NovelToon NovelToon
The Unfinished Story

The Unfinished Story

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / CEO / Time Travel / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Firaslfn

Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.

Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.

Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 : Kehilangan Harapan

Elyana menghela napas panjang ketika ia melihat keluar jendela, menatap ke langit Jakarta yang kelabu. Seminggu sudah berlalu sejak perpisahan itu, dan meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah membuat keputusan yang benar, rasa sepi itu tetap menyelinap ke dalam setiap sudut hatinya. Malam-malam tanpa suara langkah kaki Davin di rumah itu terasa seperti ruang kosong yang terus mengingatkan pada kehilangan.

Hari-hari di kantor pun tidak jauh berbeda. Elyana terus mengerjakan proyek-proyeknya, berusaha menyibukkan diri agar tidak terlarut dalam kesedihan. Namun, setiap kali ia melangkah ke ruang rapat atau melihat ke kursi kosong di sisi lain meja, ia merasakan keheningan yang menekan dadanya. Ia tahu, di balik kerja kerasnya, ada ketidakberdayaan yang tak bisa disangkal.

Suatu siang, saat tengah istirahat, Elyana duduk di kafe kecil dekat kantor. Suasana di sana ramai, penuh dengan suara tawa dan obrolan ringan, tetapi bagi Elyana, semuanya terdengar seperti kebisingan kosong. Ia menyesap kopi hitamnya yang pahit, merenung tentang bagaimana hidupnya bisa berubah begitu drastis.

Tiba-tiba, suara lembut memanggil namanya, "Elyana?"

Ia menoleh dan melihat Satria, seorang teman lama yang pernah menjadi rekan kerjanya sebelum ia pindah ke departemen lain. Pria itu tersenyum ramah, dan meskipun senyumannya tidak bisa menghapus kesedihan di mata Elyana, itu seperti angin segar di tengah badai.

"Satria," jawab Elyana, mencoba tersenyum. "Sudah lama kita tidak bertemu."

Satria duduk di kursi di seberangnya, memperhatikan Elyana dengan penuh perhatian. "Kau terlihat tidak seperti biasanya. Ada apa, El?"

Elyana menatap sejenak ke dalam mata Satria, mencoba mencari keberanian untuk berbagi. Namun, saat itu juga, hatinya tertutup rapat, menolak untuk berbagi rasa sakitnya. "Hanya lelah, mungkin," jawabnya singkat, memalingkan wajah.

Satria mengerutkan kening. "Kau tahu, aku selalu ada kalau kau ingin bicara. Jangan menahan semuanya sendiri."

Kata-kata Satria menyentuh hati Elyana, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memulai. Rasa takutnya untuk menjadi rapuh di hadapan orang lain membuatnya menahan diri. Ia ingin menangis, tetapi air matanya telah mengering, meninggalkan perasaan hampa yang lebih dalam dari sebelumnya.

Satria menatapnya lama, lalu akhirnya berkata, "El, terkadang kita harus menerima kenyataan sebelum bisa bergerak maju. Aku tahu itu sulit, tapi percayalah, ada harapan di luar sana. Mungkin, kau hanya perlu memberinya kesempatan."

Elyana mengangguk perlahan, berusaha mencerna kata-kata itu. Mungkin, Satria benar—mungkin ia sudah terlalu lama terjebak dalam masa lalu dan ketakutannya akan masa depan.

 

Malam itu, Elyana duduk di balkon apartemennya, memandang ke jalanan Jakarta yang sibuk di bawah. Lampu-lampu kota bersinar, menciptakan ribuan cahaya kecil yang bergerak cepat. Ia ingin percaya bahwa ada harapan di luar sana, bahwa hidupnya masih memiliki arti meskipun semua yang telah ia lalui.

Tiba-tiba, teleponnya berbunyi, mengganggu keheningan malam. Ia meraih ponsel dan melihat nama yang muncul di layar: Davin. Jantungnya berdetak kencang, seolah suara itu telah menghidupkan kembali kenangan yang hampir ia lupakan.

Dengan ragu, Elyana menjawab, "Halo?"

Suara Davin terdengar, serius namun lembut, "Elyana, aku tahu kita sudah berpisah, tapi aku hanya ingin tahu... apakah kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu mengguncangnya, membuat hatinya bergetar. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Aku... aku sedang mencoba."

Ada jeda lama di sisi lain, seakan Davin sedang mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli, El. Dan jika kau butuh sesuatu, aku di sini."

Kata-kata itu membuat Elyana merasa cemas dan bingung. Ia merasakan campuran antara rasa marah, kerinduan, dan kebingungan. Harapan yang mulai ia rasakan mendadak menyentak, membawanya kembali ke saat-saat di mana ia masih menganggap Davin sebagai sosok yang tidak bisa dipisahkan dari hidupnya. Namun, sekarang, segalanya berbeda, dan ia tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk menerima kenyataan itu.

"Aku harus pergi, Davin," ujarnya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih sudah menelepon."

Sebelum Davin sempat menjawab, Elyana memutuskan panggilan itu. Ia menatap ke luar, merasakan angin malam yang dingin menerpa wajahnya. Ia tahu bahwa untuk menemukan kembali dirinya, ia harus melepaskan apa yang telah membuatnya terjebak di tempat ini. Dan mungkin, hanya mungkin, ada harapan di sana, di luar sana, menunggu untuk ditemukan.

