Reina Amelia merupakan pembunuh bayaran terkenal dan ditakuti, dengan kode name Levy five. Sebut nama itu dan semua orang akan bergidik ngeri , tapi mati karena menerima pengkhianatan dan gagal misi.
Namun, Alih-alih beristirahat dengan tenang di alam baka, jiwa Reina malah masuk ke tubuh seorang siswi bernama Luna Wijaya yang merupakan siswi sangat lemah, bodoh, jelek, dan menjadi korban bullying di sekolah.
Luna Wijaya, yang kini dihuni oleh jiwa pembunuh bayaran, harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kehidupan sekolah yang keras hingga mencari cara untuk membalas dendam kepada keluarga dragon!
“Persiapkan diri kalian … pembalasan dendamku akan dimulai!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
TAP …
Tap …
Suara hentakan kaki menggema di lorong yang sepi. Keluarga Elang masih mengejar musuh, seorang gadis yang kini menggunakan jubah hitam dengan tudung, menutupi wajah. Kendati demikian para anggota keluarga Elang yakin, bahwa ia adalah Luna Wijaya.
Gadis dengan jubah hitam itu berhenti melangkah tak kala melihat dinding di lorong sempit tersebut, jalan buntu.
Mengetahui bahwa tak ada tempat kabur, keluarga Elang tersenyum simpul. Mengira bahwa semua telah berakhir.
“Disana.”
“SERANG!!”
Dor …
Dor …
Peluru melesat begitu cepat, menghujani tubuh si gadis. Kepulan asap mengelilingi pandangan. Sudah berakhir begitu pikir mereka, hingga tiba-tiba saja mereka terkesiap. Gadis tersebut dengan jubah tudung hitam itu masih hidup!
“Sekarang Luna!” teriak si gadis.
Ketika si gadis berteriak, semua sudah terlambat. fakta bahwa orang di depan bukankah target utama melainkan hanya pengalihan sangat menggemparkan, bergegas saja mereka membalikan badan, waspada.
Akan tetapi …
Salah satu kepala dari musuh tiba-tiba saja pecah, darah bercucuran. Ketiga temannya berteriak takut.
“Darimana datangnya musuh—” ucapnya sebelum ia mati mengenaskan.
“sialan, serangan musuh dari jarak jauh. Keluar kau dasar sialan—”
Mayat lagi-lagi bertambah. Sisa satu musuh lagi.
“Sniper, musuh menggunakan sniper jarak jauh … harus bergegas kabur.”
Dilanda ketakutan, orang masih hidup tersebut hendak kabur. Namun sudah terlambat. Peluru dengan ganas membelah udara, mengenai kepala musuh. Empat anggota keluarga Elang, binasa dalam hitungan detik.
Si gadis berjubah hitam itu mendecakkan lidah, berbicara dengan nada kesal melalui alat komunikasi jarak jauh. “sialan,” gerutunya. “jadi ini maksudmu ‘kerja sama.’ membuatku jadi umpan mereka?”
“Jangan marah begitu.” Suara yang terhubung di alat komunikasi itu terdengar tertawa. Apa dia menganggap ini lelucon?
“Kukira aku akan mati tadi!” serunya marah.
“kau tak akan mati …” jawab Luna. “bukankah sudah kujelaskan. Jubah hitam yang kamu kenakan dibuat oleh seorang ahli teknologi, seorang hacker jenius yang serba bisa. Namanya Jubah Vongola, terlihat seperti jubah biasa. Tapi dibuat dari besi dan aluminium yang dimodif hingga tampak seperti kain biasa, jubah itu tahan akan tembakan.”
Gadis yang tak lain adalah Viola itu masih menggerutu kesal.
“Lagipula kamu juga berusaha membunuhku tadi. Jadi sekarang impas bukan, Viola?”
Viola mendengus. Baiklah, ia yang salah karena mau diajak bekerjasama oleh Pembunuh. “oke, mari kita lakukan sesuai rencana.”
