Hera membaca novel Fantasi yang tengah trending berjudul "Love for Ressa", novel klasik tentang Dante, seorang Duke muda yang mengejar cinta seorang gadis bernama Ressa.
Tentunya kisah ini dilengkapi oleh antagonis, Pangeran Mahkota kerajaan juga menyukai Ressa, padahal ia telah bertunangan dengan gadis bernama Thea, membuat Thea selalu berusaha menyakiti Ressa karena merebut atensi tunangannya. Tentunya Altair, Sang Putra Mahkota tak terima saat Anthea menyakiti Ressa bahkan meracuninya, Ia menyiksa tunangannya habis-habisan hingga meregang nyawa.
Bagi Hera yang telah membaca ratusan novel dengan alur seperti itu, tanggapannya tentu biasa saja, sudah takdir antagonis menderita dan fl bahagia.
Ya, biasa saja sampai ketika Hera membuka mata ia terbangun di tubuh Anthea yang masih Bayi, BAYANGKAN BAYI?!
Ia mencoba bersikap tenang, menghindari kematiannya, tapi kenapa sikap Putra Mahkota tak seperti di novel dan terus mengejarnya???
note: cari cowo bucin mampus? langsung baca aja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
...****************...
Pagi ini, tugas pertama yang harus dilakukan Wilhelm merupakan memeriksa kondisi tunangan Pangeran Mahkota kerajaan ini.
Namun keadaan di hadapannya kini membuatnya terhenti sejenak.
Disana, Altair duduk dalam posisi tegak dengan tangan menggenggam Putri Anthea. Dan jangan lupakan netra birunyanya yang tak teralihkan sedikitpun dari sosok gadis mungil tersebut.
'Sejak kapan Yang Mulia dalam posisi itu?... tidak mungkin semalaman kan...' benaknya bertanya-tanya.
"Selamat pagi, Pangeran." Sapa Wilhelm.
Altair menoleh, lalu dengan perlahan lelaki itu bangkit dan dengan lembut melepas genggaman tangannya.
"Periksa dia dengan benar" ucap dingin Altair yang berbanding terbalik dengan perlakuannya pada Anthea.
Dengan sigap Wilhelm pun mengangguk.. Dan segera mendekat ke ranjang Anthea setelah Altair memundurkan langkahnya untuk memberi ruang. Gadis itu kini berada di kamar nya yang ada di istana.
Selama pemeriksaan, Sesuai dugaan, punggung Wilhelm hampir beku saat harus terus menerus merasakan tatapan tajam sang Pangeran.
"Putri Anthea?" Panggil Wilhelm pelan pada gadis yang terlelap itu.
"Apa yang kau lakukan?!"
Tak menunggu lama, Altair langsung mendekat kearah Wilhelm saat pria itu berniat membangunkan Anthea dari tidurnya.
"Saya harus memeriksa kesadaran Tuan Putri, Pangeran," jelas Wilhelm.
"Enghhh"
Dengan cepat, Altair menoleh saat mendengar rintihan tersebut..
"Anthea?"
Dengan lembut, pria itu kembali menggenggam tangan gadis tersebut. Seakan terpanggil, perlahan netra hazel Anthea yang begitu dirindukan kembali terlihat.
Untuk sesaat gadis muda itu menunjukan ekpresi meringis, lalu bingung dan menatap seluruh ruangan dimana ia dirawat.
"Altair?" lirihnya.
"Ya, aku disini" jawab Altair cepat.
"Altair..."
Altair membelai rambut coklat Anthea dengan lembut.
"Ada apa, hm? Dimana yang sakit?" Netra hazel yang masih terkunci pada Altair itu kini tepenuhi dengan air. "Altair..." lirihnya lagi.
Detik selanjutnya, Anthea membalas genggaman tangan Altair dengan kuat.
"Altair aku takut....." Altair meraih tubuh mungil itu kedalam pelukannya tanpa menyakiti gadis tersebut sedikitpun.
"Ada aku disini, tidak ada yang perlu kau takutkan, Anthea." Ujar Altair menenangkan.
"Mereka memukulku... sakit...." Adu Anthea dalam pelukan Altair.
Masih terbayang dengan kejadian kemarin, Anthea pun tak bisa menahan diri untuk tidak menangis..
"Dimana yang sakit? Katakan padaku" Anthea melonggarkan pelukannya dan dengan Gerakan pelan memegang tiga titik tubuhnya yang terasa paling sakit. Kaki, perut dan dahi.
"Semuanya sakit..." adu-nya.
Perlahan, Altair mengelus perut gadis tersebut dengan lembut.
“Wilhelm akan mengobatimu, kau akan segera baik-baik saja. Rasa sakitnya akan segera hilang"
Mengangguk, Anthea membiarkan Wilhelm memeriksanya dengan berbagai pertanyaan mengenai apa yang dirasakan tubuhnya saat ini.
Tanpa sedikitpun melepaskan genggaman tangan Altair, Antheam enjawab Wilhelm dengan suara seraknya.
