Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Anson mengikuti bus yang dinaiki Aerin. Bus tersebut berhenti di kawasan rumah Aerin. Karena tidak mau ketahuan mengikuti wanita itu, Anson memutuskan memarkir mobilnya di halaman kosong seberang jalan lalu mengikuti Aerin lagi.
Sepanjang perjalanan memasuki gang rumahnya, kepala Aerin tertunduk. Kini gadis itu sudah berhenti di depan gerbang rumahnya. Tapi tidak masuk. Hanya berdiri di sana dengan tatapan kosong. Gerbang itu sudah di kunci, seperti biasa.
Mama dan papanya sengaja menyuruh satpam mengunci gerbang jam sepuluh malam. Kalau Aerin pulang telat, tentu saja ia tidak bisa masuk. Satpam rumahnya pun meski masih bangun tidak ada yang berani membuka, karena sudah diperingatkan. Aerin menghembuskan napas panjang, kemudian duduk bersandar di depan gerbang dan menutup mata. Ia sangat lelah hari ini.
Gadis itu pun tertidur.
"Dia tidur?" gumam Anson terheran-heran. Pria itu mengamati Aerin dari seberang.
"Kenapa tidak masuk saja dan tidur di kamarnya?" katanya lagi dengan nada suara pelan. Masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Aerin.
"Bagaimana kalau ada orang jahat, gadis bodoh." pria itu terus menggurutu. Tanpa sadar ia mengkhawatirkan Aerin.
"Mama, lihat kakak itu." suara kencang seorang bocah kecil mengalihkan perhatian Anson. Bocah laki-laki tersebut hendak mendekat ke Aerin tapi cepat-cepat dilarang oleh mamanya.
"Jangan ke sana sayang!
"Kenapa? Aku mau bangunin kakak itu. Mau bilang kakak itu masuk aja ke dalam rumah. Nggak baik di luar mama, kalau ada ora."
"Nggak usah. Emang kamu nggak liat gerbangnya dikunci?"
Dikunci?
Anson ikut melihat ke arah gerbang. Benar, gerbangnya dikunci
"Pasti kakak itu punya kunci gerbangnya mama." bocah itu terus bersikeras mau membangunkan Aerin.
"Sudah mama bilang nggak usah. Kakak itu nggak bisa masuk ke rumahnya karena pulangnya telat. Tetangga-tetangga kita cerita, kakak itu nggak boleh masuk rumah kalau pulangnya di atas jam sepuluh malam. Orangtua kakak itu nggak ijinin. Kamu nggak usah gangguin ya. Ayo pulang." lalu ibu-ibu itu menarik bocah tersebut meninggalkan lokasi rumah Aerin.
Diseberang sana otak Anson makin penuh.
Apa-apaan ini? Pulang jam sepuluh malam dianggap sangat telat? Jaman apa ini? Aerin sudah dewasa, pekerjaannya adalah seorang dokter yang pastinya sangat sibuk. Kadang ada shift malam. Harusnya orangtua gadis itu memaklumi, bukan malah menerapkan hukuman aneh begitu.
Anson tidak tahan lagi. Kalau begini, lebih baik dia bawa saja Aerin ke tempat tinggalnya. Biar gadis itu beristirahat dengan tenang di sana. Pria itu mengambil ancang-ancang untuk berdiri dan mendekati ke Aerin. Namun langkahnya kembali terhenti karena ada mobil yang berhenti di depan gerbang rumah Aerin.
Seorang wanita tua turun dari mobil. Penampilan elegan, gaya angkuh dengan garis wajah tegas itu adalah mama Aerin. Anson kenal, karena dulu ia sering main ke rumah gadis itu. Tentu saja karena kakak Aerin adalah sahabat baiknya.
"Bangunkan dia." perintah mama Aerin pada sopirnya.
"Nona, nona Aerin. Nona" sopir itu menggoyang-goyang kuat badan Aerin. Anson yang melihat dari jauh merasa terganggu. Memangnya tidak bisa lebih lembut sedikit? Kasar sekali. Mama gadis itu juga malah santai saja putrinya diperlakukan begitu sama sopir.
