Pengingat bahwa Aku tidak akan pernah kembali padamu. "Nico kamu bajing*n yang hanya menjadi benalu dalam hidupku. aku menyesal mengenal dan mencintai mu."
Aku tidak akan bersedih dengan apa yang mereka lakukan padaku. "Sindy, aku bukan orang yang bisa kamu ganggu."
Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syari_Andrian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengintai
Di sudut kantin, Nico duduk bersama dua pria yang wajahnya tampak asing di lingkungan kampus. Mereka berbicara dengan suara pelan, memastikan tak ada yang mencuri dengar. Sesekali, Nico melirik ke arah kerumunan mahasiswa, matanya tajam seperti sedang mencari seseorang.
"Jadi, kamu yakin cewek itu masih jadi target kita?" tanya salah satu pria, mengenakan hoodie hitam.
Nico mengangguk pelan, ekspresinya serius. "Dia lebih dari sekadar target. Nisa punya sesuatu yang penting, dan aku gak akan berhenti sampai aku dapatkannya. Kalau gak bisa dengan cara halus, aku gak ragu pakai cara lain."
Pria kedua, dengan jaket kulit, menyipitkan mata. "Tapi bukannya cewek itu sekarang dilindungi sama si Rey? Gue dengar dia punya koneksi kuat."
Nico tertawa kecil, tapi penuh sinis. "Rey? Dia cuma sok kuat. Kalau tahu siapa yang sebenarnya ada di belakangku sekarang, dia pasti bakal pikir dua kali buat ngelawan gue."
"Jadi, apa langkah kita selanjutnya?" tanya pria berjaket kulit.
Nico menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya memancarkan kebencian yang dalam. "Kita buat dia gak punya pilihan selain datang ke gue. Kalau dia pikir bisa terus lari atau sembunyi, dia salah besar. Gue punya cara buat narik dia keluar dari zona nyamannya."
Pria dengan hoodie hitam mengangguk sambil menyeringai. "Oke. Gue siap bantu, selama bayarannya sesuai."
Nico merogoh kantongnya, mengeluarkan amplop tebal, lalu meletakkannya di meja. "Ini baru awal. Kalau misi ini berhasil, gue kasih lebih dari yang lo kira."
Keduanya mengambil amplop itu dengan cepat, wajah mereka tampak puas. Namun, percakapan itu terhenti sejenak saat Nico melihat seseorang berjalan keluar dari kantin dengan terburu-buru. Itu Nisa.
"Dia ada di sini," gumam Nico dengan nada rendah, matanya mengikuti langkah Nisa.
"Lo mau kita mulai sekarang?" tanya pria berjaket kulit, suaranya penuh antusias.
Nico menggeleng pelan. "Belum. Gue gak mau gegabah. Kita harus main pintar. Biar dia merasa aman dulu, sampai gue yakin waktunya tepat."
Dia berdiri, memasukkan tangan ke saku celananya, lalu melangkah santai keluar dari kantin. "Lo berdua tunggu perintah gue. Untuk sekarang, pantau dia. Gue mau tahu semua gerak-geriknya, termasuk siapa aja yang dia temui."
"Siap, Bos," jawab kedua pria itu serempak.
Nico keluar dari kantin, menyusuri lorong kampus dengan senyum licik. Dia tahu ini hanya masalah waktu sebelum rencananya berhasil. Kali ini, dia tidak hanya ingin membuat Nisa menderita, tetapi juga membuktikan bahwa dia masih memiliki kendali atas hidupnya.
Namun, di dalam hatinya, Nico tahu satu hal: Rey bukan musuh yang mudah dikalahkan. Tapi itu hanya membuatnya semakin bersemangat. "Kita lihat siapa yang lebih kuat kali ini, Rey," gumamnya sambil menyeringai tajam.
Nico berjalan keluar dari gedung kampus dan masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di sisi jalan. Di dalam mobil, dia menghubungi seseorang yang tampaknya adalah kontak rahasianya.
"Semua sudah sesuai rencana. Mereka mulai lengah," kata Nico sambil menyalakan rokok.
"Bagus. Tapi ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau gue juga terlibat," suara di seberang telepon terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.
"Tenang aja. Gue tahu cara kerja," jawab Nico santai. "Orang-orang di sini bahkan gak akan sadar kalau kita sedang mengawasi mereka. Gue cuma perlu waktu untuk membuat Nisa kehilangan semua yang dia punya."
Suara di telepon berhenti sejenak sebelum menjawab, "Bagus. Tapi lo harus tahu, Rey bukan lawan sembarangan. Dia bukan cuma pelindung buat Nisa, dia juga punya dukungan dari orang-orang yang gak lo bayangin sebelumnya."
Nico terkekeh pelan. "Justru itu yang bikin gue makin tertarik. Kalau gue bisa jatuhin Rey, itu bakal jadi kemenangan besar buat gue."
"Lo yakin lo siap ngambil risiko sebesar ini?" tanya suara itu.
Nico menjawab dengan nada dingin, "Risiko adalah bagian dari permainan. Gue gak akan mundur."
