Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebersamaan Yang Dirindukan
"Bu, Ayah nggak dilayani?" tanya Erik kala ketiga penghuni rumah besar itu, makan bersama untuk pertama kalinya. Tumbuh rasa tak tega dalam hati Erik menyaksikan ayahnya diabaikan oleh ibunya.
Namira melirik Castilo dengan wajah ketus. Lalu tangannya meraih piring dan mengisinya dengan beberapa makanan yang telah dia masak.
Sebenarnya di dalam kulkas rumah tersebut, belum tersedia bahan makanan. Namun dengan sigap, Castilo memerintahkan orang-orangnya untuk berbelanja semua kebutuhan dapur.
Begitu semuanya datang, Castilo langsung meminta Namira untuk memasak karena salah satu yang membuat dia rindu pada istrinya adalah makanan yang dibuat oleh Namira.
"Makasih, Sayang," Castilo nampak begitu senang, kala sepiring penuh makanan, sudah tersaji di depannya.
"Rumah segede ini, bisa-bisanya, nggak ada pembantunya," alih-alih menerima ucapan terima kasih dari suaminya, Namira malah sengaja mengalihkan pembicaraan ke hal lain sembari duduk di sebelah anaknya.
"Perasaan ini semua kan, kamu yang minta, Sayang? Apa kamu lupa, dulu kamu pernah ngomong tidak ingin menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ya udah, aku kabulkan," balas Castilo sembari menikmati hidangannya.
"Masakanmu rasanya nggak berubah, Sayang, masih enak."
Namira mencibir sedangkan Erik beberapa kali menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua orang tuanya itu.
"Setahu aku, bukankah Ayah tidak tinggal di sini ya?" Erik pun ikut bersuara, agar kedua orang tuanya tidak selalu bersitegang.
"Yang pasti selama ini dia tinggal bersama istri-istrinya, Rik," sindir Namira masih nampak kesalnya.
Castilo menghela nafas panjang, lalu menggelengkan kepalanya, menatap heran pada istrinya sejenak.
"Padahal tadi Ayah sudah menjelaskan sama ibumu loh, Rik. Ayah datang ke sini tuh jika ada perlu saja. Rencananya, Ayah mau tinggal disini jika kalian udah ketemu. Dan, yah, keinginan Ayah sekarang terwujud. Selama ini, Ayah memilih tinggal di apartemen karena Ayah tidak mau selalu diganggu mereka."
"Hmm..."gumam Erik paham. "Terus, yang membakar rumah kakek dulu, apa mantan istri Ayah juga?" rasa penasaran Erik semakin menguat.
"Yang membakar sih cuma satu doang, tapi sang satunya malah mendukung," jawab Castilo.
"Yang membuat Ayah heran, kenapa Ibumu itu sama sekali tidak menemui Ayah, meminta penjelasan? Ayah yakin, diam-diam, pasti Ibu kamu memantau kabar Ayah lewat media," ucapnya santai, tanpa peduli sang istri yang melotot kepadanya.
"Benar, Bu?" Erik malah memastikan, semakin membuat Namira salah tingkah.
"Ya pasti benar lah, Nak. Kalau Ibumu tidak diam-diam memantau kehidupan Ayah, tidak mungkin dia melarang kamu kerja di kantor ayah," Castilo yang menjawabnya.
"Emang sengaja aku nggak ngasih kabar, agar para istrimu itu tahu, aku bukan perempuan yang gila harta," ujar Namira. "Lagian, sebentar lagi, mereka pasti bakalan mengusik ketenangan hidupku. Menyebalkan."
Kedua pria yang ada di sana, menatap Namira dengan perasaan yang tidak menentu.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Aku tidak akan membiarkan mereka menindasmu," jawab Castilo yakin.
"Aku juga akan selalu berada di depan Ibu, Ibu jangan khawatir," Erik pun ikut meyakinkan.
"Tapi, mereka itu sangat licik. Buktinya, rumah kita aja dibakar, tapi polisi bilangnya karena keteledoran. Apa lagi mereka tidak memastikan orang-orang yang menjadi korban. Malah tiga hari kemudian mereka mengumumkan bahwa korban kebakaran adalah pemilik rumah, kan aneh," ucap Namira berapi-api.
"Iya juga ya Bu," balas Erik setelah menyadari ucapan Ibunya benar.
Namira mengangguk yaki. "Tapi sayangnya, udah tahu seperti itu, Ayahmu malah menikah kedua kalinya, bukannya menyelidiki," sindir Namira, hingga Castilo benar-benar dibuat gemas.