Aerin membuka matanya. Ia sempat kaget. Dia pikir ada apa, kebakaran atau apa, ternyata sopir mamanya yang membangunkannya. Gadis itu mendongak ke sang mama yang berdiri sambil memeluk dada. Wanita tua itu sangat angkuh, bahkan pada putrinya sendiri. Aerin mengucek mata kirinya lalu berdiri sambil menguap lebar.
Dari jauh Anson tersenyum melihat gadis itu. Ia teringat masa-masa gadis itu masih remaja. Sering sekali menguap. Ah, benar. Anson ingat Aerin memang bisa tidur di mana saja.
Plaaakkk !!!
Bunyi itu sangat kuat. Aerin kaget, tapi Anson jauh lebih kaget lagi.
"Itu hukuman karena kamu berani membangkang sama orangtua." kata mama Aerin. Gadis itu berusaha keras menahan tangis. Dibandingkan rasa sakit akibat tamparan, yang jauh lebih sakit adalah hatinya. Tapi ia tidak mau keliatan lemah didepan mamanya.
"Aku menyuruhmu menemui calon tunanganmu, bukan bersikap kasar padanya." Nada dingin sang mama terasa sampai ke ulu hati.
Aerin mendengus.
"Pria itu melapor ke mama?"
"Kau pikir aku tidak mengutus orang untuk mengamati kalian?" Aerin tertawa sumbang. Benar juga. Kenapa ia tidak kepikiran. Percaya diri sekali dirinya langsung menuduh Shawn. Padahal itu ulah mamanya sendiri.
"Besok minta maaf padanya. Pertunangan kalian tidak mungkin batal. Kami semua sudah sepakat."
Raut wajah Aerin berubah. Cukup sudah kesabarannya. Ia tidak mau lagi hidupnya di atur-atur.
"Aku tidak mau. Aku berhak memutuskan pasangan hidupku sendiri, mama dan papa tidak bisa memaksaku!" tolaknya tegas.
"Anak sial kamu!" mamanya melempari wajahnya dengan tas tangan milik wanita itu.
"Aku dan papa kamu masih baik tidak mengusirmu dari rumah. Dari dulu kamu selalu berbuat nakal, membakar sekolah. Bikin malu keluarga. Bahkan gara-gara kamu, kakakmu meninggal. Kami tetap mengijinkan kamu tinggal di rumah dan memberikan fasilitas terbaik. Sekarang berani-beraninya kamu membangkang, anak tidak tahu diri kamu!" tukas mamanya.
Anson diseberang sana tertegun. Ada ada apa dengan keluarga itu? Apa sebenarnya yang sudah Aerin lewati bertahun-tahun ini? Pria itu mengamati Aerin dari tempatnya. Gadis itu tersenyum kecut menatap mamanya. Ada rasa kecewa yang Anson lihat dari wajahnya. Gadis itu bicara kemudian.
"Aku memang bukan anak baik seperti yang papa dan mama harapkan. Maafkan aku karena tidak bisa membuat kalian bangga." suara Aerin bergetar, tapi tetap berusaha keras agar dirinya tidak menangis.
"Maafkan aku karena kakak ..." Aerin tidak sanggup melanjutkan. Hatinya sakit sekali tiap kali mengingat sang kakak. Perasaan bersalah kembali memenuhi hatinya. Lutut Aerin lemas, tapi ia harus tetap kuat. Ia harus pergi sekarang, setidaknya menghindari wanita yang ia panggil mama itu.
"Ma, aku butuh waktu sendiri. Aku pergi dulu." katanya kemudian.
"Dengar, kalau kau pergi sekarang, lebih baik jangan kembali lagi. Aku muak melihat anak tidak berguna sepertimu setiap hari." balas mamanya dingin. Sikapnya sangat dingin, Aerin merasa mereka sangat asing. Mamanya tidak seperti mama kandungnya. Mereka sudah seperti orang asing baginya. Keduanya orangtuanya terlalu dingin. Tidak pernah mempedulikan perasaannya.
Sementara itu Anson yang melihat perlakuan mama Aerin kejauhan mengepal tangannya kuat-kuat. Ia merasa marah.