[UPDATE RUTIN 2 - 3 CHP PERHARI]
"Hei, Liang Fei! Apa kau bisa melihat keindahan langit hari ini?"
"Lihat! Jenius kita kini tak bisa membedakan arah utara dan selatan!"
Kira kira seperti itulah ejekan yang didapat oleh Liang Fei. Dulunya, dia dikenal sebagai seorang jenius bela diri, semua orang mengaguminya karena kemampuan nya yang hebat.
Namun, semua berubah ketika sebuah kecelakaan misterius membuat matanya buta. Ia diejek, dihina, dan dirundung karena kebutaanya.
Hingga tiba saatnya ia mendapat sebuah warisan dari Dewa Naga. Konon katanya, Dewa Naga tidak memiliki penglihatan layaknya makhluk lainnya. Dunia yang dilihat oleh Dewa Naga sangat berbeda, ia bisa melihat unsur-unsur yang membentuk alam semesta serta energi Qi yang tersebar di udara.
Dengan kemampuan barunya, si jenius buta Liang Fei akan menapak puncak kultivasi tertinggi.
(Support author dengan like, gift, dan komen)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Malam yang Menenangkan: Liang Fei dan Kehangatan Keluarga Paman Guan (ARC 2)
Dalam perjalanannya, Liang Fei memburu banyak beast tingkat 5 dan tingkat 4. Membunuh mereka tidak begitu sulit baginya, kecuali beast tingkat 3 ke bawah yang lebih sulit dan berbahaya.
Liang Fei memakan daging dan mengambil bagian tubuh beast yang dapat dijual kepada Paman Jiu di kota Linghua.
Seperti biasa, Paman Jiu sangat terkejut melihat barang-barang dari tubuh beast yang dibawa olehnya.
Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Liang Fei memutuskan untuk membeli cincin parsial dengan harga sangat mahal, beberapa pakaian, dan bekal makanan yang lebih layak.
Liang Fei melihat jumlah uangnya yang tersisa sambil tersenyum kecut, "Hanya tersisa 2 koin emas dan 30 perak, kurasa aku harus lebih sering berburu."
Setelah membeli barang-barang kebutuhannya, Liang Fei mencari tumpangan yang dapat membawanya ke kota lain. Dia melihat kereta kuda yang hendak pergi.
"Paman, apa kau ingin pergi ke kota Huisan?" tanya Liang Fei kepada kusir yang duduk di depan kereta.
Kusir tersebut, yang biasa dipanggil Paman Guan, menatap Liang Fei dari bawah ke atas, sedikit ragu saat menyadari bahwa Liang Fei adalah seorang pemuda yang buta.
Namun, Paman Guan menahan komentar sinis yang hampir keluar dan sebaliknya mencoba bersikap profesional, "Benar, kereta ini menuju kota Huisan. Kau butuh tumpangan?"
Liang Fei mengangguk, tersenyum ramah meski sadar akan ekspresi awal Paman Guan. "Ya, saya ingin menumpang jika memungkinkan. Tentu saja saya akan membayar sesuai tarif yang berlaku."
Paman Guan, merasa sedikit malu karena telah meremehkan pemuda itu, akhirnya menganggukkan kepala.
"Baiklah, ada satu tempat lagi di belakang. Namun, jangan berharap untuk duduk nyaman karena tempatnya sempit."
Liang Fei memasuki gerbong kereta, ternyata ada beberapa orang yang juga menumpang dengan barang dagangan mereka.
'Sepertinya mereka semua adalah pedagang keliling,' pikir Liang Fei.
Mengingat kota Linghua adalah pusat perdagangan, tentu banyak orang yang datang ke sana untuk berjualan atau sekedar membeli pasokan dan dijual di kota lain.
Liang Fei mengangguk sopan kepada para penumpang lain saat dia memasuki gerbong kereta.
Suasana di dalamnya cukup sesak dengan aroma campuran berbagai barang dagangan. Namun, dia tidak terlalu terganggu.
Setelah menemukan sudut kecil yang cukup nyaman untuk duduk, dia menyesuaikan diri untuk perjalanan jauh menuju kota Huisan.
Di sela-sela kebisingan roda kereta yang berderak dan percakapan para penumpang, pikiran Liang Fei melayang kembali.
Sebenarnya, dia tidak punya tujuan yang jelas dalam perjalanannya. Liang Fei hanya mengikuti perasaannya ke mana pun dia pergi.
Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang duduk tak jauh dari Liang Fei memperhatikannya dengan penasaran.
Ia akhirnya mendekat dan bertanya dengan suara lembut, "Apakah kamu benar-benar tidak bisa melihat?"
Liang Fei tersenyum sambil menjawab, "Ya, tapi aku bisa merasakan lebih banyak hal dengan cara yang berbeda."
Gadis itu terlihat takjub, dan ibunya yang duduk di sebelahnya meminta maaf atas pertanyaan tidak sopan putrinya.
Liang Fei hanya mengangguk ramah, menunjukkan bahwa dia tidak merasa tersinggung sama sekali.
"Jadi, bagaimana cara indramu merasakan sesuatu tanpa melihat?" gadis itu kembali bertanya, merasa sangat penasaran dengan sosok Liang Fei.
"Yah, ada malaikat yang selalu berbisik kepadaku, dan saat ini dia berbisik dan bilang kalau kau itu gadis yang sangat cantik," canda Liang Fei.