"Sebentar lagi, pelayan akan membawakan makanan untuk anda. Lalu setelahnya anda bisa meminum obat penghilang sakit ini agar anda bisa beristirahat dengan nyaman"
"Bagaimana dengan proses penyembuhannya?" tanya Altair.
"Meskipun kesakitan, proses penyembuhan Tuan Putri berjalan normal" jawab Wilhelm sopan.
"Saint agung sudah membantu, tapi Anthea masih harus kesakitan?" tanya Altair mempertanyakan kesaktian saint agung itu.
Dengan sabar Wilhelm menjelaskan.
"Tubuh Putri Anthea telah dipenuhi sihir setelah Saint menutup pendarahan dibagian lambung Putri, Pangeran. Tubuh seseorang tak bisa menerima terlalu banyak sihir"
Setelah beberapa saat Altair menyodorkan berbagai pertanyaan mengenai Kesehatan Anthea, akhirnya Wilhelm pun dipersilahkan untuk pergi. Pria yang baru saja menemukan sisi baru sang Pangeran pun bernafas lega saat ia tak melakukan kesalahan sedikitpun.
Pokoknya sang Putri Mahkota harus kembali sehat! Agar Pangeran ini tidak menunjukkan kembali sisi monsternya.
***
Hari sudah kembali menjadi malam. Seharian ini tak banyak komunikasi yang dilakukan Anthea. Gadis itu lebih banyak bungkam hingga saat ini.
“Anthea, aku akan berganti pakaian sebentar” Dengan cepat gadis tersebut meraih lengan besar Altair. Meskipun harus meringis karena masih ada beberapa luka ditangan-nya gadis itu tampak tak peduli.
“Jangan...” lirihnya.
“Kumohon jangan pergi” ucapnya lagi. Tak ingin membantah, dengan cepat, Altair pun menuruti kemauan Anthea.
“Kalau begitu aku akan berganti pakaian disini, apa tidak apa-apa?” tanya nya. Tidak sedikitpun Altair mengeluarkan. Tekanan dalam perkataannya. Begitu lembut dan penuh kehati-hatian.
Sejak sadar, Anthea memang tak mau di tinggal sendiri atau pun bersama pelayan. Setidaknya ia harus bersama Altair, Duke Ervand, dan Ares. Tiga orang yang membuat Anthea paling merasa aman.
Karena Duke Ervand tadi telah kembali lebih dulu bersama Ares karena pekerjaan mereka, jadilah seharian ini Anthea bersama Altair, tunangannya.
Sedangkan Anthea, tak berfikir panjang, gadis itu pun mengangguk. Selama Altair berganti pakaian, Anthea meminum kembali obat penghilang rasa sakitnya dan berbaring dengan tenang.
“Sudah meminum obatmu?” tanya Altair setelah meletakkan pakaian kotornya.
Anthea mengangguk.
Altair tersenyum dan mengelus kepala gadis tersebut.
“Gadis pintar.”
Anthea tersenyum tipis, lalu tiba-tiba wajahnya murung dan terdiam.
“Maaf.” ujar Anthea.
Setelah hening beberapa saat, Altair mengerutkan dahinya saat mendengar perkataan Anthea.
“Maaf untuk apa?”
“Aku pasti sangat menyusahkanmu...” jawab Anthea menunduk.
Altair mengerutkan dahinya semakin dalam, pertanda bahwa lelaki tersebut tak menyukai apa yang baru saja dikatakan Anthea.
Sedangkan disisi lain, Anthea sadar bahwa hari ini ia begitu bergantung pada Altair. Entah bagaimana perasaan lelaki itu, Namun yang jelas Anthea bisa jauh lebih aman dalam jangkauan Altair.
“Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanya Altair lembut.
Anthea terdiam sejenak sembari menatap Altair dengan tatapan menerawang. Dengan sabar, Altair menanti jawabannya.
“Bersamamhu... rasanya aman. Mereka tidak akan bisa menyakitiku. Selama aku berada di dekatmu...”
Kembali teringat dengan siksaan Albert, Anthea meremat pakaian tidur Altair. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis lagi.
Sejatinya Anthea bukanlah gadis lemah, tapi mengingat bertahun-tahun bagaimana hidupnya yang tentram tanpa pernah di sakiti, Anthea cukup trauma. Walau hidup dalam kewaspadaan alur novel, mendapat siksaan keras dan begitu menyakitkan kemarin benar-benar mengguncang mentalnya.
Sudah cukup ia menangis hari ini. Altair sudah membicarakan ini dengan Wilhelm. Pria itu mengkhawatirkan kondisi mental Anthea.
Gadis itu pasti sangat ketakutan. Se berani apapun ia selama ini, namun sejatinya Anthea adalah gadis muda yang sangat memerlukan perlindungan.
Dan bodohnya Altair mempercayakan keamanan Anthea pada prajurit Millard yang tidak berguna menjaga tunangannya.
“Iya, tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi, kau percaya padaku?”
Tanpa ragu Anthea mengangguk.
Altair sedikit menunduk memeluk gadis itu, “Menangislah dan katakan semua perasaanmu.” ucap Altair sembari membenamkan Anthea dengan hati-hati dalam pelukannya.
