NovelToon NovelToon
LOVED THE OSIS CHIEF

LOVED THE OSIS CHIEF

Status: tamat
Genre:Tamat / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Banggultom Gultom

Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?

Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Ternyata hari sudah berganti, pagi itu terlihat cerah, dengan sinar matahari yang menyinari kamar Nadia , Nadia terbangun .

Nadia selalu berdoa agar hari ini Nadia dapat memberikan hadiah ini kepada Steven sebagai ucapan permintaan maaf nya.

“Nadia, jangan lupa bekalmu!” teriak Dewi, ibunya, dari dapur sambil menyodorkan kotak makan berwarna merah muda.

“Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Nadia sambil tersenyum kecil, lalu meraih kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Nadia duduk di kursi belakang motor ibunya. Tangannya memeluk erat tas yang berisi hadiah kecil berwarna hijau itu, untuk ketua OSIS yang selalu terlihat tenang, tapi misterius.

Matanya sesekali melirik kotak hijau itu, berharap apa yang dilakukannya bisa memperbaiki kesalahan pada waktu yang yang lalu. Namun, pikirannya terus dipenuhi rasa cemas. Bagaimana jika Steven tidak menerimanya? Bagaimana jika dia malah terlihat konyol?

Motor berhenti di depan gerbang sekolah. Deretan siswa sudah mulai memasuki halaman sekolah, sebagian bercanda dengan teman-temannya, sebagian lagi sibuk dengan buku dan ponsel mereka.

“Jangan lupa berdoa, Nak. Kamu pasti bisa melewati hari ini,” ucap ibunya lembut sambil menepuk pundaknya.

“Iya, Bu,” jawab Nadia singkat.

Ketika ibunya pergi, Nadia berdiri sejenak di depan gerbang, memandangi bangunan sekolah yang sudah tak asing lagi baginya. Dimana sekolah itu adalah tempat paling buruk menurut nya karena Cici si julid .Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Ada sesuatu yang berat di dadanya, tapi dia tak tahu pasti apa itu. Dengan tarikan napas panjang, Nadia melangkahkan kakinya masuk ke sekolah, berharap hari ini berjalan lebih baik.

Nadia melangkah dengan hati-hati melewati koridor sekolah, sambil memeluk erat tasnya. Kelas-kelas sudah mulai ramai, dan suara langkah kaki bercampur dengan obrolan siswa terdengar di mana-mana. Nadia mempercepat langkahnya, berusaha menghindari tatapan siapa pun, terutama Cici dan gengnya. Namun, pikirannya tetap terpaku pada satu tujuan: memberikan hadiah itu kepada Steven.

Di aula sekolah, Steven berdiri di dekat papan pengumuman. Dengan seragam rapi dan sikap tenangnya, dia terlihat berbicara dengan beberapa siswa mengenai kegiatan OSIS. Sosoknya begitu mencolok, membuat Nadia semakin gugup.

“Ayo, Nadia. Kamu pasti bisa,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia melangkah mendekati Steven. Setelah semua siswa pergi, hanya tinggal Steven yang berdiri di sana, memeriksa beberapa dokumen. Ini adalah kesempatan yang tepat.

“Ka-kak Steven,” panggil Nadia pelan, hampir berbisik.

Steven mengangkat kepalanya, menatap Nadia dengan tatapan datar, namun tetap penuh perhatian. “Ada apa?” tanyanya singkat.

Nadia merasa jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Dia membuka tasnya dengan perlahan, lalu mengeluarkan kotak hijau itu. “Aku... Aku ingin memberikan ini, Kak. Sebagai permintaan maaf atas kejadian kemarin,” ucapnya dengan suara pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Steven.

Steven menatap kotak hijau itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Nadia. “Permintaan maaf, ya?” tanyanya, sedikit mengecek ekspresi di wajah Nadia.

Nadia mengangguk cepat, takut Steven menolak. “Iya, Kak. Aku tahu aku salah waktu itu, mengigit tangan Kaka, dan aku benar-benar ingin memperbaikinya.”

Hah..? Kau ingin memperbaiki tangan ku? Ucap Steven dan tertawa bahagia . Nadia yang melihat senyum Steven "ya tuhan ciptaan mu tampan sekali " ucapnya dalam hatinya dengan mata yang berbunga-bunga.

