Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Rasanya masih seperti mimpi, kala tangan itu meraih uluran dari sang suami meminta diraih. Nahla menciumnya dengan takzim, Hanan membalas dengan mencim keningnya. Hati kecil di relung terdalam berdesir, menyerukan sebuah harapan baik untuk kehidupan rumah tangganya.
"Alhamdulillah ... acaranya berjalan lancar," ucap Bu Kokom tersenyum haru. Walau seharian ini harus bergelut dengan panci, melihat senyum bahagia putrinya hatinya langsung adem. Rasa lelah yang melanda sirna berganti dengan pegal-pegal yang akan menjadi pekerjaan baru untuk Bapak.
"Pak, nanti jangan lupa ya, pijitin Ibu, badanku pegel semua gegara nggak berhenti dari tadi pagi," bisik Bu Kokom setelah selesai acara.
Masih ramai orang, keluarga besar Pak Hanan sebagian sudah pulang karena acara lamaran sekaligus ini ditutup dengan doa kebaikan untuk pengantin dan jamuan bersama.
Hanan sendiri masih menemani sebagian keluarganya sambil menikmati jamuan. Sementara Nahla di ruang tengah bersama Icha dan beberapa saudara dari Nahla itu sendiri.
"Icha mau makan?" tanya Nahla memperhatikan putrinya yang enggan beranjak dari dirinya. Gadis kecil itu adalah orang yang paling bahagia karena sudah boleh merubah panggilan pada miss Nahla menjadi Mama.
"Akhirnya aku punya Ibu," celetuk Icha yang seketika membuat Nahla terenyuh. Kasihan sekali anak ini, selalu menganggap dirinya tidak punya ibu lantaran maut memisahkan mereka sedari bayi.
"Iya, Icha punya Ibu sekarang, panggil saja sesuai keinginanmu," jawab Nahla menarik dalam pelukan. Terlihat begitu klop dan kompak. Kedekatan mereka memang tidak bisa diragukan lagi, Nahla yang tulus akhirnya mengantarkan dirinya pada jodohnya.
"Dek, itu keluargaku mau pamit, keluar dulu," ucap Hanan menemui istri dan anaknya.
Nahla mengangguk, bersalaman dengan beberapa penggiring pengantin pria secara bergantian.
"Selamat menempuh hidup baru, samawa til jannah. Titip Hanan dan Icha Dek, terima kasih sudah membersamai keponakan saya selama ini," ucap Ajeng memeluk adik iparnya. Bahagia sekali ketika dikabari untuk datang ke Bandung untuk menemani lamaran adiknya.
Ajeng sudah mendengar banyak tentang Nahla, bahkan Hanan membagi membagi cerita kedekatan dengan putrinya yang begitu kental. Seakan mereka tak bisa dipisahkan.
"Aamiin ... Insya Allah Mbak, terima kasih sudah datang, hati-hati!"
Niat hati pulang ke kediaman adiknya dulu dengan rehat barang sehari dua hari, eh malah baru sampai belum juga istirahat Mama Ajeng dan Papa Abi mendapat kabar tak sedap dari putrinya. Kedua orang tua itu langsung bertolak pulang. Mereka bahkan pamit ke Hanan karena pria itu masih stay di rumah mertuanya. Belum pulang alias ditinggal oleh rombongan.
"Icha udah ngantuk? Tidur di kamar dulu, Sayang," ujar Nahla beranjak.
Perempuan itu masuk ke kamarnya sambil menuntun Icha. Belum juga menghapus riasanya, menemani Icha rebahan.
"Ma, besok mama ikut Icha pulang kan? Kita bisa melakukan banyak hal seru bareng," ujar gadis kecil itu sepertinya sudah mempunyai banyak jadwal.
"Mmm ... iya." Nahla nampak bingung, jujur ia masih shock dan kaget statusnya kini. Ia tidak menyangka akan menikah secepat ini.
Gadis kecil itu baru terlelap ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Menyembul sosok pria yang kini telah sah menjadi suaminya dan halal melakukan apa saja.
"Aku masuk ya, Icha sudah tidur?" tanya Hanan memperhatikan putrinya yang lelap.
"Iya, kamu kalau mau pulang nggak pa-pa, Icha biar nginep di sini saja sama saya, kasihan sudah bobok," ujar Nahla masih canggung dan kaku.
"Pengennya langsung bawa kamu pulang malam ini juga, itu kalau kamu tidak keberatan," pinta Hanan duduk di tepian ranjang.
"Mm ... aku masih ingin di sini Mas, kalau Mas berkenan, aku mau ikut setelah acara pernikahan resmi saja," jawabnya penuh dengan perhitungan.
"Kenapa? Nggak harus nunggu dua minggu ke depan, kita kan udah sah, mau serumah juga nggak masalah. Jangankan seatap, berdua di kamar juga boleh."
"Uhuks!" Nahla langsung keselek ludahnya sendiri. Ia masih grogi membahas perajangan.
Sementara Hanan malah tersenyum tipis melihat istrinya yang memerah malu-malu.
"Aku pinjam sarung sama kaus yang besar ada nggak, Dek, pengen ganti, nggak nyaman kalau tidur pakai gini," ujar Hanan sembari membuka kancing di lengannya.
"Bentar, aku pinjamin ke Tio dulu Mas, dia kan besar, pasti bajunya muat," ujar gadis itu beranjak.
Nahla keluar dari kamar, nampak suasana dapur masih ramai saling membantu Ibu mengemas sisa masakan. Bu Kokom tengah membagi-bagi sayur dan lauk yang masih ada banyak ke plastik-plastik agar saudara yang sudah bantuin tadi membawanya pulang.
Tak lupa juga membagi beberapa jajanan dan oleh-oleh bawaan dari keluarga Hanan yang membawa cukup banyak. Jadi, suasana ruang tengah dan dapur masih ramai.
"Permisi Buk, Cing!" seru Nahla setengah membungkukan badannya hendak menuju kamar Tio yang bersebrangan dengan kamar dirinya. Perempuan itu meminjamkan baju santai dan sarung dari Tio untuk Hanan.
"Ini Mas," ujar gadis itu memberikan pada suaminya.
"Makasih," jawab Hanan sembari menatap wajahnya yang menundukkan pandangan.
"Mau ke mana?" tanya pria itu menghentikan langkah Nahla.
"Keluar dulu, kan Mas mau ganti," jawab perempuan itu jelas masih malu.
Hanan tersenyum melihat istrinya yang keluar dari kamar, balada menikahi perawan, harus sabar karena masih benar-benar polos dan belum mengerti.