Anthea memejamkan matanya, “Takut.. rasanya sangat menakutkan..”
Altair tak menjawab, pria itu hanya terus mengelus kepala Anthea, membiarkan gadis tersebut mengeluarkan perasaannya.
“Altair, kapan aku kembali ke kastil Millard?” tanya Anthea saat ia mulai tenang.
“Kau ingin segera kembali?” tanya Altair memastikan.
Anthea mengangguk.
“Disana tidak akan ada yang melukaiku... aku, aku hanya lebih merasa aman di rumahku,” cicitnya.
Sebagai tempat yang ia tinggali hampir selama 17 tahun, bagi Anthea rumahnya sendiri adalah tempat paling tepat untuk suasana hatinya saat ini.
“Baiklah, besok kita akan segera kembali,” jawab Altair lembut. Walaupun sebenarnya ia masih ingin Anthea berada di istana dan dapat menjamin keamanan gadis itu.
Altair mewajarkan mengingat Anthea yang masih belum pulih akan ketakutannya.
***
Selama perjalanan menuju kediaman Millard, yang dilakukan Anthea hanyalah tertidur lelap dipangkuan Altair.
Pasalnya, mereka berangkat tepat setelah gadis itu sarapan dan meminum obatnya. Karena itu bahkan jalanan yang tak mulus pun tak mampu membangunkan Anthea yang damai di pangkuan Altair.
Setelah beberapa saat, mereka sampai di mansion besar kediaman Millard.
“Pangeran, kita sudah sampai,” ujar Rebel—asisten atau orang kepercayaan Altair sejak ia menyelesaikan akademi.
Pria yang lebih tua lima tahun dari Altair itu membukakan pintu kereta dari luar, melihat Anthea yang tertidur, ia pun berujar, “Akan saya panggilkan Duke Millard atau Tuan Ares untuk mengangkat Tuan Putri, Pangeran.”
Mendengar itu, Altair refleks menatap tajam Rebel, Apa-apaan maksudnya? Hanya Duke dan Ares yang pantas membawa gadis itu? Sedangkan ia tidak?
“Aku yang akan membawa Putri Anthea ke dalam,” ujar Altair dingin. Dengan lembut, ia meletakkan tangan di lipatan lutut dan leher Anthea, membawa gadis itu menuju kamarnya.
Sedangkan Rebel merasakan aura ketidak sukaan dari tuannya. Apakah ia salah? Padahal ia hanya tidak ingin Altair kelelahan setelah perjalanan jauh, apalagi yang ia tau kamar Anthea berada di lantai tiga mansion ini.
Di sisi Altair, dengan sangat pelan Ia memindahkan Anthea ke kasurnya, tak ingin membuat gadis itu terjaga sedikitpun.
“Tidur yang nyenyak, Tuan Putri.” Ujar Altair pelan, ia mengecup singkat kening gadis itu.
Keluar dari kamar Anthea, Altair mendapati Ares yang sudah menunggu, tadi mereka berselisih di undakan tangga.
“Aku akan menginap,” Ujar Altair, Ares hanya mengangguk.
“Kenapa sudah di sini? Bukankah Anthea lebih baik mendapat perawatan dari tabib-tabib istana?” Tanya Ares. Bukan berarti pengobatan wilayah Millard buruk, tetapi tabib istana pasti jauh lebih profesional.
“Anthea yang memintanya,” jawab Altair singkat.
“Lain kali, setidaknya bersihkan musuhmu. Jangan sampai membuat Anthea berada dalam bahaya karenamu,” ujar Ares.
Ia tau bagaimanapun kurangnya kewaspadaan keluarganya pada Anthea adalah oenyebab adiknya bisa di culik. Namun, tak menampik semua ini terjadi karena posisi gadis itu sebagai tunangan Altair, membuat Anthea yang tidak tau apa-apa terkena getahnya.
Altair hanya diam, ia lebih dari tau bahwa harus belajar dari kejadian ini. Tak akan ia biarkan ada yang keduakalinya.
“Ngomong-ngomong, akan kau apakan para sampah itu?”
Pertanyaan Ares merujuk pada Albert dan putranya. Mengingat mereka berdua, Altair belum sempat memberi pelajaran darinya pribadi karena kesibukannya bersama Anthea.
Jika mengingat perlakuan para sampah itu pada Anthea-nya, gigi Altair bergelatuk menahan amarah, tatapannya menghunus tajam,
“Akan kubuat mereka memilih untuk lebih baik mati daripada hidup,” jawab Altair.
Ares sendiri dapat melihat kemarahan laki-laki itu, sama seperti dirinya yang tak bisa menahan amarah melihat adiknya yang berharga penuh luka di sekujur tubuhnya.
Bagi Altair, kedua pelaku utama itu harus mendapat balasan setimpal karena menjadi penyebab Anthea nya terluka, membuat Anthea nya merasakan sakit. Altair bersumpah akan membuat mereka hidup seperti di neraka sepanjang hidupnya.
***
tbc.
btw, author Senin mulai uas, doain ya hehee:)