Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: Hari Baru, Cinta Lama
Hari ini Ruri kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Hasil kompetisi eliminasi pertama baru saja keluar, dan di luar dugaannya, dia dinyatakan lolos. Sebelumnya, banyak orang yang meragukan kemampuannya, bahkan menjelek-jelekkan usahanya. Namun, setelah keberhasilannya, pandangan mereka berubah drastis. Kini, mereka mulai menghormatinya.
Di lorong kampus, Ruri merasa pandangan banyak orang tertuju padanya. Beberapa mahasiswa yang dulu pernah menghujatnya sekarang mulai berbisik-bisik, memuji keberhasilannya. Salah satu yang membuatnya cukup terkejut adalah Sandra. Biasanya, gadis itu selalu mencibir setiap langkahnya, tetapi kali ini, dia malah menggigit bibir dengan cemburu, menjaga jarak. Sandra jelas tidak senang melihat Ruri sukses dan lebih kesal lagi melihat Carlos, pemuda tampan yang selalu mengawalnya.
Ketika Ruri sedang berjalan menuju kelas, tiba-tiba seorang senior tingkat empat, dua tingkat di atasnya, menghampirinya. Namanya Arham. Dia terkenal cukup pintar dan banyak disukai di kampus. Dengan senyum ramah, Arham memberi ucapan selamat.
"Ruri, selamat ya! Kamu luar biasa, bisa lolos eliminasi pertama kompetisi seberat itu," kata Arham dengan nada tulus. "Aku dengar soal investigasimu, dan itu benar-benar menginspirasi. Tidak banyak yang bisa melakukan seperti yang kamu lakukan."
Ruri tersenyum, sedikit gugup. "Ah, terima kasih, Kak Arham. Aku cuma berusaha sebaik mungkin."
Carlos, yang berdiri di belakang Ruri, diam saja. Biasanya, dia akan langsung melibatkan diri dalam percakapan, namun kali ini, wajahnya tampak tidak nyaman. Ekspresinya dingin, memperhatikan interaksi Ruri dan Arham tanpa berkata sepatah kata pun.
"Senang sekali melihat mahasiswa seperti kamu yang berani dan cerdas," lanjut Arham. Namun, ketika dia akhirnya menyadari keberadaan Carlos, dia tampak kaget. Mata Arham membesar sejenak sebelum dia mempercepat basa-basinya.
"Baiklah, Ruri, aku harus pergi sekarang. Semoga sukses terus di babak berikutnya," katanya, buru-buru berbalik dan pergi sebelum Ruri sempat merespons.
Setelah Arham pergi, Carlos menatap Ruri dengan cemburu yang terselip dalam tatapannya. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada datar.
"Oh, itu Arham, senior tingkat empat," jawab Ruri tanpa beban. "Dia... cukup dekat dengan semua orang di kampus ini. Orangnya memang ramah."
Carlos mendekat, sorot matanya memperhatikan Ruri dengan intens. "Dekat, ya?" gumamnya, suaranya rendah namun jelas terdengar ada kecemburuan yang tertahan. "Aku merasa ada yang aneh dengan orang itu."
Namun, sebelum cemburu Carlos makin memuncak, Ruri tersenyum jahil dan menyentuh bahunya. "Ah, sudahlah, jangan dipikirkan. Bagaimana kalau kita makan es krim? Aku yang traktir!"
Mata Carlos langsung bersinar. "Es krim? Kamu serius?" katanya dengan nada penuh kegembiraan, matanya berubah seceria anak kecil. "Ya ampun, aku tidak menyangka kamu akan mentraktirku! Ini hari yang sangat membahagiakan!"
Ruri tertawa melihat betapa polosnya Carlos saat mendengar soal es krim. "Ayo, sebelum aku berubah pikiran."
Mereka berdua berjalan menuju kantin kampus, menikmati suasana yang lebih santai. Sambil berjalan, mereka saling menggoda dan bercanda, membuat perjalanan yang singkat terasa sangat menyenangkan. Di tengah perjalanan, mereka tiba-tiba melihat sebuah atraksi patung hidup yang dipersembahkan oleh anak-anak teater kampus.
Ruri, yang tertarik, segera berhenti untuk menonton. "Carlos, lihat itu! Mereka benar-benar terlihat seperti patung. Bagaimana caranya mereka bisa tetap diam begitu lama?"
Carlos memiringkan kepalanya, memperhatikan dengan seksama. "Aku tidak tahu. Tapi mereka pasti punya teknik khusus untuk menahan napas dan tetap fokus. Kalau aku, mungkin tidak akan bisa berdiri diam selama itu, apalagi kalau ada es krim di dekatku."
