Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30. Di Ujung Harapan Kemenangan
Bayangan malam mulai pudar, dan langit subuh mulai menampakkan rona jingganya di cakrawala. Cahaya matahari yang perlahan muncul memberi semburat keemasan pada setiap lekuk wajah Carlos. Kulitnya tampak berkilau, menciptakan kesan magis yang sulit dijelaskan. Aku menatap wajahnya lebih lama dari biasanya—mungkin karena pancaran itu membuat segalanya terasa lebih intens.
Carlos yang ada di depanku tampak sempurna, bahkan dengan mata yang tertutup karena lelah. Hidungnya yang lurus, bibirnya yang sedikit terbuka, dan rahangnya yang tegas seolah terpahat sempurna oleh alam. Setiap inci wajahnya, dari alis hitam tebal hingga garis rahang yang tajam, memancarkan kekuatan dan kelembutan pada saat bersamaan. Angin pantai menyapu rambutnya yang hitam, membuat beberapa helainya jatuh ke dahinya, menambah kesan misterius.
Aku bisa merasakan napasnya yang hangat saat ia semakin mendekat, hingga akhirnya jarak di antara kami hilang. Bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, membawa sensasi yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ada kehangatan yang menjalar cepat ke seluruh tubuhku, seakan dunia di sekeliling kami lenyap seketika. Hanya ada kami berdua, di tengah pantai yang sunyi.
Ciumannya penuh dengan rasa, namun perlahan dan dalam. Setiap gerakannya membuatku semakin terseret dalam pusaran perasaan yang sulit kuuraikan. Rasanya seperti waktu berhenti, seakan dunia hanya menyisakan kami berdua. Aku tak bisa lagi berpikir dengan jernih, hanya larut dalam kehangatan dan kelembutan yang ia tawarkan. Bibir Carlos, dengan tekanan yang pas, seperti melukis jejak rasa di hatiku.
Angin pantai semakin dingin seiring subuh yang perlahan menua, namun kehangatan dari ciuman Carlos membuat tubuhku terasa menyala. Sensasi bibirnya yang lembut tapi tegas mulai semakin terasa. Ia tak terburu-buru, setiap gerakan bibirnya penuh kesabaran, seolah menciptakan ritme yang memabukkan. Dadaku berdegup kencang, bahkan napasku mulai tak beraturan.
Ketika tangannya yang hangat menyentuh pinggangku, kurasakan sentuhan yang mendalam dan menenangkan, tapi juga membuatku tersentak dengan getaran yang menjalar cepat dari ujung kaki hingga kepala. Carlos semakin menarikku mendekat, meniadakan sisa jarak di antara tubuh kami. Bibirnya bergerak lebih dalam, dan aku hampir tak bisa menahan diri—sensasi itu semakin dalam dan intens.
Rasanya seolah setiap sentuhan, setiap ciuman membawa percikan kecil api yang terus menyulut di dalam diriku. Mataku terpejam, menyerahkan diriku sepenuhnya pada momen itu. Bibirnya yang lembut menekan bibirku lebih erat, meninggalkan getaran di dadaku, dan aku tak ingin ini berakhir. Tangan Carlos kini naik, menyusuri punggungku dengan lembut, menciptakan aliran listrik di sepanjang tulang belakangku. Aku bisa merasakan jari-jarinya yang kokoh, namun penuh kehangatan dan kasih sayang.
Kurasakan desahan napasku semakin dalam ketika ia memiringkan sedikit kepalanya, membuat ciumannya semakin intens. Bibir kami menyatu dengan lebih dalam, seolah tak ada lagi batasan. Setiap sentuhan, setiap gesekan terasa seperti letupan kecil di dalam hatiku. Ada sesuatu yang mendalam di sini—sesuatu yang jauh melampaui sekadar ciuman. Ini adalah cara Carlos mengungkapkan perasaan tanpa kata, cara ia menunjukkan bahwa aku adalah dunianya, sama seperti ia bagiku.
Waktu terasa membeku. Di tengah semak-semak yang mulai diterpa sinar pagi, di pantai yang hanya menjadi saksi bisu, kami berdua terhanyut dalam perasaan yang begitu kuat dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sensasi bibirnya masih tertinggal di setiap sudut bibirku, dan seolah tak cukup, ia kembali menciumku, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, dan aku tak bisa menahan gemetar kecil yang menjalar di tubuhku.
___
Ruri benar-benar terhanyut dalam dunianya bersama Carlos. Rasanya seolah-olah waktu berhenti, dan di sekeliling mereka hanyalah kesunyian pantai yang semakin diterangi oleh sinar fajar. Dunia ini hanya milik mereka berdua, tidak ada yang lain. Kehangatan ciuman Carlos masih tertinggal di bibirnya, membuat detak jantung Ruri terus berdebar. Semuanya terasa begitu sempurna, hingga…
"Hem, hem!"