Maka mereka pun melakukan hal yang sama secara berulang kali. Para keluarga Elang yang dibagi menjadi beberapa kelompok agaknya terkecoh, mengejar Viola dan mengira sebagai Luna. Namun saat mereka menyadari suatu perbedaan.
Luna Wijaya dengan gampang membunuh mereka dari kejauhan, menembak dengan sniper. Terus begitu dan begitu.
Hingga, Baskara. Bos keluarga Elang kini turun tangan, ia menyadari sesuatu yang aneh. Lalu menyuruh semua keluarga Elang untuk berkumpul, ia memberikan instruksi. Untuk langsung mengepung gadis bertudung hitam itu.
Dia punya alat pelacak. Dia memasang ke pakaian Viola bahkan tanpa disadari si gadis, maka dari itu. Situasi kini menjadi membalik.
Saat ia ingin mengecoh lagi seperti sebelumnya, ternyata sudah tidak berguna. Kini semua musuh telah berkumpul, mengelilingi Viola termasuk Baskara yang ikut serta.
Suasana menjadi semakin mencekam saat Viola, yang mengenakan jubah hitam, menyadari bahwa pengejaran kali ini berbeda. Musuh-musuh dari keluarga Elang yang biasanya terkecoh, kini tampak lebih terorganisir dan menyatu. Baskara, bos mereka, berdiri dengan senyum dingin, menatap langsung ke arah Viola yang masih berusaha mencari jalan keluar.
"Viola, apa yang terjadi?" suara Luna terdengar dari alat komunikasi, penuh kekhawatiran.
"Ini buruk, Luna," jawab Viola dengan nada putus asa. "Mereka tahu. Baskara... dia pasti melakukan sesuatu. Mereka tidak terkecoh lagi."
Luna berpikir cepat, namun sebelum dia bisa memberikan instruksi, Baskara melangkah maju, menyapa Viola dengan nada penuh kemenangan. "Kau pikir kami akan terus tertipu dengan permainan bodoh ini?" tanya Baskara, memutar-mutar pistol di tangannya. "Aku tahu itu bukan kau, Luna. Tapi siasat ini sudah cukup untuk membawa kami ke sini. Sekarang, kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan, Viola."
Viola merasakan ketegangan yang semakin memuncak, namun ia tetap mencoba bersikap tenang. "Apa rencanamu, Baskara? Membunuhku di sini?"
Baskara tersenyum lebih lebar, langkah kakinya semakin mendekat. "Tidak perlu terburu-buru. Kita akan membawamu hidup-hidup. Kau akan berguna sebagai umpan untuk membawa Luna yang sebenarnya ke hadapanku."
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil terdengar dari sisi lain ruangan, membuat semua orang tersentak. Luna yang masih memaku di tempat aman pun bingung, darimana datangnya ledakan itu? Apakah datang bala bantuan? Namun Luna sangat ingat dia tak mengundang satu pun teman ke sini.
Viola menyadari bahwa itu adalah kesempatan kecil yang mungkin bisa digunakannya. Dia melirik ke arah jubahnya, teringat sesuatu yang dikatakan Luna tentang fungsi tambahan yang dimiliki jubah Vongola.
"Jangan bergerak!" seru salah satu anak buah Baskara, mengarahkan senjatanya ke arah Viola. Tapi sebelum dia sempat menembak, Viola menekan sebuah tombol kecil di dalam jubahnya.
Dalam sekejap, jubah itu mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi yang menyebabkan para pengepung terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Dengan gerakan cepat, Viola mengambil kesempatan itu untuk berlari ke arah yang berlawanan, menyelinap di antara musuh yang terganggu oleh efek jubahnya.
Namun, Baskara tidak mudah tertipu. Dia dengan cepat pulih dan memberi perintah kepada anak buahnya. "Kejar dia! Jangan biarkan dia lolos!"
Saat Viola dikejar, Luna ingin mencoba menyelamatkannya. Ia masih butuh informasi berharga Dari Viola, maka tak bisa mati begitu saja.
