Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Tragedi di Sekolah
Satu bulan berlalu, Hawa yang masih tinggal di mansion Harrison.
Hari yang pasti akan di ingat oleh Hawa saat di rumah sakit terasa panjang dan penuh tantangan bagi Hawa. Namun, semuanya berubah dalam sekejap ketika ia menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal.
"Ini aku Kak, Emma. Sekolah disekap oleh sekelompok pria bersenjata. Mereka mencari Emma Red Serpent. Aku bersembunyi di salah satu kelas, Kak."
Hawa merasa seluruh tubuhnya menegang. Napasnya tercekat, tapi pikirannya bergerak cepat. Dengan tangan gemetar, ia membalas pesan itu:
"Tunggu, Kakak akan datang. Jangan lakukan apapun, tetap di tempat yang aman."
Hawa segera menghubungi Harrison. Suaranya terdengar gemetar saat menceritakan situasi di sekolah Emma.
"Tuan Harrison, aku mendapat kabar buruk. Sekolah Emma sedang disekap oleh beberapa orang yang bersenjata. Mereka mencari Emma," kata Hawa panik.
Hening sejenak di ujung telepon sebelum suara Harrison terdengar penuh kemarahan. "Apa?! Bagaimana bisa?! Sekolah itu seharusnya memiliki pengamanan ketat!"
"Aku tidak tahu, Tuan, tapi yang jelas Emma dalam bahaya. Aku akan ke sana sekarang," kata Hawa, sudah bersiap bergegas keluar rumah sakit.
"Hawa, jangan bertindak gegabah. Aku akan segera ke sana. Tunggu aku," perintah Harrison dengan nada tegas.
Namun, Hawa tidak bisa menunggu. Kecemasan untuk Emma menguasai dirinya. Ia segera mengemudi menuju sekolah.
***
Di luar sekolah, suasana mencekam. Beberapa orang tua murid yang mendengar kabar ini berkumpul di sekitar gerbang, namun tidak ada yang berani mendekat. Hawa melihat sebuah mobil mewah berhenti, dan dari sana keluarlah Harrison bersama asistennya, Ares, serta beberapa pria berbadan kekar.
Harrison langsung menghampiri Hawa. "Kau benar-benar nekat, Hawa. Seharusnya kau menunggu!" suaranya penuh amarah, tapi ada kekhawatiran yang tersirat.
"Aku tidak bisa diam saja, Tuan. Emma membutuhkanku," jawab Hawa tegas.
Harrison terdiam, melihat keberanian yang terpancar dari mata Hawa. Ia menghela napas, lalu berkata, "Baiklah. Tapi tetap di belakang. Jangan membuatku menyesal membiarkanmu di sini."
Harrison memimpin timnya masuk dengan hati-hati. Setiap sudut diperiksa, setiap langkah dipertimbangkan. Hawa tetap mengikuti mereka, meskipun tubuhnya gemetar.
Di dalam, suasana semakin mencekam. Anak-anak dan guru-guru dikumpulkan di satu ruangan, diawasi oleh beberapa pria bersenjata. Namun, Emma tidak terlihat di sana, yang membuat Hawa sedikit lega sekaligus cemas.
"Ares, periksa ke sisi kiri gedung. Hawa, tetap di sini," perintah Harrison.
"Tidak, saku harus mencari Emma," jawab Hawa dengan tegas.
Harrison menatapnya tajam. "Hawa, ini bukan main-main. Kau bisa terluka."
"Jangan melarangku, Tuan. Aku tahu Emma dimana," balas Hawa, suaranya penuh tekad.
Melihat keteguhan Hawa, Harrison akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi tetap hati-hati."
Hawa bergerak cepat, mencari ke setiap ruangan. Ketika ia menemukan ruang kelas yang gelap di lantai dua, ia mendengar suara tangisan kecil. Dengan hati-hati, ia masuk dan menemukan Emma yang bersembunyi di bawah meja.
"Emma..." Hawa memanggil pelan.
Emma menoleh dan langsung berlari ke arahnya, memeluknya erat. "Kak Hawa... Aku takut sekali..."
Hawa membalas pelukan itu, mengusap lembut rambut Emma. "Kakak di sini sekarang. Kamu aman."
Namun, langkah kaki terdengar mendekat. Hawa segera menempatkan Emma di balik punggungnya, melindungi gadis kecil itu dengan tubuhnya sendiri.
Pintu terbuka, dan seorang pria bersenjata masuk. Wajahnya terlihat marah. "Siapa kau?!" bentaknya.
Hawa tidak menjawab, hanya berdiri tegak, meskipun tubuhnya gemetar. Pria itu melangkah mendekat, tetapi sebelum ia sempat melakukan apa-apa, Harrison muncul dari balik pintu, bersama Ares dan beberapa anak buahnya.
Tanpa banyak bicara, Ares melumpuhkan pria itu dengan pukulan cepat. Harrison segera menghampiri Emma, yang keluar dari balik punggung Hawa dan memeluk papanya erat.
"Papa..." suara Emma terdengar penuh tangis.
Harrison memeluk putrinya dengan erat, wajahnya penuh kelegaan. "Kamu aman sekarang," bisiknya.
Emma memandang Hawa dan berkata, "Papa... Kak Hawa yang melindungiku..."
Harrison menatap Hawa dengan mata yang penuh emosi. Dalam hatinya, ia merasa tersentuh. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk Emma. Begitu tulus dan berani...
