Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Selanjutnya
"Begitu ya?" gumam Pak Bonadi sembari merenung dan menopang dagu.
"Apa mungkin ini sebuah kutukan yang harus di derita oleh penduduk disini karena melanggar sebuah undang-undang tak tertulis?" sambungnya.
"Bisa jadi pak. Tidak hanya laki-laki, bahkan wanita dan anak-anak pun menjadi korban atas kutukan mata ini," jawabku.
"Sedikit demi sedikit informasi yang kita dapatkan semakin banyak letnan. Apa yang akan kau rencanakan selanjutnya?" tanya Pak Juari.
"Kita akan tetap melanjutkan perjalanan dimalam hari dan tidur di siang hari. Karena kita sudah tahu bahwa zombie-zombie itu tidak akan menyerang disaat matahari masih bersinar. Kalau kalian tidak bisa tidur waktu matahari terik, kita akan tidur dibawah pohon yang teduh diwaktu pagi atau sore hari" perintah Pak Bonadi. Kami serentak mengiyakan.
"Oiya ngomong-ngomong Kak Evelyn dimana ya?" tanya Vivi. Aku yang juga tersadar akan ketidakhadirannya ikut memandangi ke sekeliling. Tetapi terlihat jelas diraut wajah Pak Bonadi dan yang lainnya terpampang raut wajah dengan kesedihan yang mendalam.
"Mari aku antarkan dia dimana sekarang," ucap Pak Bonadi sembari berjalan menuju hutan.
Setelah beberapa langkah kami berjalan, aku melihat sebuah gundukan tanah dengan sebuah kayu menancap diatasnya. Perasaanku semakin tidak enak. Setelah sampai tepat didepan gundukan tanah itu, Pak Bonadi pun berbicara.
"Dia telah gugur menjadi seorang Srikandi yang terhormat," ucap Pak Bonadi sembari tertunduk lesu.
"M-maksud bapak?" tanya Vivi dengan mulut yang terbata-bata dan bulir bening terpancar dimatanya. Pak Bonadi hanya menunduk pelan.
Vivi pun mulai menangis didepan makam Kak Evelyn. Aku tidak menyangka dia dengan sifat yang judes dan dingin itu gugur secepat ini. Aku bertanya kepada Kak Willie apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Dia diserang secara beruntun oleh anjing-anjing zombie itu kemarin," jawab Kak Willie lirih.
"Dia sangat ahli dalam memanah. Dia bahkan mampu melindungi kami bertiga sekaligus dengan panahnya,"
################################
Saat itu, disaat tim penyerang dan tim pendukung bersembunyi, banyak sekali anjing-anjing zombie yang berdatangan. Kami hampir kewalahan menghadapinya.
"Sial! Mereka semakin banyak aja ya pak? Peluruku makin menipis," gerutu Pak Juari.
"Sama pak. Kita tidak punya pilihan lagi selain memakai senjata jarak dekat untuk menghadapi cecunguk ini," sahut Pak Bonadi.
Disela percakapan itu, akhirnya peluru senapan Pak Juari sudah mencapai batasnya.
"Aku sudah selesai," ucap Pak Juari sembari mengokang senapannya yang sudah kosong itu.
"Cepat sekali pak? Kalo sudah selesai segera cebok," sahut Pak Bonadi sembari tertawa. Aku yang mengambil anak-anak panah Evelyn merasa kesal dibuatnya.
"Malah pada bercanda si kocak. Lihat posisi sekarang kita sedang ngapain?" teriakku pada kedua bapak-bapak tua itu.
"Dibawa santai aja, Wil. Kalau kita stres nanti kita malah tertekan ngelawan anjing-anjing itu," jawab Pak Bonadi. Aku semakin kesal dibuatnya.
"Ck serah kalian lah," aku meninggalkan mereka berdua dan segera menghampiri Evelyn untuk menyerahkan anak-anak panah yang menancap pada mayat anjing-anjing itu.
Pak Bonadi pun menghalau serangan para anjing dengan menggunakan batang kayu dengan ukuran sedang, sedangkan Pak Juari menyerang menggunakan senapan tanpa peluru itu dengan cara dipukulkan kearah mereka. Dan yah, tugasku saat ini hanyalah mengambil anak panah yang dilesatkan oleh Evelyn, tetapi aku tidak sakit hati olehnya. Melainkan aku terkagum dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa.
Dengan tubuh yang ramping dan tinggi hanya mencapai pundakku, dia memiliki postur tubuh yang ideal sebagai seorang pemanah. Aku pun dengan sigap langsung mengambil semua anak panah yang dia lesatkan.
"Hebat juga lu, Lyn. Prasangka gue ke elu salah selama ini," pujiku.
"Fokus sama tugas lu saat ini, Wil!" sahutnya judes.
