Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Berjanjilah untuk selalu ada dalam jangkauanku.
Kalimat Sabda terus terngiang dibenak Nuri saat dia mengemas barang barangnya. Mengambil satu satu pakaian dan barang pribadi yang tak seberapa lalu memasukkan kedalam koper.
Maafkan aku Kak. Aku tak bisa menepati janjiku.
Nuri mati-matian menahan air matanya. Dia tak mau terlihat lemah dimata Yulia dan Fasya. Kalaupun dia pergi, dia tak ingin dipandang kalah dan menyedihkan.
Diambang pintu, terlihat Fasya dan Yulia yang sedang melipat kedua tangan sambil tersenyum. Mereka puas melihat orang yang mereka benci akhirnya angkat kaki dari rumah ini.
Tutik, dengan badan gemetaran sambil menggigit ujung jari, dia mondar mandir didapur. Ingin sekali dia menelepon Sabda dan memberitahukan tentang ini semua, tapi sayangnya dia tak punya nomor telepon pria itu.
Selesai mengemas semua barangnya, Nuri keluar dari kamar sambil menyeret koper miliknya.
"Aku harap, kau tak hanya pergi dari rumah ini, tapi juga pergi dari hidup suamiku." Ucap Fasya saat Nuri berjalan melewatinya.
Nuri berhenti, menoleh kearah Fasya sambil tersenyum padanya. "Hati-hati saat bermain api. Jangan sampai api itu justru membakarmu. Karena saat terbakar, bukan hanya terasa sakit, tapi bisa saja, kau kehilangan segalanya."
"Apa maksudmu?" Fasya mengerutkan kening.
"Kamu tahu maksudku, hanya sedang pura-pura tidak tahu saja."
Fasya melirik Yulia, takut mertuanya itu bertanya-tanya tentang ucapan Nuri. Tapi untungnya, Yulia terlihat sama sekali tak peduli dengan ucapan Nuri.
"Cepat pergi, aku sudah muak melihatmu," hardik Yulia.
Nuri melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Dan ternyata, ada Tutik yang menunggunya diteras. Wanita itu langsung menghampiri Nuri dan memegang tangannya.
"Telepon Pak Sabda Nur. Cerita sama dia apa yang terjadi. Dia pasti bisa membantu," ujar Tutik dengan berderai air mata.
"Enggak Mbak," Nuri menggeleng. "Aku sendiri yang memutuskan pergi. Aku tak mau meminta belas kasihan pada siapapun."
"Tapi Pak Sabda itu suamimu Nur."
"Hanya suami diatas kertas Mbak." Sahut Nuri sambil menitikkan air mata. Dia harus sadar diri. Kebaikan Sabda padanya bukan ikhlas, melainkan karena ada maunya. Dia menginginkan anak dalam kandungannya karena pria itu tak bisa memiliki anak.
Tutik mengambil sesuatu dari kantong dasternya. "Buat kamu Nur. Aku tahu kamu tidak punya uang." Tutik menyodorkan sejumlah uang pada Nuri.
"Enggak," Nuri menolak uang tersebut. "Mbak Tutik juga sangat butuh uang ini."
"Tapi Nur." Sebenarnya Tutik masih merasa bersalah karena mencuri cincin pernikahan Nuri.
"Simpan saja Mbak. Terimakasih sudah menolongku hari ini. Aku berhutang nyama sama Mbak Tutik. Kalau saja Mbak Tutik gak memberitahuku, sudah pasti anakku tak tertolong." Nuri mengusap perutnya. Dia tak bisa membayangkan jika sampai dia meminum teh tadi.
"Aku hanya perantara Nur. Karena pertolongan yang sesungguhnya itu dari Allah. Jaga diri baik-baik." Tutik memeluk Nuri dengan air mata yang masih terus mengalir deras.