"Aku sudah mengambil tindakan, Sayang."
"Tindakan apa?"
"Kartu kredit Dave dan Morgan sudah aku bekukan. Sesuai perjanjian, begitu anak kandungku yang sebenarnya ketemu, semua fasilitas mereka, langsung aku tarik kembali."
"Lah, apa hubungannya?" Namira nampak syok. "Apa nanti tidak jadi masalah buat Erik? Mereka pasti tidak akan terima begitu saja, Mas."
"Ya mereka wajib menerima dong. Mereka bukan anak kandungku. Sudah saatnya hanya keturunanku yang asli, yang boleh menikmati hartaku," balas Castilo tegas. "Jika mereka mengancammu, Erik, kamu harus berani ngancam balik. Jangan lembek."
Erik malah tersenyum. Ayahnya memang terkenal tegas, tapi dengan Ibu, sikap Castilo berbeda dari yang Erik tahu.
"Kamu butuh apa lagi, Rik? Bilang sama Ayah."
"Untuk saat ini, Erik hanya butuh guru ilmu bela diri, Yah, sama itu orang yang bisa ngajarin Erik mengemudi mobil, biar makin lancar."
"Emang kamu suka bela diri?" Castilo nampak terkejut mendengarnya.
"Dih! Nggak tahu dia, Erik hebatnya seperti apa," celetuk Namira. "Karena terbentur harus ikut nyari uang, jadi anakku terpaksa tidak melanjutkan hobbynya itu."
Castilo pun mengangguk dan tersenyum senang. "Baiklah, nanti Ayah panggilkan teman Ayah yang dari negeri tirai bambu buat ngajarin kamu."
Erik mengangguk sembari tersenyum lebar.
Keluarga kecil itu pun terlibat obrolan yang begitu hangat meski kadang ada perdebatan kecil.
####
Sementara itu, di gedung Paragon, nampak seorang wanita bergaya anggun, melangkah menuju ke salah satu ruangan. Bukan ruangan presdir, melainkan ruangan orang kepercayaan Castilo.
Alex yang melihat kedatangan wanita yang dia kenal, nampak begitu acuh karena dia memang tidak suka dengan wanita itu.
"Alex, kenapa semua kartu kredit saya dan anak saya diblokir? Kamu sengaja, mau bikin kita malu?" wanita itu langsung menyerang Alex dengan tuduhan yang telah dia siapkan sejak beberapa jam yang lalu.
"Saya? Memblokir kartu kredit kalian? Apa saya sama sekali kurang pekerjaan?" Alex malah menanggapinya dengan santai, tapi sukses membuat kesal wanita tersebut.
"Kalau bukan kamu, siapa lagi? Castilo? Tidak mungkin dia berani melakukannya?" balas si wanita berapi-api.
"Kalau benar Tuan besar yang melakukannya, bagaimana?" Alex malah bertanya dengan terus melanjutkan pekerjaannya.
"Tidak mungkin! Castilo tidak punya alasan khusus melakukan hal itu, dan kami juga tidak pernah bikin masalah," ucap wanita itu merasa sangat yakin.
Alex pun tersenyum, lalu, pria itu menatap lawan bicaranya. "Apa anda yakin, Tuan besar tidak memiliki alasan khusus? Apa mungkin anda melupakan sesuatu disaat anda dan anak anda mendapat ijin menikmati semua fasilitas termasuk uang dari Tuan besar?"
"Sesuatu apa?" tanya si wanita, namun dia juga memikirkan ucapan Alex. Hingga beberapa saat kemudian, mata wanita itu melebar. "Jangan-jangan Castilo..."
"Yah, seperti yang anda pikirkan, Castilo telah menemukan ahli waris yang sebenarnya."
"Tidak! Tidak mungkin," sudah pasti wanita itu sama sekali tak percaya.
"Ya terserah anda kalau tidak percaya. Yang pasti saya hanya bisa memberi peringatan pada anda, Nyonya Natalia. Kemungkinan Tuan Castilo, akan kembali mengusut kasus kebakaran rumah Nyonya besar Namira."
Si wanita sontak terperanjat. Dia terbungkam dengan pikiran berkelana kemana-mana. Namun tak lama kemudian, wanita itu berusaha tenang untuk menutupi keadaan hatinya.
"Kalau begitu, saya permisi," wanita itu langsung pamit dan pergi begitu saja. Sedangkan Alex hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Ini tidak bisa dibiarkan," gumam wanita itu sembari mengambil ponsel dalam tasnya untuk menghubungi seseorang.