Tiba-tiba, suara batuk pura-pura dari ibu-ibu yang sejak tadi ada di dekat mereka memecah keheningan. Ruri tersentak, tersadar bahwa mereka tidak sendirian. Matanya melebar, pipinya memerah seketika. Ia segera melepaskan diri dari Carlos, meskipun sedikit enggan.
Si ibu-ibu memandang mereka dengan senyum setengah menyindir. "Aduh, aduh… anak muda zaman sekarang, ya. Ciumannya di tengah pantai, bukan di kamar. Bebas banget, sih, ya?" Ucapannya diiringi dengan tawa kecil yang menambah malu Ruri.
Ruri semakin terjebak dalam rasa malunya, namun Carlos hanya tersenyum lembut dan menggenggam tangannya. "Tidak usah malu, Ruri," katanya tenang, "Ayo, kita kembali ke penginapan. Mereka pasti mencarimu."
Ruri menunduk, merasa malu namun tersentuh oleh perhatian Carlos. Ia mengangguk pelan, masih dengan pipi yang memerah, dan mengikuti langkah Carlos yang mulai berjalan meninggalkan pantai menuju penginapan. Namun di tengah perjalanan, Ruri tiba-tiba merasa pusing. Pandangannya sedikit kabur dan ia berhenti, menahan kepalanya yang mulai berdenyut.
"Carlos, tunggu," gumamnya pelan. "Aku tiba-tiba mengingat sesuatu..."
Carlos berhenti dan menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau ingat, Ruri?" tanyanya lembut.
Ruri berusaha mengumpulkan pikirannya. "Ini… sewaktu aku masih jadi mahasiswa baru. Ada dua senior di angkatan ketiga yang meninggal saat mengikuti kegiatan mahasiswa pecinta lingkungan. Mereka terbawa arus ombak pantai yang tiba-tiba deras... tapi aku tak pernah melihat wajah mereka, hanya nama mereka yang tertulis di banner belasungkawa. Salah satu dari mereka... Arham."
Mendengar nama itu, Carlos terdiam. Ruri melanjutkan, "Tapi burung gagak tadi... wajahnya menyerupai senior Arham. Aneh, kenapa aku bisa mengenalinya sebagai Senior Arham padahal aku tak pernah melihat wajahnya yang asli?"
Carlos tetap diam, sementara Ruri mencoba mengingat lebih dalam, tapi semakin ia berusaha, kepalanya terasa sakit. Seolah ada sesuatu yang mencegahnya mengingat lebih jauh. "Kenapa... kenapa kepalaku sakit sekali?" ucap Ruri sambil memegangi kepalanya.
Melihat itu, Carlos tersenyum tipis, tapi kali ini berbeda—senyum lega. Dalam hatinya, ia bersorak. Ruri tidak tahu, namun ia bisa merasakan bahwa ingatan tentang burung gagak itu perlahan memudar. Doppelganger yang selama ini menyusup ke dunia manusia benar-benar telah sirna. Ruri mungkin tak akan pernah tahu kebenaran tentang Arham yang sesungguhnya, dan itu adalah hal terbaik baginya.
Carlos mengusap kepala Ruri pelan, lalu berkata dengan tenang, "Tenang saja, Ruri. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Kau sudah melakukan yang terbaik, dan aku yakin, dengan kemampuanmu, kau pasti bisa menjadi juara di kompetisi Pemuda Tangguh ini."
Ruri menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang masih kalut. Namun, melihat Carlos di depannya dengan senyum lembut itu, rasa percaya diri yang sempat hilang perlahan kembali. Ia mengepalkan kedua tangannya, lalu berkata dengan penuh tekad, “Carlos, aku berjanji. Aku akan berjuang mati-matian di kompetisi ini! Aku tidak akan mengecewakanmu setelah semua yang telah kau lakukan untukku."
Mata Ruri berbinar dengan semangat yang baru, tatapannya begitu mantap. “Aku pasti akan memenangkannya! Aku tidak akan menyerah. Apa pun rintangannya, aku akan melewatinya dan membawa pulang kemenangan ini!”
Carlos menatapnya dengan bangga, senyumnya semakin dalam. "Itu dia Ruri yang kukenal," katanya lembut, "Aku percaya padamu. Kau akan menjadi juara."
___
Bagian Ketiga: Sudut Pandang Akasha (Tanpa Terlihat Jelas)
Peringkat ketujuh. Daniel. Namanya dipanggil oleh MC dengan lantang, dan meskipun aku sedikit merasa lega, jantungku tetap berdebar kencang. Peluang menang yang semula hanya 43 persen perlahan naik menjadi 50 persen setelah satu orang tersingkir. Namun, kegelisahanku belum hilang. Ada terlalu banyak hal yang dipertaruhkan dalam kompetisi ini.