Nuri melepaskan pelukan Tutik lalu menyeka air matanya. Kembali menoleh dan menatap kearah pintu. Dia teringat pertama kali Sabda membawanya kerumah ini.
Aku akan merindukanmu Kak
Lagi lagi, Nuri menyentuh gelangnya. Anak didalam perutnya menendang nendang cukup kuat hingga dia harus mengusap lembut serta menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan.
"Kau tidak apa apa Nur?" Tutik khawatir melihat Nuri meringis menahan sakit.
"Aku tidak apa apa Mbak. Aku pergi dulu. Titip salam buat Bi Diah. Maaf aku tak bisa berpamitan padanya." Nuri menepuk bahu Tutik lalu meninggalkan rumah mewah itu. Berjalan sambil menarik koper menyusuri jalanan komplek perumahan elit tersebut.
Nuri berhenti di minimarket yang tak jauh dari rumah Sabda. Melakukan tarik tunai karena dia tak memiliki uang sepeserpun. Membeli minuman dan makanan lalu duduk didepan minimarket, menunggu taksi online yang barusan dia pesan.
Tak berapa lama kemudian, taksi yang dia pesan datang. Driver membantunya memasukkan koper kedalam bagasi. Setelah itu, membawa mobil menuju alamat tujuan yang dipesan Nuri.
Nuri menyandarkan punggungnya di jok sambil mengusap perut. Dia teringat malam itu, saat Sabda berpamitan pada anaknya.
Aku takut kau meninggalkanku Nuri. Pergi jauh membawa anakku. Aku tak sanggup kehilangannya. Berjanjilah untuk selalu ada dalam jangkauanku.
"Sekali kali, maafkan aku Kak." Nuri mengambil ponselnya lalu memblokir nomor Sabda.
.
.
.
Sementara Sabda yang berada di Jepang. Dia merasakan dadanya tiba-tiba sakit. Bahkan setelah minum dan mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung hilang.
Dia mendadak merindukan Nuri, sangat rindu sekali. Tak pernah sebelumnya, dia sangat rindu seperti ini.
Sabda membuka ponsel, melihat keadaan rumah melalui cctv yang terhubung dengan ponsel. Sabda mencari cari keberadaan Nuri didalam rumah, tapi setelah cukup lama, dia tak bisa menemukan keberadaanya.
"Ada dia sedang ada didalam kamar?"
Sabda segera menggeleng cepat. "Astaga Sabda, apa yang terjadi padamu." Sabda memukul mukul kepalanya sendiri. "Ingat, kau sudah punya istri. Bisa bisanya kau malah merindukan wanita lain."
Sabda lalu mematikan ponselnya. Memejamkan mata dan mencoba istirahat. Tapi saat baru memejamkan mata, dia malah melihat bayangan Nuri. Reflek Sabda langsung membuka matanya.
"Ada apa denganku?" Sabda berdecak pelan sambil memijit mijit pelipisnya.
Perasannya sungguh tak tenang. Yang ada didalam otaknya, hanya Nuri dan Nuri. Tak mau seperti ini terus, Sabda kembali meraih ponsel lalu menghubungi Nuri. Tapi bukannya Nuri yang menjawab, panggilannya malah dijawab operator.
"Kemana dia?" Sabda merasa makin cemas.
Kembali dia mengecek cctv untuk mencari keberadaan Nuri. Sayangnya tak ada Nuri. Hanya terlihat Fasya dan Yulia yang sedang makan malam. Dan didapur, hanya ada Bi Diah seorang.
"Apa dia ada didalam kamar, apa dia sedang sakit?"
Sabda mengecek history beberapa jam yang lalu. Nihil, dia tak menemukan keberadaan Nuri. Mungkinkah dia mengurung diri seharian didalam kamar?
Tak puas begitu saja, Sabda terus mencari Nuri dalam rekaman. Hingga akhirnya, matanya membulat sempurna melihat Nuri berjalan sambil membawa koper, keluar dari rumahnya.