John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Dimanjakan
Nadira terbangun perlahan, namun matanya masih terpejam sejenak. Tangannya bergerak mencari kehangatan tubuh John di sisinya, tetapi ia hanya mendapati tempat itu kosong dan dingin. Dengan sedikit menghela napas, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur.
Setelah membersihkan diri, Nadira berdiri di depan cermin, mengamati refleksi dirinya. Senyum tipis terulas di bibirnya ketika ia melihat bekas sentuhan yang ditinggalkan John di kulitnya, jejak-jejak yang mengingatkannya pada pagi dingin penuh gairah yang tadi mereka lalui. Tubuhnya terasa meremang, panas yang samar masih membekas, membuat hatinya berdebar.
Namun perlahan, senyumnya memudar. Kenyataan mulai menyeruak, membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit diabaikan. Ia menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Tidak seharusnya mereka melampaui batas tanpa ikatan suci pernikahan yang diberkati oleh agama dan norma.
Kegelisahan mulai menguasai pikirannya. "Bagaimana jika... aku mengandung?" pikir Nadira.
Bayangan itu menakutkan. John adalah pria yang penuh perhitungan dan sering menjaga jarak darinya. Bagaimana jika John tidak ingin bertanggung jawab atau bahkan tidak mau menikahinya?
Pikirannya menjadi penuh oleh rasa takut dan cemas, namun juga terbungkus oleh rasa cinta yang begitu dalam pada pria itu. Nadira memegang perutnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. la menatap bayangan dirinya di cermin dengan tatapan kosong, menyadari bahwa apa pun yang terjadi, ia harus siap menghadapi konsekuensinya, baik sendirian maupun bersama John.
Rasa nyaman dan aman yang ia rasakan dalam dekapan John tadi malam dan tadi pagi, kini berbalik menjadi rasa gelisah yang menghantui. Apakah cinta yang melampaui batas ini akan menjadi awal dari kebahagiaan, ataukah justru kehancuran? Nadira hanya bisa bertanya dalam hatinya, tanpa jawaban yang pasti.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rumahan, Nadira melangkah keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk. Saat sampai di ruang makan, ia melihat John duduk di meja, sibuk mengetik di laptopnya. Pria itu tampak fokus, dengan ekspresi serius yang tak pernah gagal membuat Nadira merasa kikuk.
"Makanlah dulu," ucap John tanpa menoleh, seolah menyadari kehadirannya tanpa perlu melihat. Jemarinya tetap menari lincah di atas keyboard, sedangkan matanya terpaku pada layar laptop.
"Iya," jawab Nadira patuh. Ia melirik sarapan yang tadi telah ia siapkan, piring John di sebelah laptop hanya menyisakan bekas makanan.
Nadira makan dengan perlahan, tapi matanya tak bisa berhenti melirik John yang masih sibuk dengan laptopnya. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan debaran di dadanya yang tak kunjung mereda sejak mandi tadi. Setelah selesai makan, Nadira meneguk air putih, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu.
John akhirnya menutup laptopnya dengan suara pelan. Tatapannya kini beralih sepenuhnya pada Nadira, penuh intensitas yang sulit diartikan. Nadira merasa serba salah di bawah sorotan mata itu. Ia menundukkan pandangannya, mencoba menghindari konfrontasi yang ia tahu akan segera terjadi.
"Nadira..." panggil John lembut, namun nada suaranya tegas.
Nadira mengangkat wajahnya perlahan, menatap pria itu tanpa menjawab.
"Sejak awal aku sudah bilang kalau aku tak ingin menjalin hubungan romantis, apalagi menikah," ucapnya dengan nada yang terkontrol. "Tapi kita... sudah melakukannya beberapa kali tanpa pengaman. Apa kau tak takut kalau kau hamil?"
Pernyataan itu membuat Nadira terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Om, aku tidak bisa memaksa Om untuk mencintai aku, apalagi menikahiku," katanya tenang. "Apapun yang terjadi padaku nanti, aku akan menerima konsekuensinya. Aku sudah tahu risikonya sejak awal."
Ia menunduk, meremas jemarinya di atas meja. "Jadi, tolong... jangan tanyakan apa-apa lagi. Biarkan aku menikmati waktu yang tersisa ini bersama Om. Jika sampai waktu perjanjian yang kita buat aku tidak bisa meluluhkan hati Om, aku akan pergi. Aku janji tidak akan lagi menampakkan diri di depan Om."
John terdiam mendengar kata-kata Nadira. Ia menghela napas panjang, mengangkat tangannya untuk memijat batang hidungnya yang mancung. Setelah beberapa detik hening, ia kembali menatap Nadira.