***
Setelah kejadian penyelamatan yang mendebarkan di sekolah Emma, rombongan Harrison dan Hawa tiba kembali di mansion. Hawa masih memeluk Emma erat, berusaha menenangkan gadis kecil itu yang terus gemetar. Namun, di balik ketenangan yang berusaha ditampilkan, hati Hawa masih dipenuhi kegelisahan.
Di depan mansion, Harrison berdiri tegak, tatapannya tajam seperti singa yang terluka. Ia memandang ke arah Ares, asistennya yang setia, lalu berkata dengan suara rendah namun penuh ancaman, "Ares, cari tahu siapa dalang dari semua ini. Aku ingin jawabannya sebelum fajar."
Ares mengangguk tegas. "Aku sudah menduga, Tuan. Dari ciri-ciri mereka, ini kerjaannya Kris Shadow. Dia tidak pernah berhenti bermain api."
"Kris Shadow," gumam Harrison sambil mengepalkan tinjunya. "Beraninya dia mendekati putriku."
Setelah memastikan Emma tertidur dengan tenang di kamar, Hawa kembali ke ruang tamu, di mana Harrison dan Ares sedang berbicara serius. Ketika Hawa masuk, pembicaraan mereka terhenti sejenak.
"Aku ingin berterima kasih sekali lagi," kata Harrison sambil memandang Hawa. "Kau tidak hanya melindungi Emma, kau mempertaruhkan nyawamu untuknya. Aku berhutang besar padamu."
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya, Tuan. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padanya," jawab Hawa, suaranya tegas namun lembut.
Ares, yang sejak awal diam, kini angkat bicara. "Aku tidak pernah melihat seseorang yang begitu peduli pada Emma selain keluarga ini, Nona Hawa. Sikap Anda benar-benar tulus, dan itu membuat aku yakin bahwa Emma berada di tangan yang tepat."
Hawa tersenyum kecil, namun ia menunduk, merasa tak nyaman dengan pujian itu. "Aku hanya melakukan apa yang hatiku benar."
Harrison terdiam, menatap Hawa dengan pandangan yang sulit diartikan. Dalam hatinya, ia merenung. Tulus sekali. Dia tidak mencari keuntungan, hanya memikirkan Emma. Orang seperti dia jarang ada.
Malam semakin larut, namun Harrison tidak bisa beristirahat. Di ruang kerjanya, ia duduk sambil memandangi segelas bourbon di tangannya. Kris Shadow kembali menghantui keluarganya, dan ini tidak bisa dibiarkan.
"Ares," katanya tiba-tiba, memecah keheningan.
"Ya, Tuan?" Ares yang berdiri di dekat pintu langsung merapat.
"Kita tidak bisa hanya bertahan. Kris Shadow sudah mencari Emma. Aku ingin dia dilumpuhkan. Pastikan dia tidak pernah berani mendekati keluargaku lagi."
"Dimengerti, Tuan," jawab Ares dengan nada dingin. "Aku sudah menyiapkan beberapa orang untuk melacak persembunyian mereka. Kita hanya tinggal menunggu waktu."
Harrison mengangguk. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya tenang. Ia teringat wajah Hawa saat memeluk Emma di tengah bahaya. Begitu tulus, begitu melindungi, seolah Emma adalah bagian dari keluarganya sendiri.
"Dia berbeda, Ares," kata Harrison tiba-tiba.
"Maaf, Tuan?"
"Hawa," jawab Harrison. "Aku belum pernah melihat seseorang seperti dia. Dia mempertaruhkan segalanya untuk Emma, bahkan tanpa berpikir dua kali."
Ares tersenyum kecil. "Aku juga memperhatikannya, Tuan. Dia tidak hanya berani, tapi juga memiliki hati yang besar. Dia tulus, dan itu yang membuatnya istimewa."
Harrison menghela napas. "Aku tidak bisa membiarkan Kris Shadow menghancurkan apa yang sudah kulindungi. Emma adalah segalanya bagiku... dan sekarang, aku merasa Hawa juga bagian dari ini."
***
Di sudut lain kota, Kris Shadow sedang duduk di ruangan gelap yang penuh dengan layar pengawas. Senyumnya sinis saat ia memandangi rekaman dari sekolah Emma.
"Harrison benar-benar tidak berubah," gumamnya. "Dia selalu melindungi keluarganya seperti singa, tapi kali ini aku akan membuatnya jatuh."
Namun, Kris tidak menyadari bahwa Ares dan timnya sedang bergerak cepat menuju markasnya. Malam itu, perang diam-diam antara Harrison dan Kris Shadow dimulai, dengan Hawa yang tanpa sadar menjadi bagian penting dalam perlindungan keluarga Harrison.
***
Di mansion, Hawa duduk di tepi tempat tidur Emma, memperhatikan gadis kecil itu yang tidur dengan damai. Hatinya merasa lega, meskipun bayangan peristiwa tadi masih menghantuinya.
Ketika ia bangkit untuk pergi, Emma tiba-tiba membuka matanya. "Kak Hawa... jangan pergi," pintanya pelan.
Hawa tersenyum lembut dan mengusap kepala Emma. "Kakak tidak akan kemana-mana, Emma. Tidurlah. Kamu aman sekarang."
Emma memejamkan matanya lagi, dan Hawa merasa hatinya dipenuhi kehangatan.
Dari jauh, Harrison berdiri di pintu kamar, memperhatikan interaksi itu. Ia tersenyum kecil, sebuah senyuman yang jarang terlihat. Dalam hatinya, ia berbisik, Hawa... kau lebih dari sekadar pelindung untuk Emma. Kau adalah seseorang yang membawa ketenangan di tengah badai.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa buat like dan komentarnya ya, terima kasih.