Saat MC mengumumkan peringkat keenam, rasa tak nyaman yang terus menghantui diriku sejak awal kembali menyelimuti. Dan ketika namaku disebut, aku rasanya ingin terjatuh. Kekecewaan menyelimuti seluruh pikiranku. Ini bukan hasil yang kuharapkan, tapi tak masalah, kan? Ketiga sahabatku yang kusayangi masih berada di atas. Mereka pasti bisa melanjutkan perjuangan ini, dan aku yakin mereka semua akan menang. Dibandingkan dengan dua peserta lain yang hanya unggul karena status keluarga, ketiga sahabatku pantas berada di puncak.
Jika ada yang merasa sedih dengan kekalahan ini, mungkin hantu yang terus menempel padaku. Tapi nanti, aku bisa menghiburnya.
Peringkat kelima. Caesar. Aku merasa lega lagi. Untung saja nama salah satu sahabatku belum dipanggil. Itu berarti peluang mereka semakin besar. Namun, entah kenapa, perasaanku semakin campur aduk. Bagaimana bisa anak otak udang itu lebih unggul dariku? Aku kesal, tapi aku harus terus mendukung sahabatku.
Saat MC tiba-tiba melompati pengumuman peringkat keempat dan langsung menuju peringkat kedua, suasana jadi semakin tegang. Ada tiga orang pemenang dalam kompetisi Pemuda Tangguh ini, dari peringkat kesatu sampai ketiga, yang berarti peringkat yang akan diumumkan oleh MC kali ini adalah peringkat salah satu pemenang. Ketika Antonio disebut sebagai peringkat kedua, aku bersorak dalam hati. Salah satu sahabatku berhasil memenangkan kompetisi dengan menempati posisi peringkat kedua, dan itu membuatku bahagia. Setidaknya, seseorang dari kelompokku telah berhasil!
Namun, kebahagiaanku langsung hancur begitu peringkat ketiga diumumkan. Merissa? Bagaimana bisa? Dunia terasa runtuh saat itu. Salah satu sahabat wanitaku pasti akan tersingkir. Antara Saveina atau… Ruri.
___
Akasha berdiri dengan jantung berdebar kencang, menunggu hasil akhir yang menentukan nasib dua orang sahabat wanitanya, Saveina dan Ruri. Matanya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya. Salah satu dari mereka akan meraih kemenangan besar sebagai juara pertama, sementara yang lain harus menelan pil pahit kekalahan, kalah hanya dengan selisih satu peringkat—lebih pahit dari kekalahan Akasha sendiri. Ketidakpastian yang menghantui membuat udara terasa semakin tegang.
Sambil menggigit bibirnya, Akasha sudah punya dugaan. Dia yakin Ruri-lah yang akan kalah. Bukan karena kemampuan atau usaha Ruri yang kurang, tapi lebih karena faktor eksternal yang tak bisa dihindari. Ruri tidak punya backingan kuat, tidak ada koneksi atau keluarga berpengaruh yang bisa mendukungnya di balik layar. Gadis itu hanya seorang anak yatim piatu, tanpa siapa pun yang berdiri di belakangnya untuk melindungi atau mengarahkan jalannya dalam kompetisi besar seperti ini.
"Sudah jelas, politik orang dalam pasti akan menyingkirkan Ruri," gumam Akasha dalam hatinya. Keyakinan itu makin menguat seiring detik-detik pengumuman yang semakin dekat.
Namun, ketika nama pemenang akhirnya diumumkan oleh MC, dunia Akasha serasa terbalik. Ruri-lah yang disebut sebagai juara pertama. Ruri, yang tanpa backingan atau dukungan, ternyata menaklukkan semua lawannya dan berhasil menjadi pemenang. Keterkejutan dan kekaguman berbaur menjadi satu dalam benak Akasha.
“Ruri… menang?” gumam Akasha pelan, matanya membelalak. Semua prasangka yang sebelumnya dia miliki mendadak runtuh. Ruri telah membuktikan bahwa kerja keras, dedikasi, dan tekadnya jauh melampaui segala halangan, termasuk pengaruh politik yang seolah mustahil dikalahkan. Akasha merasa terhentak, seakan diingatkan bahwa kekuatan sesungguhnya ada pada diri setiap individu, bukan pada siapa yang mendukungnya dari belakang.
Melihat Ruri yang berdiri di panggung dengan senyum lembut dan bangga, Akasha merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa senang untuk sahabatnya—ini adalah pelajaran berharga baginya tentang keteguhan dan keberanian.