 

Keesokan harinya, Elyana merasa kelelahan, seolah semalamnya hanya sebuah mimpi yang membangunkannya dengan rasa cemas. Namun, kenyataan menamparnya kembali ketika ia masuk ke kantor dan mendapati meja kerja yang sepi dan dingin. Pekerjaan menanti, seperti biasa, menuntut perhatian dan energi yang semakin tipis. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tetap fokus, meskipun pikirannya terus bergulir ke arah Davin dan percakapan mereka yang menyisakan rasa yang sulit diungkapkan.

Saat makan siang, Satria menghampirinya di meja makan, menempatkan sepotong kue kecil di depannya. "Ini, untuk membuatmu sedikit lebih ceria," katanya dengan senyum penuh arti. Elyana menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil, walaupun rasa sakitnya masih membekas.

"Terima kasih, Satria," ucapnya dengan suara lembut. Ia menyadari bahwa dalam kebisuan dan kesepian, perhatian sederhana seperti itu memberikan sedikit kenyamanan.

Di sisi lain kota, Davin duduk di ruang kantornya, menatap layar komputer tanpa benar-benar melihatnya. Suasana di ruang itu sunyi, hanya terdengar ketikan keyboard dan desahan pelan dari mulutnya. Panggilan telepon semalam masih bergema di benaknya, dan kata-kata Elyana yang terputus di akhir percakapan membuatnya bertanya-tanya. Apakah dia benar-benar peduli? Ataukah semuanya sudah terlambat?

Davin, meskipun dikenal sebagai seorang pemimpin yang sukses dan cerdas, sering merasa terjebak dalam dunia yang ia buat sendiri—dunia yang penuh tekanan, harapan yang tak terwujud, dan keraguan yang tak kunjung hilang. Ia mengingat hari-hari awal pernikahan mereka, ketika Elyana masih tersenyum lebar dan berbagi mimpinya dengan antusias. Namun, waktu dan jarak emosional telah menghapus kebahagiaan itu, meninggalkan ruang kosong yang kini terasa seperti lubang hitam di jantungnya.

 

Hari-hari berlalu, dan rutinitas Elyana tetap sama, meskipun ada perubahan kecil dalam dirinya. Kadang-kadang, ia melihat Satria di kantor, dan percakapan mereka seakan membawanya kembali ke masa-masa di mana ia merasa dihargai tanpa syarat. Namun, di malam hari, keheningan kembali menghampirinya, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Apakah ini semua yang seharusnya ia jalani? Apakah ia akan terus membiarkan rasa sakit ini menguasai hidupnya?

Pada akhir pekan, Elyana memutuskan untuk mengunjungi taman dekat rumah. Udara segar dan suara angin yang berbisik seakan memberikan kedamaian yang sudah lama ia rindukan. Ia duduk di bangku taman, menikmati pemandangan anak-anak yang bermain dan pasangan-pasangan muda yang tertawa. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya—sebuah pengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang kesedihan dan kehilangan, tetapi juga tentang kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam momen-momen sederhana.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat dan berhenti di depan Elyana. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Davin dengan ekspresi serius namun penuh harap di wajahnya. Melihat pria itu di hadapannya membuat jantung Elyana berdegup lebih cepat, antara cemas dan bingung.

"Davin?" suaranya hampir tak terdengar, seolah ia takut kata-kata itu bisa mengusirnya pergi.

Davin mengangguk, memandang Elyana dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tahu kita tidak berbicara banyak akhir-akhir ini, dan aku tidak tahu bagaimana harus memulai. Tapi aku merasa, ada hal-hal yang harus aku katakan."

Elyana menelan ludah, pikirannya berputar-putar. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kau katakan, Davin," ucapnya, mencoba menjaga jarak.

Davin menarik napas dalam-dalam. "Elyana, aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Aku tahu aku bukan suami yang baik, dan aku terlalu sibuk dengan semua tekanan ini. Tapi aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku masih peduli, meskipun aku tidak tahu bagaimana menunjukkannya."

Kata-kata itu seperti pisau yang melukai sekaligus mengobati. Elyana merasa ada secercah harapan yang muncul di balik rasa sakitnya, tetapi di saat yang sama, ia takut untuk menghadapinya. Akankah mereka mampu memperbaiki semuanya, ataukah kata-kata itu hanya seonggok janji kosong yang sudah terlalu lama diabaikan?

"Tapi bagaimana dengan semua yang telah terjadi?" Elyana bertanya, suara nyaris menangis.

Davin memajukan langkahnya, mendekat, dan meraih tangan Elyana dengan lembut. "Kita bisa memperbaikinya, El. Jika kita berdua mau mencoba, mungkin ada harapan. Aku tahu itu sulit, dan aku tahu kita sudah jauh. Tapi aku ingin mencoba, jika kau juga ingin."

Air mata mulai mengalir di pipi Elyana, menandakan betapa beratnya keputusan ini. Ia tahu, melanjutkan hubungan ini berarti membuka pintu untuk kemungkinan baru, sekaligus risiko yang lebih besar. Namun, di hadapan Davin, dengan tatapan penuh harap di matanya, ia mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada harapan di luar sana—dan mungkin, mereka bisa menemukannya bersama.

Elyana mengangguk, meskipun dengan penuh keraguan. "Kita bisa mencoba, Davin. Tapi aku perlu waktu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun."

Davin tersenyum, senyum yang jarang terlihat di wajahnya. "Aku akan menunggumu, El. Selama apapun itu."

Malam itu, di taman yang tenang, dua hati yang telah lama terpisah mulai menemukan jalannya kembali, pelan namun pasti, di bawah langit yang penuh dengan bintang-bintang, simbol dari harapan yang mungkin belum sepenuhnya hilang.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!