Namun, sebelum Luna sempat bertindak, suara lain terdengar dari arah berlawanan. Langkah kaki yang berat dan pasti, disertai dengan suara sesuatu yang besar diseret di atas tanah.
Viola dan Luna sama-sama menoleh, dan mereka melihat sosok yang dikenal dengan baik—Alfian Mahendra berdiri gagah. Dengan senyum dingin di wajahnya, ia memegang senapan otomatis besar yang siap ditembakkan kapan saja.
“Aku pikir kalian butuh bantuan,” ucapnya santai, seolah tidak sedang berada di tengah-tengah situasi hidup dan mati.
Suasana tiba-tiba saja menjadi hening, tentu Baskara tak menyangka. Apa yang dilakukan tangan kana keluarga Dragon di tempat seperti ini.
“Apa yang kamu lakukan? Alfian Mahendra, enyahlah. Jangan ganggu misi kami.”
“Misi? Tapi kalian sudah gagal, bukan? Buku Vongola tercuri berkat kalian.”
Disisi lain Luna kebingungan. Kenapa Alfian tampak mengenalnya, dan dia mengatakan buku Vongola. Apa dia tak salah dengar, fakta bahwa dia datang juga begitu mengejutkan.
“Kami tahu,” ucap Baskara. “karena itulah kami hendak mengambil kembali.”
“Sayangnya waktu kalian sudah habis,” jawab Alfian dingin. Tanganya mengarah ke puluhan musuh, mesin tembak besar itu siap membunuh puluhan orang. “aku baru saja mendapatkan perintah dari Tuan Liam … dia bilang ‘hancurkan semua sisa-sia keluarga elang. Karena sudah tidak berguna lagi …”
“apa yang kamu katakan, Tuan Liam tak mungkin—-” Tak mendengarkan kelanjutkan Alfian sudah menembak terlebih dahulu.
Alfian bergerak cepat. Dalam hitungan detik, suara tembakan menggema di lorong sempit itu. Peluru-peluru berkecepatan tinggi menghantam target dengan presisi. Musuh yang sebelumnya tampak percaya diri, kini jatuh satu per satu tanpa sempat memberikan perlawanan berarti.
Luna dan Viola hanya bisa melihat dengan kagum saat Alfian menghabisi musuh-musuh mereka dengan mudah. Tembakan demi tembakan dilesatkan, tanpa ampun. Dalam waktu singkat, lorong yang sebelumnya penuh dengan ancaman kini menjadi tempat yang sunyi, kecuali suara senapan Alfian yang mulai mereda.
Musuh pulahan termasuk Baskara telah mati, meninggalkan mayat yang tergeletak begitu saja.
“Selesai,” kata Alfian sambil melepaskan majalah kosong dari senjatanya dan menggantinya dengan yang baru. “Kalian aman sekarang.”
Luna bergegas turun dari ruang persembunyian, berada di atas. Ia lompat begitu saja. Menatap sekitar tak percaya.
Luna membalakan mata, kala melihat mesin tembak yang ada di tangan Alfian. Begitu mirip, senjata itu begitu mirip dengan milik tunangannya dulu, lelaki yang ia cintai dulu … Gilbert.
“Kamu sebenarnya siapa—”
“Luna Wijaya.” Putus Alfian begitu saja. “Berikan buku Vongola kepadaku!”
Ekspresi Alfian berubah drastis Menurut ingatan dari pemilik tubuh ini mengatakan bahwa orang di ini berbeda dan bahaya. “Tak akan pernah, buku itu sudah kembali ke pemiliknya.”
“Sudah kuduga tak akan semudah itu,” ucap Alfian terkekeh. “Kalau begitu bersiaplah, kalian akan bertarung dengan keluarga Elang.”
Alfian Mahendra tertawa lantang, ia boleh saja mengalahkan Luna sekarang. Tapi amunisi dari senjatanya telah habis, jadi ia putuskan untuk pergi begitu saja.
Sementara Luna menatap tak percaya. “Dia benar-benar mirip Gilbert.,”