Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghitung biaya Pernikahan
Joko dan Vina sedang duduk bersama di meja makan apartemen mereka, ditemani secangkir kopi yang mulai dingin. Di meja, ada laptop terbuka dengan spreadsheet yang penuh dengan angka-angka dan kolom yang saling bersilang. Vina tampak serius memandang layar, sementara Joko terlihat kebingungan, sesekali menggaruk kepalanya.
“Jadi, kita harus mulai memikirkan anggaran yang realistis. Paling nggak, kita mulai dengan hal-hal penting dulu, ya? Seperti venue, catering, dan dekorasi. Sisanya bisa dipikirin belakangan,” kata Vina, menggerakkan kursor dengan tekun, sambil berbicara.
“Venue tuh... itu kan tempat buat resepsi ya? Kenapa harga tempatnya bisa sampai segitu? Nggak bisa dipotong sedikit?” tanya Joko, mencondongkan tubuh, melirik layar laptop.
“Itu baru venue yang standar, Jok. Kita nggak mau resepsi kita kayak acara pasar malam kan? Maksudnya, kita harus pilih tempat yang nyaman buat tamu, nggak cuma harga miring tapi nggak punya fasilitas oke,” jawab Vina, menyeringai setengah tertawa.
“Aduh, ini sih lebih mahal dari harga motor bekas gue, Vin. Kenapa sih nggak bisa lebih simpel aja, kayak... ngundang orang di taman?” tanya Joko, mengangkat alis dan terlihat bingung.
“Kita nggak mau pernikahan kita jadi cerita buruk, Jok. Maksud gue, ini bakal jadi kenangan seumur hidup, jadi biar ada kualitasnya sedikit, ya,” kata Vina, menyandarkan punggung dan tersenyum.
“Iya sih... tapi kok rasanya kita kayak hidup di dunia yang berbeda, ya? Lo mikirin soal tempat, gue malah mikirin... duit yang bakal habis buat bayar semua ini,” jawab Joko, terdiam sejenak sambil berpikir.
“Yakin lo, Jok, nggak ada yang namanya ‘pernikahan murah’ di dunia ini. Cuma harus pintar-pintar atur anggaran. Yang penting, kita tahu mana yang penting dan mana yang nggak. Nggak semua hal perlu dikejar sempurna,” kata Vina, mendekat dan menepuk pundaknya.
“Jadi, misalnya catering, dekorasi, sama venue itu hal yang nggak bisa diganggu-gugat?” tanya Joko, mencoba mengerti sambil mencatat di kertas.
“Betul. Tapi jangan khawatir, kita bisa cari vendor yang sesuai dengan anggaran kita. Kita nggak perlu mewah, yang penting punya kualitas. Nah, sisanya bisa kita atur, misalnya untuk undangan dan souvenirs,” jawab Vina dengan yakin.
“Lalu nanti kita kasih souvenir apa, Vin? Apakah kita kasih voucher potongan 50% di warung makan kita sendiri?” tanya Joko, tertawa kecil mencoba menyegarkan suasana.
“Gila, Jok. Itu ide yang konyol. Tapi, kalau ada yang ngambil, itu sih bakal lucu,” jawab Vina, menepuk meja dengan ringan dan tertawa.
“Paling enggak, bisa hemat. Tapi serius deh, kita tuh punya anggaran cukup nggak ya buat semua ini?” tanya Joko, tertawa dengan tulus sambil kembali mencatat.
“Pasti cukup, kok. Gue udah hitung-hitung, asal kita bisa bedain mana yang bener-bener penting dan mana yang bisa di-cut. Misalnya, kita nggak perlu beli cincin berlian yang harganya kayak mobil, kan?” jawab Vina, berhenti sejenak, lalu berbicara serius.
“Nggak sih, gue sih lebih suka cincin yang kalau hilang nggak bikin kita bangkrut,” kata Joko, melirik Vina dengan kaget, seolah memikirkan opsi cincin sederhana.
“Lihat kan? Nggak semua harus mewah. Asal kita tahu apa yang bener-bener kita butuhkan,” jawab Vina, tersenyum simpul.
“Duh, Vin, semua yang lo pilih tuh kayaknya mahal, deh. Lo pikir kita bisa ngelakuin semua ini tanpa utang?” tanya Joko, membuka spreadsheet dan melihat lebih dekat.
“Jok, pernikahan bukan tentang berapa banyak duit yang keluar. Tapi tentang komitmen dan kenangan yang kita buat. Nanti setelah ini, kita harus kerja sama buat ngatur anggaran, jangan cuma lo yang mikir,” kata Vina, menghela napas, matanya fokus ke layar laptop.
“Iya, iya. Gue paham. Gue cuman... takut aja kita nggak cukup untuk semua ini,” jawab Joko, mengangguk pelan, mulai paham.
“Kita cukup kok, Jok. Asal kita nggak lebay aja. Semua ada solusinya, dan kita bisa atur bareng,” kata Vina, menatap Joko dengan lembut dan tersenyum.
“Lo tuh selalu bisa bikin gue merasa tenang, Vin. Gue tahu pernikahan ini bakal berharga, dan gue senang bisa menjalani ini sama lo,” kata Joko, terdiam sejenak menatap Vina.
“Aku juga, Jok. Yuk, lanjut. Masih banyak yang harus disiapkan,” jawab Vina, tersenyum manis.
Dengan semangat yang lebih positif, Joko dan Vina mulai merencanakan pernikahan mereka dengan lebih tenang. Meskipun angka-angka di spreadsheet masih membingungkan bagi Joko, dia mulai lebih menghargai proses yang mereka jalani bersama. Ini bukan hanya tentang pernikahan yang sempurna, tapi tentang perjalanan yang mereka lalui bersama, selangkah demi selangkah.