Steven akhirnya meraih kotak itu dengan tangan kirinya. “Baiklah, aku terima,” ucapnya singkat, tapi ada nada lembut dalam suaranya. Dia membuka kotak itu sedikit, cukup untuk melihat isinya sebuah gantungan kunci gitar kecil yang terbuat dari kayu, dengan ukiran namanya di sisi belakangnya.

Steven mengamati benda itu sejenak, lalu menutup kotaknya kembali. “Ini buatanmu sendiri?” tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih santai.

Nadia mengangguk pelan, mencoba membaca ekspresi Steven, tapi wajahnya tetap tenang. “Iya, Kak. Aku membuatnya semalam.”

“Baik. Terima kasih,” ucap Steven sambil memasukkan kotak itu ke saku seragamnya.

Steven tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan sebelum kembali sibuk dengan dokumennya. Nadia melangkah pergi, merasa lega sekaligus bingung. Tidak ada senyuman atau tanda bahwa Steven terkesan, tapi dia menerima hadiah itu.

Sepanjang perjalanan kembali ke kelas, Nadia terus memikirkan percakapan singkat itu. “Mungkin dia memang tidak mudah terbuka,” gumamnya pelan, berusaha menghibur dirinya sendiri.

Namun, dia tidak tahu bahwa setelah dia pergi, Steven memandangi kotak itu lagi, membuka dan mengamati gantungan kunci kayu itu dengan lebih detail. Sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya, sebelum dia menyimpannya dengan hati-hati di dalam tasnya.

Bagi Steven, itu mungkin hanya hadiah kecil, tapi dia bisa merasakan ketulusan di dalamnya. Namun, dia tetap memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Baginya, Nadia adalah seseorang yang menarik perhatian, tapi tidak mudah untuk didekati , menurutnya.

Benak Nadia yang tadinya berpikir Steven tidak akan menerima hadiahnya ternyata dia salah, Steven menerima hadiah permintaan maaf itu.

Lonceng sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Di dalam kelas, suasana terasa lebih lengang. Sebagian siswa sibuk berbicara dengan teman-temannya, sementara yang lain tenggelam dalam layar ponsel.

Tiba-tiba, suara langkah sepatu tinggi terdengar mendekat. Cici muncul di depan pintu kelas, dengan senyum menyeringai yang sudah Nadia kenal baik.

“Eh, denger-denger Ibu Desi nggak masuk hari ini,” ucap Cici dengan nada riang, seperti seseorang yang baru saja menerima kabar baik.

Imel dan Dina, sahabat setianya, langsung melirik ke arah Nadia yang duduk di pojok kelas. Nadia sedang memandangi buku di hadapannya, tapi pikirannya melayang. Ia masih teringat senyuman kecil Steven saat menerima hadiah darinya pagi tadi. Dia menerimanya. Dia benar-benar menerimanya.

“Waktunya bersenang-senang,” bisik Cici sambil mengangguk ke arah Nadia.

Nadia sama sekali tidak menyadari apa yang akan terjadi. Ketika ia mendongak, Imel dan Dina sudah berdiri di depan mejanya. Senyuman sinis di wajah mereka membuat Nadia segera tahu: hari ini akan menjadi salah satu hari buruknya lagi.

“Oi, wanita lugu yang sok imut,” ucap Imel sambil mengetuk meja Nadia.

Nadia mencoba mengabaikannya, berpura-pura sibuk menulis sesuatu di bukunya.

“Jangan pura-pura nggak dengar, deh. Berdiri sekarang,” ujar Dina, suaranya lebih tegas.

Nadia tetap diam, berharap mereka pergi jika ia tidak menanggapi. Tapi harapannya sia-sia. Imel dan Dina langsung menarik tangannya, memaksanya berdiri.

“Tarik ke sini, gais,” perintah Cici sambil melipat tangan di dadanya.

Nadia terpaksa berdiri. Dengan kasar, Imel menarik rambutnya, membuat siswa-siswa lain di kelas mulai memperhatikan. Tapi seperti biasa, tidak ada yang berani bergerak. Semua hanya menunduk atau berpura-pura sibuk, takut ikut terlibat.

“Apa maumu, Cici?” tanya Nadia dengan suara pelan, hampir bergetar.

