Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Sudah Baik-baik Saja
Arvin melangkah tergesa-gesa menuruni tangga stasiun kereta api kota B. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena kelelahan, tetapi karena harapan untuk bertemu Melia, wanita yang telah ia abaikan dan sakiti selama bertahun-tahun.
Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kecil berisi gelang perak yang ia beli di toko perhiasan pagi tadi. Gelang ini untuk Melia, sebagai simbol permintaan maafku. Aku hanya ingin dia tahu kalau aku masih mencintainya.
Namun, di balik harapannya, ada rasa takut yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana jika Melia menolak bertemu? Bagaimana jika Gabriel, pria yang kini menjadi suaminya, tidak mengizinkannya mendekati Melia lagi?
“Tidak. Aku harus melakukannya,” gumam Arvin pada dirinya sendiri.
Setibanya di pusat kota, Arvin segera memesan taksi dan memberikan alamat rumah keluarga Melia yang pernah ia dengar dari Laura, sahabat Melia. Perjalanan terasa begitu lambat meskipun taksi melaju dengan kecepatan stabil. Setiap detik terasa seperti duri yang menusuk hatinya.
---
📍 Rumah Melia
Di rumah besar keluarga Melia, suasana sedang tenang. Gabriel baru saja selesai memeriksa dokumen bisnisnya di ruang kerja saat seorang penjaga rumah masuk dan memberi tahu, “Tuan Gabriel, ada seorang pria bernama Arvin yang ingin bertemu dengan Nona Melia.”
Nama itu membuat Gabriel langsung bangkit dari kursinya. Tatapan matanya berubah tajam, penuh dengan proteksi. Ia sudah mendengar banyak cerita dari Melia tentang bagaimana Arvin menyakitinya. Kini, pria itu berani datang ke sini?
“Suruh dia menunggu di ruang tamu. Aku akan menemuinya,” ucap Gabriel dingin.
Di ruang tamu, Arvin duduk dengan gelisah. Matanya menyapu sekeliling ruangan megah itu, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan Melia. Namun, yang muncul adalah Gabriel, berjalan dengan langkah tegap dan wajah tanpa senyum.
“Arvin,” sapa Gabriel singkat, suaranya rendah tapi tegas.
“Gabriel,” balas Arvin sambil berdiri. “Aku... Aku di sini untuk bertemu Melia.”
Gabriel menatapnya tanpa ekspresi, tetapi ada api kemarahan yang tersembunyi di balik matanya. “Kenapa kamu mencarinya?”
Arvin menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku hanya ingin meminta maaf padanya. Aku tahu aku sudah melakukan banyak kesalahan, tapi aku ingin dia tahu bahwa aku menyesal.”
Gabriel menyilangkan tangannya di dada, postur tubuhnya semakin kokoh dan mengintimidasi. “Melia tidak butuh permintaan maafmu. Dia sudah bahagia sekarang. Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu kehidupannya lagi.”
“Aku tidak bermaksud mengganggunya,” Arvin membalas dengan nada memohon. “Aku hanya ingin bicara dengannya, sebentar saja. Aku... aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus menjalani hidupku tanpanya.”
Gabriel mendengus kecil. “Menjalani hidupmu tanpanya? Kamu sudah menjalani hidupmu tanpanya selama berbulan-bulan bahkan sudah 5 tahun, saat dia ada di sisimu, Arvin. Apa yang berbeda sekarang?”
Kata-kata Gabriel seperti tamparan keras bagi Arvin. Ia menundukkan kepala, rasa malu dan penyesalan menyelimutinya. “Aku tahu aku salah... Aku bodoh. Tapi aku benar-benar mencintainya. Aku baru menyadarinya setelah dia pergi.”
“Cinta?” Gabriel melangkah lebih dekat, suaranya semakin dingin. “Kalau kamu mencintainya, kamu tidak akan menyia-nyiakan dia. Kamu tidak akan membuatnya menangis setiap malam. Cinta bukan tentang kata-kata, Arvin, tapi tindakan. Dan tindakanmu membuktikan bahwa kamu tidak pernah mencintainya.”
Arvin mengangkat wajahnya, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tolong, Gabriel... Izinkan aku bicara dengannya. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Gabriel menggelengkan kepala dengan tegas. “Melia tidak butuh kamu lagi, Arvin. Kehadiranmu hanya akan melukai dia. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Melia sudah bersamaku, ia adalah istriku sekarang. Jadi pergilah, jalani hidupmu sesuai dengan yang kamu inginkan selama ini.”
