Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKAN BERSAMA
Jingga mengedarkan pandangannya, tempat yang ia masuki bersama Langit ini sungguh terlihat begitu mewah. Jingga sampai menciut karena pakaian yang ia pakai sangat sederhana. Berbeda dengan Langit yang dan Alex yang rapi dengan setelan jasnya.
Jingga kita Langit akan makan di resto biasa saja, tapi ternyata resto itu begitu elegant dan mewah. Lagi pula mana mungkin Langit mau makan di tempat biasa, Jingga melupakan siapa suaminya itu.
“Tuan, aku malu..” bisiknya pada Langit. Ia berusaha mengimbangi langkah kakinya dengan sang suami, bukan semata-mata ingin terlihat bergandengan atau berdekatan, tapi untuk melindungi dirinya dari pandangan orang-orang yang mereka lewati. Tubuh tinggi Langit bisa sedikit menyembunyikannya, begitu pikir Jingga.
Langit menoleh, “Kenapa harus malu? Tidak ada yang akan berani mempermalukanmu disini. Ayolah, kamu pasti menyukai tempat ini,” ucap Langit.
Tanpa Jingga duga, pria tua itu meraih tangannya dan menggandengnya memasuki lift. Alex yang melihat itu tentu tersenyum bahagia. Sepertinya percikan asmara mulai menyusup ke dalam hati tuannya namun belum pria tua itu sadari.
Alex berdiri di paling depan, menekan tombol angka yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Ia membiarkan Langit dan Jingga berdiri di belakangnya.
Jingga tersenyum saat ia menunduk menatap jemarinya yang masih saling bertaut dengan jemari suaminya. Rasanya hangat dan nyaman, entah mengapa, setiap ia berada di dekat pria itu hatinya serasa tenang. Ia merasa Langit begitu melindunginya.
Sampai bunyi lift terdengar, Jingga sedikit terkejut saat Langit sedikit menariknya untuk keluar. Karena melamun, Jingga sampai tak sadar tubuhnya tetap diam saat pintu lift sudah terbuka.
Gadis itu kembali mengedarkan pandangannya, kedua netranya berbinar melihat tempat yang ia pijak. Mereka berada di lantai teratas gedung tersebut.
“Kita makan di dalam atau di luar saja?” Tanya Langit. Ia sedikit menunduk untuk dapat melihat wajah istrinya.
“Di luar, apa boleh di luar saja, Tuan?” tanyanya seraya tersenyum lebar.
Langit tersenyum lalu mengangguk. Ia mengusap puncak kepala Jingga lalu kembali menarik gadis itu menuju ke luar area resto tersebut. Jingga tentu senang mendapat perlakuan selembut itu. Untuk kedua kalinya Langit mengusap puncak kepalanya, hatinya sungguh berbunga-bunga.
“Mereka manis sekali,” batin Alex yang lagi-lagi menjadi nyamuk. Ia segera melangkah menyusul Langit dan Jingga, sekalian memanggil pelayan yang kebetulan lewat tak jauh darinya.
“Ini sangat indah, Tuan..” pekik Jingga. Biarkan saja ia terlihat kampungan, tapi Jingga benar-benar menyukai tempat itu. Apalagi semilir angin begitu terasa menyejukkan, meski cuaca sedikit panas, tapi tak terasa karena di imbangi dengan hembusan angin. Pemandangan disana sangat indah menurut Jingga, selain memperlihatkan lautan gedung di tengah kota, lalu lalang kendaraan yang tampak kecil dari atas sana, tempat itu juga memperlihatkan area taman yang mungkin sengaja pemiliknya buat untuk mempercantik area resto tersebut.
“Kamu menyukainya? Kita berada di lantai tujuh sekarang,” jelas Langit. Ia suka melihat Jingga tersenyum selebar itu, dan ia bahagia jika dirinyalah yang menjadi alasan gadis itu tersenyum.
Gedung itu memang berbeda, di lantai terbawah, ada area resto. Lalu di lantai dua, di gunakan untuk sebuah café tempat anak muda biasa berkumpul. Di lantai tiga ada tempat spa dan salon. Syurganya para wanita sosialita. Lalu di lantai empat ada area bermain ramah anak. Di lantai lima dan enam ada sebuah butik, dan di lantai teratas atau rooftop ini di gunakan untuk resto lagi.