Cici mendekat, senyumnya makin lebar. “Kemarin kamu sempat berani tampar aku, ya? Sayangnya nggak ada yang lihat.”

Plak!

Tamparan itu datang begitu cepat, meninggalkan rasa panas di pipi Nadia. Ia memegang pipinya, air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia tetap diam. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan.

Cici tertawa kecil, puas melihat wajah Nadia yang memerah. “Itu baru permulaan. Ayo, kita ajak dia ke tempat biasa.”

Imel dan Dina langsung menyeret Nadia keluar dari kelas. Tidak ada yang berani menghentikan, bahkan guru yang lewat di koridor pun hanya memalingkan wajah.

Mereka membawanya ke kamar mandi sekolah, tempat yang sering menjadi “markas” geng Cici untuk melakukan aksi seperti ini. Di sana, Nadia didorong hingga tersungkur ke lantai.

“Kamu tahu nggak, Nad? Orang sepertimu itu nggak pantas ada di sini,” ucap Dina sambil melipat tangannya.

Nadia hanya menunduk, tangannya gemetar saat mencoba bangkit.

“Kamu tahu kenapa nggak ada yang mau bantuin kamu? Karena semua orang tahu siapa aku,” ujar Cici sambil mendekati Nadia. Ia menarik dagu Nadia dengan kasar. “Jadi jangan pernah mimpi kamu bisa hidup tenang di sini.”

Setelah puas, mereka meninggalkan Nadia sendirian di kamar mandi. Nadia terduduk di lantai dingin itu, memeluk lututnya. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya mengalir deras. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa aku memang pantas diperlakukan seperti ini?

Setelah cukup lama, Nadia bangkit perlahan. Ia mencuci wajahnya di wastafel, membersihkan sisa air mata dan rasa sakit yang masih terasa di pipinya. Rambutnya yang acak-acakan ia rapikan semampunya.

Ketika bel pulang berbunyi, Nadia berjalan kembali ke kelas untuk mengambil tasnya. Teman-teman sekelasnya sudah pergi, meninggalkan kelas yang kosong. Nadia menghela napas panjang sebelum melangkah keluar sekolah.

Sepanjang perjalanan pulang, rasa sakit di pipinya masih terasa. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang lain. Ia memikirkan Steven senyumnya, cara ia menerima hadiah itu. Mungkin, semuanya akan membaik. Aku hanya harus bertahan sedikit lebih lama.

Sementara itu, di tempat lain, Steven duduk di ruang OSIS. Ia mengambil gantungan kunci kayu yang diberikan Nadia tadi pagi. Jarinya menyentuh ukiran namanya di sisi belakang gantungan itu. Senyum tipis terukir di wajahnya.

Gadis itu... menarik perhatian.

Namun, Steven hanya menyimpan gantungan itu di dalam tasnya. Ia tahu, Nadia adalah seseorang yang menarik, tapi ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk mendekat.

Beda dengan hari yang lalu Nadia yang selalu di jemput ibunya, hari ini , dia sengaja tidak melewati jalan dimana motor melintasi sekolah itu. Nadia melewati jalan tikus agar cepat sampai di rumahnya.

Nadia telah Sampai dirumahnya dengan wajah yang lesu dan sakit di pipinya.Tidur pulas menjadi kebiasaan baginya untuk mengurangi rasa sakit tamparan itu.

1
michiie
cici apaan? cacing kali? kasian woi nadia/Cry/
yanah~
mampir kak 🤗
michiie
kasian nadianya/Sob/
Akumanusiabaikhati
Jangan lupa yah min, singgah juga di cerita baru ku "MY CHOSEN FAMILY"
Akumanusiabaikhati
Lanjut min
semangat
Amira Octavia
ini sekolah ada perundingan yg parah kok g ada tindakan apa2...walau nadia banyak luka ditangan atau wajahnya masak ibunya biasa aja kok jadi sebel sendiri q maaf kk... pulang sekolah sapa ibu masuk kamar tidur pagi lagi hmmm maaf kk
Amira Octavia
jahat banget cici .. apa kau anggap nadia itu binatang... masak g ada yg tau semua kejadian yg menimpa nadia
Dian
Semangat thor, ayo saling dukung mampir jg ke karya aku “two times one love”
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!