badannya gemetar.
“Narkoba! Pengedar narkoba! Puas kamu?” Kepala Desta maju ke muka Lolly, sambil ia tiup poni kekasihnya. “Pria itu intel.”
Mata Lolly sukses membelalak. “Apa? Intel?”
Lolly pun segera diseret pergi menjauh dari gang. Ketiganya meninggalkan Ali yang terkapar bersimbah cairan merah.
Sementara itu, Laras yang tengah membuat minuman hitam pekat untuk bapaknya malah menjatuhkan gelas kopi.
“Owalah, nak. Pelan-pelan, napa?” ujar Pak Kaget dibuat kaget.
Laras memegang dadanya. Ada sebuah perasaan aneh yang cukup membuatnya sesak. “Maaf, Pak.”
“Lapar, nak?” tanya Bu Sabar.
“Pusing, Bu.”
“Kenapa, toh? Mikirin suamimu?”
Laras menggeleng cepat. “Hih, ya engga lah, Bu. Ngapain coba?” Laras segera masuk ke kamar. Gadis itu malu ketahuan ibunya. Laras segera meraih telepon genggam. Tadi pagi ia sempat bertukar nomor dengan Ali.
Nyaris sepuluh kali Laras menelpon tapi tak ada jawaban. Laras menghentakkan kakinya ke lantai. “Hihhh! Ini laki ke mana sih? Baru aja jadi suami tapi langsung buat cemas. Nyebelin ah, kesel!” Mata Laras berkaca-kaca, sebentar lagi ia akan menangis. Dasar cengeng.