“Sangat, tuan. Aku sangat menyukainya, terima kasih.” Jingga menyandarkan kepalanya di bahu Langit, memeluk lengan pria itu dengan erat, tingkahnya benar-benar seperti anak kecil, mungkin di mata orang lain, Jingga tampak seperti seorang cucu yang tengah merasa bahagia karena kakeknya mengajaknya makan di tempat itu.
“Lain kali aku akan membawamu makan disini saat malam hari, pemandangannya akan lebih indah,” ujar Langit. Bahkan tanpa sadar cara bicaranya pada Jingga tak sekaku dan seformal sebelumnya.
Jingga mengangguk beberapa kali, senyumnya masih mengembang indah. Membuat jantung Langit berdegup kencang ketika Jingga kembali memeluk lengannya.
“Ada apa dengan jantungku? Sepertinya, selain ke dokter psikolog, aku juga harus memeriksakan diri ke dokter jantung,” batin Langit.
***
Alex menyantap hidangan di depannya dengan terburu-buru, ia ingin cepat selesai lalau kembali memperhatikan Langit dan Jingga. Meski menjadi nyamuk, tapi entah mengapa ia suka melihat tingkah manis tuannya. Ia yakin Langit mulai mempunyai perasaan pada Jingga.
Tapi sepertinya Jingga belum, gadis itu terlalu polos. Ia mempunyai rencana, “Sepertinya aku harus mengajak pak Lim dan bu Rika untuk berkonspirasi. Mereka harus mau membantuku membuat tuan Langit menyadari perasaannya,” Alex terus membatin. Matanya awas memperhatikan setiap gerak gerik Langit dan Jingga yang kini tampak tengah saling menyuapi.
“Apa kamu menyukai makanannya?” tanya Langit.
Jingga mengangguk, “Ini enak, Tuan. Cobalah..” Jingga menyodorkan sesendok makanan ke hadapan Langit. Tentu Langit menerimanya dan membuka mulutnya dengan senang hati. “Bagaimana? Lezat kan?” tanya Jingga.
“Hemm.. Ini memang lezat, padahal aku hanya asal memesan karena aku tidak tahu makanan apa yang kamu sukai, tapi ini memang makanan terbaik disini. Aku sering kesini, tapi aku baru mencicipi menu ini. Ternyata memang lezat, suapi aku lagi!” pintanya tanpa ragu.
Jingga memberenggut karena Langit menginginkan makanannya, tapi jujur ia sangat bahagia. Ia pun kembali menyuapi Langit lalu bergantian untuknya sendiri. “Kenapa kamu tidak memintaku mencicipi makananmu, Tuan?” ucap Jingga. Bibirnya mengerucut, terlihat lucu di mata Langit.
“Kenapa kamu tidak mengatakannya? Katakan kalau kamu mau aku menyuapimu,” sindir Langit.
Jingga mencebik, dalam hati ia menggerutu, “Pak tua ini memang tidak peka.”
“Jangan menggerutu, baiklah, aku akan menyuapimu, buka mulutmu!” meski kaku, tapi Langit mencoba melakukan hal yang sama seperti yang Jingga lakukan padanya. Dan ia mulai terbiasa. “Suka?” tanyanya.
Jingga mengernyit, “Kenapa rasanya aneh? Ada asamnya?”
Langit tertawa, lalu mengacak rambut Jingga dengan gemas, “Enak?”
Jingga menggeleng jujur, “Ini tidak cocok di lidahku, Tuan.”
“Ini makanan Itali, lain kali aku akan membuatkanmu pasta yang lezat.”
“Pasta? Kamu bisa membuatnya?” Jingga bertanya antusias, kedua matanya bahkan sedikit membola.
“Tentu saja aku bisa, kita akan membuatnya nanti. Aku akan mengajarimu..”
Jingga mengangguk beberapa kali, lalu mereka terus larut dalam suasana yang hangat hingga makanan mereka tandas.