Setelah percakapan selesai, Nico menutup telepon dan menatap ke luar jendela mobil. Di kejauhan, dia melihat Nisa keluar dari gedung kampus, berjalan bersama Rina. Wajah Nico berubah dingin, penuh kebencian, tetapi juga determinasi.
"Lo pikir lo aman, Nisa?" gumam Nico pelan, sambil menginjak pedal gas dan mengikuti dari kejauhan. "Gue akan pastikan lo merasa kehilangan segalanya, bahkan sebelum lo sadar apa yang terjadi."
Sementara itu, di sisi Nisa, dia dan Rina sedang berjalan menuju parkiran untuk mengambil kendaraan. Mereka berbicara santai, membahas tugas kampus, tanpa menyadari bahwa mereka sedang diawasi.
"Nisa, lo kelihatan lebih santai sekarang. Apa karena Rey selalu ada buat lo?" tanya Rina sambil tersenyum.
Nisa mengangguk pelan. "Mungkin. Dia selalu bikin aku merasa aman, meskipun sebenarnya aku masih khawatir tentang semua masalah ini."
"Lo kuat, Nisa. Jangan biarkan siapa pun ngejatuhin lo," kata Rina meyakinkan.
Namun, ketika mereka hampir sampai di parkiran, Nisa merasa seperti ada yang tidak beres. Dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, tetapi tidak melihat apa-apa.
"Kenapa, Nis?" tanya Rina, bingung melihat reaksi temannya.
Nisa menggelengkan kepala. "Entahlah. Aku cuma merasa seperti... diikuti."
Rina menatap sekeliling, mencoba mencari tahu apa yang membuat Nisa merasa begitu. Tapi semuanya tampak normal.
"Ah, mungkin cuma perasaanmu aja. Ayo, kita harus buru-buru sebelum macet," kata Rina, mencoba menenangkan.
Namun, di dalam hati, Nisa tidak bisa menghilangkan firasat buruk yang tiba-tiba muncul. Dia tahu ada sesuatu yang tidak benar, tetapi dia tidak bisa menempatkan jari pada apa itu.
Di kejauhan, Nico duduk di mobilnya, memerhatikan setiap langkah mereka. Bibirnya melengkung dalam senyum penuh arti. "Nikmati ketenangan ini, Nisa. Karena sebentar lagi, semuanya akan berubah."
••∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆••
Rey sedang berada di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan dokumen penting. Di depannya, ada catatan tentang transaksi mencurigakan yang dia dapatkan dari salah satu informan kakek Arfan. Wajahnya serius, penuh konsentrasi.
"Kakek benar," gumam Rey sambil mengetik sesuatu. "Jejak Nico nggak bisa diremehkan. Dia lebih licik dari yang kita kira."
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari salah satu agen yang bekerja untuk kakeknya. Pesan itu singkat, tetapi membuat mata Rey menyipit.
"Nico mulai bergerak. Dia memantau Nisa."
Rey mengepalkan tangannya. "Dasar pengecut. Beraninya cuma ngintai dari jauh." Dia segera meraih jaket kulitnya dan menelpon salah satu timnya.
"Persiapkan pengawasan tambahan untuk Nisa. Jangan ada ruang untuk kesalahan," perintah Rey dengan tegas. "Aku nggak mau ada satu pun ancaman mendekati dia."
Suara di seberang langsung menjawab, "Baik, Rey. Kami akan mengerahkan tim tambahan ke area kampus dan rumah Nisa."
Rey menutup telepon dan menghela napas panjang. Dalam hatinya, dia tahu ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. Tapi dia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Nisa, tidak selama dia masih ada.
Saat dia keluar dari ruang kerja, dia bertemu dengan salah satu orang kepercayaan kakeknya, Andi, yang sudah menunggu di ruang tamu.
"Rey, ada perkembangan baru," kata Andi serius. "Kami menemukan bahwa Nico nggak bekerja sendirian. Ada beberapa nama dari jaringan lama yang muncul dalam penyelidikan."
Rey mengangguk, berusaha tenang meski pikirannya penuh. "Siapa saja mereka?"
Andi menyerahkan sebuah berkas. "Ini daftar nama yang kami temukan sejauh ini. Beberapa di antaranya punya kaitan dengan kelompok di luar negeri."
Rey membuka berkas itu dan memeriksa nama-nama di dalamnya. Wajahnya berubah serius. "Ini nggak main-main. Kalau mereka beneran terlibat, kita harus bertindak cepat."
"Kakek Arfan sudah memberi lampu hijau. Kita tinggal menunggu perintah darimu," kata Andi.
Rey mengangguk, lalu menatap Andi dengan tegas. "Kita nggak akan nunggu mereka menyerang duluan. Pastikan semua persiapan selesai malam ini. Aku sendiri yang akan memimpin operasi ini."
Andi tersenyum tipis. "Baik, Rey. Aku akan mengatur semuanya."
Setelah Andi pergi, Rey mengambil ponselnya dan membuka galeri. Dia menatap foto Nisa yang diambil beberapa waktu lalu, saat mereka sedang makan malam bersama.
"Aku janji, aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi, Nisa," gumam Rey sambil menyimpan ponselnya. Dia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang.