Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balas Dendam
Mereka pun menyudahi kegiatan bejat yang mereka lakukan kemudian berbalik kearahku dan mengintimidasiku. Mereka mulai mengambil beberapa botol miras dan benda apa saja yang mereka temukan untuk dijadikan senjata dan bersiap untuk menyerangku. Tak mungkin aku bisa menang menghadapi mereka bertujuh.
Aku sejenak menyesali tindakan nekatku ini. Aku mengatur nafasku dan mencoba untuk menenangkan pikiranku terlebih dahulu. Apakah aku mampu untuk menghadapi mereka? Apakah aku siap untuk menghadapi mereka? Apa mungkin aku harus memanggil Pak Bonadi terlebih dahulu untuk membantuku? Sejenak pikiran-pikiran itu terlintas di kepalaku.
Tetapi tatapan memelas dan penuh ratap dari Vivi membangkitkan amarahku kembali. Jantungku kembali berdegup kencang. Aku merasakan aliran darahku bersirkulasi cepat didalam tubuhku. Urat-uratku menegang dan aku merasakan adrenalinku memuncak. Sepertinya aku bisa. Bukan sepertinya, tetapi aku harus bisa membunuh mereka semua. Aku sudah berjanji akan menyelamatkan teman-temanku.
Aku menatap para berandalan itu dengan tatapan yang dingin dan penuh kebencian. Kemudian aku mengacungkan jari tengah kearah mereka dan aku segera pergi meninggalkan mereka. Mereka yang tersulut emosi pun langsung mengejarku dengan tanpa seutas benangpun menempel ditubuh mereka.
"Mungkin mereka sudah terlalu mabuk atau terlalu emosi dan langsung mengejarku tanpa memikirkan keadaan tubuh mereka sendiri," batinku sembari terus mempercepat langkahku.
Aku berlari menyeberangi dam dan berlari menuju kearah ladang. Aku tahu aku kalah jumlah dan tidak mungkin menang melawan mereka semua, tapi aku punya cara lain.
Yah benar. Aku akan memancing mereka kepada zombie-zombie itu.
Dinginnya angin malam yang menusuk kulit tidak mereka rasakan. Tajamnya bebatuan yang memijat kaki mereka bahkan tidak mereka hiraukan. Aku yang memakai sandal saja bisa merasakan sakitnya dan angin malam mampu menembus baju kaosku ini membuat tubuhku menjadi sedikit menggigil. Dan itu menjadi keuntunganku.
Mereka mengejarku sembari berteriak untuk menyuruhku berhenti. Aku terus mengejeknya untuk menyulut emosi mereka agar terus mengejarku sembari aku mempercepat langkahku. Beberapa langkah aku berlari, sampailah aku di ladang tebu yang rapat dan lebat itu. Aku segara bersembunyi di dalamnya.
"Dimana dia?"
"Dia masuk ke tebu-tebu ini,"
"Bagus. Sepertinya dia mau mengorbankan dirinya disini supaya adik manisnya tidak harus melihat mayatnya nanti,"
"Bener tuh bro. Kalo dia mati, nanti kita perkosa juga adiknya. Sialan gak sabar gue ngerasain tubuh anak kecil,"
"Tapi si bapak gundul itu gimana?"
"Ya kita bunuh juga lah. Kita bertujuh, dia sendirian. Kita pasti menang lah,"
"Bener juga lu bro. Ayok kita selesaiin secepatnya. Biar kita segera bisa perkosa anak kecil. Sial bayanginnya aja bikin burung gue ereksi noh,"
"Yaudah buruan kita cari. Nunggu apalagi kita?"
"Bentar bro. Gue mau ngocok dulu biar lega,"
"Yaudah lu selesaiin dulu ngocok lu. Abis itu bantuin kita nyari si anjing itu,"
"Aman bro,"
Mendengar percakapan mereka yang menjijikan membuatku geram. Tetapi aku harus tetap tenang dan harus menyusun strategi untuk menghadapi mereka secara satu persatu. Mereka mulai berpencar dan menyibak semak untuk mencariku. Aku masih tetap bersembunyi dan mengawasi mereka dengan hati-hati.
Setelah mereka berpencar dan semakin terpisah, pandanganku tertuju pada satu orang yang berdiri dan melakukan masturbasi di tempat ini. Aku mengendap-endap dan sebisa mungkin meminimalisir langkahku agar tidak terlalu menimbulkan suara gaduh. Dengan bantuan serangga malam yang bernyanyi, dan juga angin malam yang menggosok dedaunan sehingga menimbulkan suara mendesis, sudah cukup sebagai peredam suara yang aku timbulkan.