"Gak asik lu, Lyn" jawabku kesal. Tetapi aku mengerti kalau saat ini dia masih membutuhkan fokus yang tajam agar anak panahnya tidak ada yang meleset.
Disaat anak panahnya dilepas, aku langsung berlari untuk mengambilnya. Begitupun seterusnya. Dia bahkan mampu untuk melindungi kami bertiga yang sempat kewalahan. Aku juga harus mengembalikan anak panah ke Evelyn secepat mungkin.
"Kita merapat saja, bisa bahaya kalau Evelyn terkena serangan langsung oleh anjing-anjing itu," perintah Pak Bonadi.
Ketika kami akan merapatkan posisi kami dan saling melindungi satu sama lain, Evelyn dengan tegas menolaknya.
"Tetap begini aja, Pak! Aku gabisa fokus kalo dikerubuti banyak orang," ucapnya sembari masih fokus untuk membidik anjing-anjing itu. Kami pun menurutinya.
Disaat aku masih sibuk mengumpulkan kembali anak panah Evelyn, tak kusangka dia kehabisan anak panah. Dia langsung berlari kearah Pak Bonadi dan Pak Juari untuk mencari perlindungan. Tetapi naas, dia tiba-tiba diterjang oleh seekor anjing zombie yang muncul diantara tebu-tebu yang lebat itu.
Dengan tinggi kira-kira hanya 156 cm itu, dia langsung tumbang olehnya. Aku pun langsung bergegas untuk membantunya. Tetapi seekor anjing menggigit kaki kiriku. Aku berusaha untuk melepaskan gigitanku terlebih dahulu. Tetapi saat itu juga Evelyn diserbu oleh beberapa ekor anjing yang mulai berdatangan.
Fokus yang terpecah membuat kami bingung harus melakukan apa. Pak Bonadi dan Pak Juari yang hendak menyelamatkan Evelyn juga masih diganggu oleh banyaknya anjing zombie yang berdatangan. Aku yang juga menjadi pincang karena gigitan anjing itu tidak sempat untuk menolong Evelyn tepat waktu.
###########################
"Dia dicabik-cabik oleh anjing zombie sampai isi perutnya keluar. Saat itu gue cuman bisa berteriak dan berusaha untuk menghampirinya walau kaki gue sempet pincang dan jatuh beberapa kali," isak Kak Willie. Aku hanya terdiam mendengar ceritanya.
"Saat itu, kami memanggil kalian yang bersembunyi untuk membantu menghalau para anjing itu. Tetapi kalian tidak keluar dan cuman Ayu saja yang keluar membantu. Aku pikir kalian juga diserang oleh mereka," sambung Pak Bonadi.
Aku ingat saat itu aku mencoba untuk menyelamatkan Vivi yang berteriak. Tetapi pada saat itu juga, disisi lain, Kak Evelyn juga dalam bahaya. Aku tidak tahu harus berkata apa menjawab pernyataan Pak Bonadi itu. Aku hanya tertunduk malu.
"Saat itu aku diserang sama anjing zombie, Pak. Makanya Andra langsung lari kearahku untuk membantuku," sahut Vivi yang masih sesenggukan sembari terduduk didepan makam Kak Evelyn.
"Ya! Aku paham. Kita semua kemarin dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Dan yang paling cocok untuk disalahkan adalah aku," sesal Pak Bonadi.
"Kalau saja kita tetap bersama dan tidak berpencar, kita mungkin saja bisa selamat bersama-sama," sambungnya.
"Tidak, Pak. Anda sudah mengatur rencana sedemikian rupa. Aku sangat yakin sebelumnya bapak sudah memikirkan tentang konsekuensi berulang kali dari beberapa rencana yang ada di kepala bapak. Dan akhirnya bapak menyimpulkan bahwa rencana ini yang terbaik untuk dilakukan yaitu dengan berpencar," jawabku menenangkan.
"Kami masih percaya kepada anda bahwa anda masih layak untuk kami akui sebagai pemimpin tim ini. Kami masih ingin bapak memimpin pasukan ini untuk terus maju dan selamat bersama-sama," sambungku. Tiba-tiba bulir bening mulai menetes mengalir ke pipinya yang sudah keriput itu.
"Tolong beri saya kesempatan lagi untuk memimpin kalian sekali lagi. Saya janji, saya akan membawa tim ini dengan selamat," ucap Pak Bonadi. Kami pun serentak mengiyakan ucapannya. Tak lupa kami mendoakan arwah Kak Evelyn agar dia tenang disana.
"Vivi pergi dulu ya, Kak Lyn. Kakak yang tenang disana. Jangan mikirin kami lagi. Kami pasti bisa pulang dengan selamat. Selamat tinggal, Kakak," ucap Vivi diiringi angin yang berhembus pelan membelai kulit kami. Layaknya Kak Evelyn sedang berbicara kepada kami,
"kalian yang semangat yaa. Maaf aku belum terus bersama dengan kalian,"