Ruri terkikik. "Oh, jelas. Kamu pasti langsung bergerak kalau ada es krim di depanmu."
Setelah selesai menonton atraksi patung hidup, Ruri mengajak Carlos untuk berjalan-jalan di sekitar danau kampus yang tenang. Sinar matahari sore yang lembut memantul di permukaan air, menciptakan suasana yang damai. Di sekitar mereka, beberapa mahasiswa berkumpul, bermain gitar, dan bernyanyi bersama.
Ruri mengajak Carlos duduk di salah satu bangku kayu yang menghadap langsung ke danau. Suasana yang tenang membuat Ruri merasa nyaman, apalagi dengan Carlos di sampingnya. "Kau tahu, Carlos? Pemandangan seperti ini membuatku ingin bernyanyi," kata Ruri dengan tawa kecil.
Carlos hanya mendengarkan, pandangannya lurus ke depan, fokus pada riak air di danau. "Nyanyianmu mungkin akan membuat semua ikan di danau ini melarikan diri," ucapnya dengan nada dingin, meski ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.
Ruri berpura-pura tersinggung, "Oh, jadi kau bilang suaraku buruk?"
Carlos meliriknya sejenak, lalu kembali menatap danau. "Tidak buruk. Hanya... terlalu keras."
Ruri tertawa lepas, tak bisa menahan diri. "Kau benar-benar tidak bisa memuji orang, ya?"
Carlos hanya mengangkat bahu, meskipun ekspresinya tampak lebih rileks dari biasanya. Melihat Carlos yang berusaha menjaga sikap dinginnya namun tetap bisa membuatnya tertawa, membuat Ruri merasa senang. "Carlos, kau tahu? Kau sebenarnya bisa jadi orang yang menyenangkan, kalau mau."
Carlos tidak langsung menanggapi. Dia hanya menatap Ruri sebentar dengan tatapan dalam, lalu mengalihkan pandangannya lagi. "Aku tidak berusaha menyenangkan siapa pun," ucapnya singkat.
Ruri tersenyum, merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara Carlos menatapnya. "Mungkin tidak. Tapi untukku, kau sudah cukup menyenangkan," katanya dengan tulus.
Carlos tak menjawab, tapi kali ini, senyum tipis di wajahnya tetap bertahan lebih lama.
Setelah puas bersenda-gurau dengan kehidupan kampus yang menyenangkan, mereka melanjutkan perjalanan ke warung Bu Zakiah, tempat mereka bekerja paruh waktu. Warung itu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka, di mana mereka bisa bersenda gurau sekaligus membantu Bu Zakiah melayani pelanggan.
Di warung, suasana terasa tenang dan akrab. Ruri dan Carlos bekerja sama melayani pelanggan, sesekali saling melemparkan candaan mesra. Carlos dengan cekatan membawakan piring-piring, sementara Ruri melayani pembeli di kasir. Meski sibuk, mereka tetap mencuri waktu untuk saling melempar senyum.
Namun, kebahagiaan mereka terhenti sejenak ketika seorang ibu-ibu masuk ke warung. Wajah ibu itu tampak kaku dan tidak senang melihat kedekatan antara Ruri dan Carlos. Tatapan matanya tajam, dan dia mendekat ke meja dengan langkah berat. Ruri yang melirik ke arahnya, seketika mengenali siapa ibu itu.
"Ibu itu..." gumam Ruri, terkejut. Ibu tersebut adalah orang yang dulu pernah memergokinya saat dia pertama kali berpelukan dengan Carlos.
"Kenapa, Ruri?" tanya Carlos, melihat Ruri tampak kaget.
"Dia... ibu itu yang dulu melihat kita waktu pertama kali bertemu," bisik Ruri dengan panik.
Ibu itu memandangi mereka dengan jijik, lalu tanpa berkata apa-apa, dia langsung keluar dari warung, membuat suasana terasa canggung. Ruri menghela napas lega setelah ibu itu pergi, tapi Carlos hanya tertawa kecil.
"Yah, kelihatannya dia masih belum merestui kita," candanya sambil mengedipkan mata.
Mereka melanjutkan bekerja dengan santai, sampai sore hari tiba. Ketika mereka sedang bersiap untuk pulang, Ruri mendapat notifikasi di ponselnya. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari panitia kompetisi, mengundang para peserta yang lolos ke eliminasi kedua untuk menghadiri technical meeting. Hanya 54 peserta yang berhasil melaju ke babak berikutnya, dan Ruri adalah salah satunya.
Dengan perasaan campur aduk, Ruri memandangi pesan itu. Tantangan berikutnya sudah menanti, dan ini hanya permulaan dari perjalanannya.