"Gantilah pakaianmu. Aku akan mengantarmu berbelanja seperti yang aku janjikan," ucapnya sambil mengalihkan pembicaraan. Meski dalam hati ia telah mengakui kekalahannya dan menyadari bahwa dirinya mencintai Nadira, John masih enggan untuk mengungkapkan kebenaran itu secara langsung. Dalam diam, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku hanya ingin memastikan perasaanmu padaku tetap sama, Nadira. Aku butuh waktu untuk percaya sepenuhnya."
Wajah Nadira langsung berbinar saat mendengar John akan menemaninya berbelanja. Antusiasme terpancar dari setiap gerakannya, hingga ia hampir lupa bahwa hari ini memang sudah dijanjikan oleh John. "Iya, aku akan segera bersiap," ucapnya penuh semangat. Tanpa membuang waktu, Nadira merapikan piring kotor miliknya dan milik John, meletakkannya di wastafel, lalu bergegas kembali ke kamar untuk berganti pakaian.
John memerhatikan tingkah Nadira dengan senyum tipis di wajahnya. "Dia begitu senang hanya karena hal sederhana seperti ini," pikirnya. Sesaat kemudian, mereka menuju salah satu mal terbesar di kota. John tak hanya mengantar, tapi juga memanjakan Nadira dengan cara yang membuatnya kewalahan.
Saat di toko elektronik, John membelikan Nadira ponsel dan laptop baru meskipun Nadira sempat menolak dengan tegas. "Om, ini terlalu mahal. Laptop dan ponselku masih bisa dipakai," protesnya. Namun, John hanya menatap Nadira tanpa berkata apa-apa, seolah menyatakan bahwa keputusannya sudah final.
Berlanjut ke spa, John memesan perawatan lengkap untuk Nadira. Kulitnya terlihat lebih segar dan bercahaya setelah keluar dari sana. "Apa aku jadi terlihat lebih menarik?" Nadira bertanya setengah bercanda, namun John hanya tersenyum samar, tak memberi jawaban langsung.
Saat di toko kosmetik, John memilihkan skincare dan alat makeup dengan harga fantastis. Nadira menelan ludah saat melihat total harganya. "Om, ini terlalu mahal. Aku tak akan mampu membeli ini kalau nanti kita..." Nadira menghentikan kalimatnya, menyadari arti kata yang baru saja meluncur dari bibirnya. John hanya diam, matanya sedikit mengerjap, namun tetap menyerahkan kartu kreditnya pada SPG tanpa berkata apa-apa. Dalam hati, ia merasakan sesuatu yang mengganggu, rasa tidak nyaman saat membayangkan kemungkinan mereka berpisah.
Setelah itu, mereka menuju butik. John langsung memanggil SPG yang sudah mengenalnya sebagai pelanggan tetap. "Berikan dia pakaian yang nyaman untuk sehari-hari, pakaian tidur, dan beberapa pakaian formal untuk ke kampus," katanya tegas.
Namun, belum sempat menemani Nadira memilih pakaian, ponsel John berdering. Ia mengangkat panggilan itu dengan ekspresi serius. "Aku harus pergi sebentar, ada urusan mendadak. Kau pilih saja yang kau suka, mereka akan membantumu," ucapnya pada Nadira setelah menutup telepon.
Nadira mengangguk, meski ia merasa sedikit canggung tanpa John di sisinya. John pun berlalu setelah memastikan SPG butik akan menjaga dan melayani Nadira dengan baik. Nadira mulai mencoba beberapa pakaian, tapi pikirannya terus melayang pada John. Ada sesuatu dalam cara John memanjakannya hari ini yang membuatnya merasa istimewa, meski ia tak tahu sampai kapan momen seperti ini akan bertahan.
Nadira berjalan pelan di antara deretan pakaian butik, mengamati koleksi baju sehari-hari yang tampak elegan. Namun, belum lama ia melihat-lihat, SPG yang semula menemaninya tiba-tiba meminta izin pergi ke toilet karena sakit perut. Nadira mengangguk mengerti dan melanjutkan kegiatannya sendiri, tidak menyadari bahwa Sasha baru saja memasuki butik bersama temannya, Della.
...🍁💦🍁...
To be continued
belum tau juga anak nadira laki atau perempuan.
Tinggal tunggu kehancuran si Beno..dan akan menjadi gembel
John yg skrg lbh kuat dan tanggung tidak mudah dihancurkan seperti dulu lagi beno....
sebentar lg jatuh miskin dan jd gembel dijalanan...
Lanjut thor......
Siap2 beno akan mengalami kehancuran dan kebusukan akan terbongkar...
Beno dan duo ulet bulu sandra dan sasa akan jatuh miskin dan jd gembel dijalanan selama ini menikmati harta warisan ibunya nadira...