Leana seorang aktris yang baru saja terjun ke dunia hiburan tiba-tiba didorong ke dalam laut. Bukannya mati, Leana justru masuk ke dalam sebuah novel yang di mana ia menjadi tokoh pendukung yang lemah. Tokoh itu juga memiliki nama yang sama dengannya
Leana menjadi salah satu simpanan tokoh utama yang telah beristri. Namun tokoh utama pria hanya menganggap ia sebagai alat pemuas hasrat saja. Dan terlebih lagi, di akhir cerita ia akan mati dengan mengenaskan.
Merasa hidup sudah di ujung tanduk, Leana berusaha mengubah nasib tokohnya agar tidak menjadi wanita simpanan yang bodoh dan tidak mati mengenaskan. Di sisi lain Leana juga harus mencari cara agar keluar dari dunia novel ini.
Akankah Leana mampu melepaskan diri dari tuannya yang terkenal kejam itu? Dan bagaimana caranya agar Leana mampu kembali ke dunia asalnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa Dilepaskan
Pukul 03.03 pagi, telepon itu berbunyi. Suara yang familiar kembali mengalir, membawa ketegangan yang mengisi setiap sudut ruangan. Leana menatap layar telepon yang mati setelah panggilan itu berakhir. Sudah berulang kali ia mendengar suara yang sama, namun kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
“Apa yang kau inginkan dariku?” bisik Leana, merasa lelah dengan semua ini.
Dia sudah lelah dengan permainan ini, permainan yang terus berputar tanpa ada ujungnya. Suara yang muncul di telepon setiap malam adalah pengingat bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Leana menatap ke luar jendela, merasakan angin malam yang menerpa kulitnya. Di luar sana, semuanya terasa jauh lebih sunyi dibandingkan dengan hatinya yang penuh dengan ketidakpastian.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Leana langsung berdiri, langkahnya penuh hati-hati. Ia tahu siapa yang datang, meskipun ia tidak ingin menghadapinya.
“Dalton,” ucapnya, matanya menyipit melihat sosok lelaki yang berdiri di ambang pintu.
Dalton tersenyum tipis, senyum yang tidak menyembunyikan apapun selain keinginan. “Aku datang hanya untuk melihatmu, Leana,” jawabnya dengan nada yang datar, namun ada sesuatu di matanya yang berbicara lebih banyak daripada kata-katanya.
Leana tidak menjawab, hanya menatap Dalton dengan tatapan kosong. Ia tahu alasan Dalton datang. Bukan untuk berbicara, bukan untuk memberi perhatian, melainkan hanya untuk memuaskan hasratnya yang tak terkontrol.
“Kenapa kau datang malam-malam begini?” Leana mencoba bertanya, meski tahu jawabannya.
Dalton mendekat, langkahnya lambat namun pasti. “Aku hanya ingin melihatmu, Leana. Tak ada yang salah dengan itu, kan?” katanya, suara rendah namun penuh dengan ketegangan. Ia tahu Leana tidak menyukainya, namun rasa itu tidak menghentikannya. Tidak ada yang bisa menghalangi nafsu yang membara dalam dirinya.
Leana mundur sedikit, mencoba menjaga jarak. “Aku bukan untuk itu,” jawabnya, meskipun hatinya bergejolak. Tidak ada tempat untuknya di dunia ini, apalagi di hadapan Dalton yang hanya melihatnya sebagai objek.
Dalton tersenyum lebar, lebih menyeramkan daripada sebelumnya. “Tentu, kau bisa berkata begitu, Leana. Tapi kita tahu siapa yang sebenarnya kau inginkan,” katanya sambil melangkah lebih dekat lagi, matanya penuh godaan.
Leana bisa merasakan hawa yang tidak nyaman mengelilinginya. Ia bukan hanya seorang pelayan, tetapi seseorang yang terperangkap dalam permainan yang lebih besar, permainan yang dimainkan oleh orang-orang yang tidak peduli dengan perasaannya.
“Tidak ada yang kau inginkan dariku selain itu,” kata Leana dengan suara yang datar, meskipun di dalam hatinya ada api yang berkobar. “Jadi berhenti berpura-pura peduli.”
Dalton tertawa pelan, tapi ada sesuatu yang berubah dalam sikapnya. “Aku tidak berpura-pura, Leana. Aku tahu apa yang kau inginkan. Hanya masalah waktu sebelum kita saling memahami,” ujarnya, seolah semuanya sudah jelas.
Namun, Leana tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa tersesat dalam segala perasaan yang tidak seharusnya ia alami. Setiap malam, setiap ketukan, setiap panggilan telepon—semuanya mengingatkannya pada sesuatu yang ia coba hindari.
Leana menatap Dalton, merasa semakin terjebak dalam situasi yang tidak bisa ia ubah. “Kau hanya ingin memanfaatkanku, seperti yang selalu kau lakukan,” ujarnya dengan suara tegas.