Aku mengendap-endap dibelakangnya dengan perlahan. Sampai dalam jarak yang memungkinkan untuk melakukan serangan tak terduga dengan cepat dan tepat.
"Uhh anjing enak banget cok ngocok ditempat terbuka sambil bayangin tubuh anak SD," desahnya sembari mengeluarkan cairan putih kental yang keluar sebab kenikmatan yang sudah memuncak itu.
Saat dia masih lengah, aku langsung menebas tumit belakangnya dengan sabit yang kubawa sehingga membuatnya berteriak kesakitan dan langsung jatuh berlutut. Kemudian aku kembali menebas rahang bawahnya agar dia tidak bisa berteriak dan menghancurkan pita suaranya agar tidak berisik. Berandalan itu langsung terbaring di atas rumput yang dingin dan basah itu.
"Lu pengen memperkosa adik gue? Tapi lu harus punya burung lebih dulu biar bisa masukkinya," ledekku.
Aku pun memotong kelamin berandalan yang masih berdiri tegak. Berandalan itu seketika tubuhnya menegang dan berteriak tanpa suara. Dengan mulut yang robek, dia hanya mengeluarkan darah yang memuncrat saja tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.
"Satu," batinku.
Aku pun langsung meninggalkan dia yang sudah sekarat dan pergi bersembunyi diantara semak. Kemudian dua orang berandalan datang dan menghampiri temannya yang sudah sekarat itu. Mereka tercengang seakan tak percaya melihatnya. Beberapa saat kemudian, pemuda yang sekarat dengan tubuh lemas mencoba untuk menunjuk kearah tempatku bersembunyi. Aku bersiap untuk serangan selanjutnya.
Mereka tanpa menolong temannya terlebih dahulu langsung menerjang semak dan menyibak dengan kasar kearah tempatku bersembunyi. Aku kemudian berpindah dengan perlahan dan sesekali menggoyangkan batang tebu untuk memancing mereka kearahku.
Kegelapan ini menguntungkan, dan dengan kesalahanku kemarin yang selalu mengambil rute dengan menembus semak, memberikanku sedikit pengalaman untuk menyelinap diantara ladang ini. Mereka terlihat kesusahan menyibak batang tebu yang padat ini. Dengan tubuh yang telanjang juga sesekali mereka menggaruk-garuk kulitnya dengan kasar hingga membuat tubuhnya lecet dan berdarah.
Mereka sedikit terpisah pergerakannya. Aku mengintai salah satu dari mereka yang membawa sebuah botol miras itu dan mengikutinya dari belakang. Saat hanya berjarak beberapa meter saja, aku langsung menghujamkan ujung sabitku kearah punggung berandalan itu. Dia langsung berteriak kesakitan. Tak sampai disitu, aku langsung memenggal kepalanya. Tapi sayang, sabit yang hanya berukuran sedang tidak mampu menebas sampai putus. Tetapi hanya meninggalkan luka fatal saja.
Dia berteriak sehingga membuat burung-burung malam terbang menjauh. Dia langsung jatuh tengkurap. Aku menyayat kembali luka dipunggungnya dan melebarkan lukanya. Dia langsung berteriak dengan histeris sehingga suaranya menggema ke penjuru ladang.
"Dengan luka yang terbuka seperti ini, menjadikan lu makanan lezat bagi serangga diantara semak-semak ini," bisikku ditelinganya.
"Sialan lu babi" gertaknya. Aku mengambil botol miras yang digenggamnya kemudian pergi meninggalkannya yang sedang sekarat.
"Dua,"
Temannya yang mendengarkan teriakannya langsung menghampirinya. Terlihat sedikit percakapan kecil diantara mereka. Setelah itu berandalan yang sekarat menunjuk ke tempatku bersembunyi. Aku bersiap untuk melancarkan serangan selanjutnya.
Dia langsung berlari menerjang semak untuk mencariku. Aku mencari area yang cocok untuk menyergapnya dari belakang. Beberapa saat kemudian, dia terlihat lengah. Aku mengendap-endap dari belakang dan langsung memukul kepala bagian belakangnya.
Botol pun pecah dan berandalan itu jatuh tersungkur diantara batang tebu yang tajam itu. Kepalanya berdarah, tetapi aku tidak peduli. Aku menghujamkan botol yang sudah pecah itu kearah kepalanya sehingga menusuknya hingga tembus ke wajahnya.
"Tiga,"
thor...sehat2 yah cuaca lagi buruk..banyak yg sakit...