"Hahaha, Kakak ini bisa saja," gadis kecil itu tertawa riang, senang dengan pujian Liang Fei yang dengan gamblang menyebutnya cantik.
Di kursi kemudi, suara Paman Guan terdengar keras, "Aku tidak merestui hubungan Yao Yao dengan pria yang lebih tua darinya!"
Ibu Yao Yao, sekaligus istri Paman Guan, menahan tawanya, "Maafkan kelakuan suamiku, dia sangat posesif terhadap putri kami satu-satunya."
Liang Fei kebingungan dengan anggapan keluarga Paman Guan; ia hanya sedikit memuji kecantikan putrinya dan mereka menganggap itu sebagai lamaran pernikahan?
Perlu diketahui bahwa perbedaan usia pernikahan dalam dunia itu sudah dianggap normal, bahkan pertunangan biasa dilakukan ketika seorang anak masih berada di dalam kandungan.
Yao Yao berusia sekarang berusia tiga belas tahun, dan mungkin dua atau empat tahun ke depan dia sudah akan menikah.
"Ah, Bibi Yao. Aku tidak ingin menikah terlalu cepat," ucap Liang Fei, ia tidak ingin kesalahpahaman itu terus berlanjut.
Ibu Yao Yao tersenyum sambil menepuk lembut bahu putrinya, "Tenang saja. Kami hanya bercanda. Kamu adalah tamu di kereta kami dan Yao Yao hanya anak kecil yang penasaran."
Liang Fei tersenyum lega, walau sedikit merasa canggung. Dia memahami bahwa candaan semacam itu sering kali terjadi di lingkungan yang akrab dan hangat.
Perjalanan ke kota Huisan masih panjang, dan suasana di dalam kereta kuda mulai terasa lebih kekeluargaan.
Para pedagang lainnya pun mulai ikut bercakap-cakap, menceritakan pengalaman dan kisah hidup masing-masing.
Seorang pedagang rempah-rempah mulai bercerita tentang perjalanannya ke kota-kota besar dan betapa sulitnya mengamankan pasokan dari para pemasok yang mulai jarang ditemukan.
Ceritanya begitu menarik sehingga banyak penumpang lainnya, termasuk Liang Fei, mendengarkannya dengan seksama.
Saat kereta melaju lebih jauh, matahari mulai tenggelam dan langit berubah menjadi jingga keemasan.
Liang Fei sangat menikmati momen tersebut. Ia merasakan hangatnya sinar matahari yang tersisa dan angin lembut yang menerpa wajahnya, memberinya ketenangan dan rasa kebebasan.
Ketika malam tiba, Paman Guan menghentikan keretanya. Mereka menggelar tikar di bawah pohon besar untuk bermalam.
Walaupun para penumpang belum kelelahan, tapi kuda-kuda mereka harus diberi makan dan istirahat setelah menarik kereta seharian.
Liang Fei, dengan ketajaman indranya, memutuskan untuk mengawasi situasi sekitar sementara yang lainnya tidur.
Istri Paman Guan berbisik kepada suaminya, "Lihatlah pemuda itu, meskipun dia memiliki kekurangan, tampaknya dia punya kekuatan yang besar dan tekad yang kuat. Kita bisa belajar banyak darinya."
Paman Guan mengangguk setuju, meskipun ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
Diam-diam, ia juga merasa kagum dengan ketangguhan dan semangat Liang Fei yang tidak mudah menyerah pada keterbatasan fisiknya.
"Kau tidak ingin istirahat?" ujar Paman Guan menghampiri Liang Fei yang duduk bersandar di sebatang kayu sambil memegang pedangnya.
"Hanya aku seorang kultivator di kelompok ini, jadi aku harus berjaga. Tenang saja, aku sudah biasa terjaga di malam hari."
"Kau tidak boleh terlalu keras pada dirimu sendiri. Selain itu, lingkungan di sekitar sini terbilang aman. Aku sudah biasa bermalam di sini dan tidak ada satu pun hewan buas di area ini."
Liang Fei mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh ucapan Paman Guan.
"Terima kasih atas informasinya, Paman. Tapi aku lebih nyaman ketika berjaga, ini sudah menjadi kebiasaanku," jawab Liang Fei dengan nada sopan.
"Kalau begitu, jangan memaksakan dirimu." Paman Guan tersenyum kecil, kemudian berbalik untuk bergabung dengan keluarganya.
Sementara itu, Liang Fei tetap berjaga, mengandalkan indra pendengarannya yang tajam dan penglihatan mata batin untuk merasakan segala sesuatu di sekelilingnya.
Suara malam yang tenang, dengan angin yang berdesir lembut melalui dedaunan, memberikan ketenangan tersendiri.
Meskipun demikian, Liang Fei memastikan dirinya tetap waspada dengan pedang yang siap di tangannya.
Seiring waktu berlalu, sesekali telinganya menangkap suara hewan malam yang berlalu di kejauhan.
Tapi, seperti yang dikatakan Paman Guan, daerah tersebut tampak aman tanpa tanda-tanda bahaya yang mengintai.
Liang Fei sudah terbiasa dengan kesendirian setelah kehilangan kakeknya. Tetapi momen seperti ini, di mana dia merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, meskipun hanya sementara—memberikannya rasa damai yang jarang dia rasakan.