Mendengar itu, Arvin merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Harapannya mulai hancur, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja.
“Aku mohon, Gabriel. Aku tidak akan memaksa Melia kembali padaku. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku menyesal dan aku benar-benar menginginkannya bahagia,” ucap Arvin dengan suara yang hampir bergetar.
Gabriel tetap tak bergeming. “Melia sudah tahu apa itu kebahagiaan sekarang, dan kebahagiaannya tidak ada hubungannya denganmu. Sebaiknya kamu pergi, Arvin, sebelum aku kehilangan kesabaran.”
Saat itu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Gabriel dan Arvin sama-sama menoleh, dan Arvin melihat sosok yang begitu dirindukannya, Melia. Wanita itu berdiri di tangga dengan wajah terkejut dan cemas.
“Melia...” bisik Arvin, air matanya sudah menetes.
Melia tidak langsung menjawab. Matanya bergantian menatap Arvin dan Gabriel, seolah mencoba memahami situasi yang sedang terjadi. Gabriel segera mendekatinya dan berdiri di depan Arvin, melindungi Melia dengan tubuhnya.
“Melia, kamu tidak perlu bicara dengannya. Aku akan menyelesaikan ini,” kata Gabriel lembut tapi tegas.
Namun, Melia meletakkan tangannya di lengan Gabriel, memberi isyarat bahwa ia ingin bicara. Gabriel tampak ragu, tetapi akhirnya ia mundur beberapa langkah, tetap waspada.
---
Melia melangkah perlahan mendekati Arvin. Ia melihat pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan, ada kesedihan, tetapi juga kekuatan yang baru ditemukan.
“Kenapa kamu datang ke sini, Arvin?” tanya Melia dengan suara pelan tetapi tegas.
“Aku...” Arvin mencoba berbicara, tetapi suaranya tersendat oleh emosi. “Aku datang untuk meminta maaf, Melia. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku tahu aku tidak pantas untukmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku benar-benar menyesal.”
Melia mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Aku sudah mendengar kata-kata itu sebelumnya, Arvin. Berkali-kali. Tapi apa yang kamu lakukan setelah itu? Kamu kembali menyakitiku.”
“Aku berbeda sekarang,” ucap Arvin penuh harap. “Aku sudah sadar betapa berharganya kamu dalam hidupku. Tolong, beri aku kesempatan kedua.”
Melia menggelengkan kepala, air matanya mulai mengalir. “Kesempatan kedua? Kamu sudah punya kesempatan itu, Arvin, dan kamu menyia-nyiakannya. Aku mencintaimu selama lima tahun, dan yang aku dapatkan hanyalah luka.”
Arvin jatuh berlutut di depan Melia. “Aku tahu aku salah... Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Melia.”
Melia menatapnya dengan tatapan penuh luka, tetapi kali ini ia tidak goyah. “Arvin, aku sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupku. Aku sudah menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku dan menghargai aku. Gabriel memberiku kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan darimu.”
Arvin terdiam, kata-kata Melia seperti pedang yang menusuk hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah akhirnya, tetapi ia tidak ingin menerimanya.
“Melia, aku mohon...”
“Cukup, Arvin,” potong Melia dengan suara tegas. “Biarkan aku hidup dengan bahagia. Itu satu-satunya cara kamu bisa menebus kesalahanmu.”
---
Gabriel melangkah maju, berdiri di samping Melia. “Sudah cukup jelas sekarang, Arvin. Pergilah dan jangan pernah kembali.”
Arvin berdiri dengan tubuh gemetar, air mata terus mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Dengan langkah berat, ia berbalik dan meninggalkan rumah itu.
Saat Arvin berjalan menjauh, rasa hampa semakin membesar di dalam dirinya. Ia tahu bahwa penyesalan ini akan menjadi bayang-bayang yang menghantuinya seumur hidup.
Sementara itu, di dalam rumah, Gabriel memeluk Melia dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
Melia mengangguk, meskipun air matanya masih mengalir. “Aku baik-baik saja. Aku hanya... merasa lega. Ini adalah penutup dari semua luka yang aku rasakan.”
Gabriel mengecup keningnya dengan penuh kasih. “Aku akan selalu ada untukmu, Melia. Kamu tidak perlu menghadapi ini sendirian lagi.”
Dan di malam itu, Melia akhirnya merasa damai, sementara Arvin hanya bisa berjalan sendirian dalam bayang-bayang penyesalannya.
To Be Continued...