Dalton hanya tersenyum, tidak terburu-buru untuk membalas. “Itulah hidup, Leana. Kau akan belajar menerimanya. Semua orang memanfaatkan apa yang mereka bisa dapatkan,” katanya sambil mundur sedikit, memberi ruang.
Leana merasa terhina, namun ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang pelayan. Tidak lebih dari itu. Tidak lebih dari sekadar objek yang digunakan sesuka hati.
Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus bergejolak—perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Ia tidak tahu apakah ia benci Dalton, atau justru ia merasa terperangkap dalam dirinya sendiri.
Dalton berdiri beberapa detik di hadapan Leana, matanya menilai setiap gerak-gerik perempuan itu. Leana menatapnya dengan tatapan yang tajam, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan di balik matanya yang dingin.
“Apa lagi yang kau inginkan dariku? Pergilah!” suara Leana terdengar lebih keras daripada yang dia inginkan. Marah, namun ada rasa frustasi yang tidak bisa dia sembunyikan. “Istrimu koma, dan kau malah ada di sini, di kamarku, seperti tidak ada yang terjadi di luar sana!”
Dalton tidak bergerak, matanya tetap memandang Leana dengan tatapan kosong. Ia tahu benar apa yang Leana rasakan. Namun, tidak ada sedikit pun penyesalan yang muncul dari dirinya. Bagi Dalton, semua ini hanyalah bagian dari permainan yang sudah lama dimulai.
“Istriku? masalah itu sudah tidak relevan sekarang,” jawab Dalton dengan tenang. Nada suaranya datar, tidak ada perasaan yang tersirat. “Aku hanya ingin berada di sini, Leana. Bersamamu.”
Leana merasa hatinya dipenuhi kebencian yang semakin memuncak. “Bagaimana bisa kau begitu kejam? Istrimu dalam keadaan koma, dan kau... malah seperti ini? Menyia-nyiakan segalanya untuk sekadar kepuasan pribadi?”
Dalton mendekat, langkahnya tenang namun penuh kepercayaan diri. Ia tidak terpengaruh dengan amarah Leana. “Istriku memang koma di sini, lalu apa salahnya? Aku hanya melakukan apa yang aku mau,” jawabnya sambil mengulurkan tangan ke arah Leana.
Leana mundur beberapa langkah, merasa setiap inci tubuhnya ingin menjauh dari Dalton. “Kau tidak tahu malu,” katanya dengan nada penuh benci. “Sama sekali tidak tahu malu.”
Namun, Dalton tidak menghiraukannya. Dia mendekat lagi, dan kali ini dia tidak memberinya ruang untuk mundur. “Aku tidak peduli apa yang kau katakan, Leana. Aku datang bukan untuk bicara soal rasa malu. Aku datang karena aku ingin lebih dari sekadar kata-kata,” ucap Dalton, suaranya semakin rendah dan penuh dengan godaan.
Leana merasakan panas yang menjalar di dalam tubuhnya, marah, dan semakin tidak bisa menahan perasaan yang membara. “Kau datang untuk mempermainkanku, bukan?” suaranya bergetar, tetapi dia berusaha tetap tegar.
Dalton hanya tersenyum, senyum yang tidak menunjukkan penyesalan. Tanpa peringatan, ia melangkah maju, meraih Leana dengan tangan yang lebih kuat dari biasanya. “Aku datang untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan aku tahu, Leana... kau tidak akan bisa menolakku selamanya,” bisiknya, nada suaranya penuh dengan keyakinan.
Leana berusaha melawan, namun Dalton lebih kuat. Dia mendorong tubuhnya ke arah tempat tidur, dan tanpa ada kata-kata lain, Dalton berbaring di samping Leana. Dia menatapnya dengan tatapan yang tak tergoyahkan.
“Tidurlah,” katanya sambil memalingkan wajah ke arah langit-langit kamar. “Kita tidak perlu bicara lagi. Aku hanya ingin berada di sini.”
Leana terdiam, merasa kebingungannya semakin mendalam. Ini bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah. Ini adalah tentang kekuasaan, tentang siapa yang bisa mengendalikan siapa. Dan pada saat itu, Dalton jelas lebih kuat dari dirinya.
Namun, Leana tidak akan menyerah begitu saja. Dengan tubuh yang masih tegang, ia berbalik menghadap Dalton. “Aku benci kau, Dalton. Aku benci apa yang kau lakukan padaku.”
Dalton tidak menjawab, hanya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Benci atau tidak, itu tidak akan mengubah apapun,” jawabnya dengan tenang, seolah segala perasaan Leana tidak ada artinya baginya.
Leana merasakan hatinya hancur perlahan. Dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berbaring di sana, berusaha mengabaikan kenyataan bahwa orang yang seharusnya berada di samping istrinya, malah berada di sampingnya sekarang.
recomended yaa klo yg belum baca capcuz gaskeun