Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Di Bawah Bayang-bayang
Seiring berjalannya waktu, Elyana mulai merasakan beban yang semakin berat dari pernikahannya dengan Davin. Hubungan mereka, yang dulunya berisi percakapan penuh perhatian dan diskusi ringan, kini berubah menjadi rutinitas yang hampa. Di balik tawa kecil dan senyuman tipis yang kadang muncul di wajah Davin, ada kekosongan yang tak bisa disangkal.
Elyana sering menghabiskan malam di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang menunjukkan angka-angka dan grafik yang tak pernah bisa mengalihkan pikirannya dari kenyataan. Keterikatan mereka seakan terbungkus dalam selubung formalitas, di mana kata-kata manis yang dulu mengalir bebas kini terhenti. Davin, dengan sikap seriusnya yang tak pernah berubah, sering menghilang dalam pikirannya sendiri, terlalu sibuk memikirkan masalah perusahaan dan tekanan yang datang dengan posisinya.
Suatu sore, ketika hujan kembali mengguyur Jakarta, Elyana duduk di ruang tamu yang hening, dikelilingi oleh kenangan-kenangan kecil yang mulai memudar. Foto-foto pernikahan mereka, hadiah-hadiah kecil dari kolega, dan buku-buku yang pernah dibaca bersama—semuanya tampak seperti barang-barang asing di tempat yang seharusnya penuh dengan kehidupan.
Tiba-tiba, pintu depan dibuka, dan Davin masuk dengan ekspresi wajah yang lelah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya melepaskan jasnya dengan gerakan terburu-buru dan melangkah ke kamar tidur tanpa menoleh. Elyana menatap punggungnya, perasaan kesepian yang mendalam merayap di dadanya.
"Apakah ini yang kita inginkan?" pikir Elyana, suara hatinya bertanya-tanya dalam keheningan. Ia tahu bahwa mereka berdua terjebak dalam kebisuan yang membuat mereka semakin terpisah. Tidak ada pertengkaran besar, tidak ada suara yang memecah keheningan, hanya ada kebisuan yang semakin dalam.
Semakin lama, Elyana merasa terjebak dalam bayang-bayang pernikahan yang tidak membahagiakan. Ia ingin keluar dari semua ini, menemukan kembali dirinya yang dulu penuh semangat, tetapi di sisi lain, rasa takut untuk melangkah keluar dari zona aman membuatnya ragu.
Namun, ada satu hal yang tak bisa diabaikan—rasa kehilangan harapan. Setiap malam, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah cinta itu masih ada di sini, atau hanya kenangan semata?"
Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang sama, keadaan tetap begitu sunyi, bahkan tidak ada tanda-tanda mereka seperti layaknya suami-istri, kehampaan dan keheningan di rumah mereka semakin menjadi teman yang akrab. Elyana sering terjaga hingga larut malam, merenungkan langkah-langkah yang harus diambil, tapi selalu didera oleh keraguan. Kehidupan yang dulu penuh dengan keceriaan dan percakapan tanpa akhir, kini terasa seperti mimpi yang pudar, terhapus oleh kenyataan yang menyesakkan. Ia terus memikirkan entah dulu ia mengambil keputusan yang salah atau ini semua takdir yang di gariskan untuknya? Entahlah namun, setelah hari-hari berlalu begitu cepat tanpa ada tanda-tanda yang di inginkan membua Elyana terus berpikir hubungannya dengan Davin.
Suatu malam, ketika hujan turun dengan derasnya dan suara gemericiknya mengisi seisi rumah, Elyana duduk di dekat jendela, menatap ke luar. Lampu jalanan memantulkan kilau basah, menciptakan bayangan siluet yang bergerak seiring angin. Suasana itu membuatnya teringat akan hari-hari penuh warna di awal pernikahan, saat mereka berdua duduk di jendela ini, berbagi cerita dan tawa, dan mengagumi hujan yang jatuh di kota.
Namun sekarang, suasana itu seolah hanya tinggal kenangan yang jauh. Suara langkah kaki di lantai atas menarik perhatiannya. Ia tahu itu Davin, yang sedang berjalan kembali ke kamar tidurnya. Ia ingin memanggilnya, meminta perhatian yang selama ini tak pernah ia dapat, tapi ia ragu. Kata-kata yang terpendam di dalam dadanya terasa seperti batu besar, sulit untuk diungkapkan.
"Elyana," suara Davin terdengar dari bawah, memecah keheningan malam. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Elyana dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Ada apa?"
Elyana menoleh, sedikit terkejut. "Davin, kita perlu berbicara," ujarnya dengan suara yang bergetar, menahan perasaan yang menguasai dirinya.
Davin menghela napas panjang, seolah tahu bahwa percakapan ini bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ia melangkah mendekat, duduk di kursi di seberang Elyana. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kata-kata yang ingin Elyana ucapkan terhenti di tenggorokan.
"Aku merasa kita sudah terlalu jauh," Elyana akhirnya berkata, suara yang penuh dengan keputusasaan. "Aku tidak tahu apa yang kita cari lagi di sini, tetapi aku tahu kita sudah tidak sama."
Davin terdiam, matanya menatap ke arah lantai. Ia tahu bahwa Elyana benar. Perasaan itu sudah lama ada, tumbuh perlahan seperti jamur di tempat yang gelap. Tapi ia takut untuk mengakuinya, takut pada kenyataan bahwa mereka telah berubah menjadi orang-orang yang hanya berbagi rumah, bukan hidup.
"Jadi, apa yang kamu inginkan?" tanya Davin, akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap Elyana dengan mata yang penuh kebingungan dan kelelahan.
Elyana menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin kita jujur pada diri sendiri. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, hanya berharap sesuatu akan berubah tanpa ada usaha."
Davin menatap Elyana sejenak, seolah berusaha membaca pikirannya. Mereka berdua tahu bahwa pernikahan ini sudah berada di ujungnya, dan perpisahan adalah hal yang tidak bisa dielakkan.
"Jika itu yang kau inginkan," ujar Davin, suaranya lemah, "aku tidak bisa menghalangimu."
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Elyana merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Meskipun perpisahan adalah hal yang menyakitkan, ia tahu bahwa keputusan ini adalah langkah menuju kebebasan.
Keesokan harinya, Elyana mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yang perlu dibawa; sebagian besar kenangan buruk, lebih banyak daripada kenangan manis, membuatnya tidak ingin terikat dengan rumah itu. Ketika ia meletakkan barang-barang di dalam koper, pikirannya kembali kepada masa-masa ketika ia dan Davin pertama kali memulai hidup bersama. Waktu itu, rumah ini penuh dengan semangat dan optimisme.
Namun, sekarang, hanya ada keheningan dan bayang-bayang dari apa yang pernah ada.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan Davin muncul di ambang pintu, matanya merah dan lelah. "Aku tahu ini sulit, Elyana," katanya, suaranya patah-patah. "Tapi aku ingin kau tahu, aku tetap menghormati keputusanmu."
Elyana menatapnya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Ada rasa sesal, mungkin, dan mungkin juga sebuah pemahaman. "Terima kasih, Davin," katanya pelan. "Aku harap kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing."
Mereka berdua hanya berdiri dalam keheningan, seperti dua orang asing yang pernah saling mencintai. Elyana kemudian melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas dari bayang-bayang yang selama ini membelenggunya.
Dan di luar sana, hujan masih terus turun, membasahi kota yang seakan tidak pernah berhenti berputar.
...****************...