Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28 Terkuak
Happy reading 😘
"Zen, ternyata bukan Fiya yang ada di foto itu." Dino berucap lirih, lalu menghela nafas dalam.
Ia tidak tega membangunkan Zaenal, karena sahabatnya itu terlihat sangat lelap.
"Ck, apa aku pulang aja ya. Pakaianku basah kuyup gini. Nggak mungkin 'kan aku lancang ngambil pakaian di almari tanpa minta izin," monolognya.
Setelah berpikir sejenak, Dino memutuskan untuk pulang ke rumah karena pakaiannya basah kuyup.
Meski sering menginap di rumah Zaenal, Dino tidak terbiasa mengambil sendiri pakaian sahabatnya yang tersimpan di dalam almari. Ia juga tidak terbiasa mengenakan pakaian Zaenal tanpa meminta izin terlebih dulu pada pemiliknya.
Dino bersiap memutar tumit. Namun sepasang mata yang tadi terpejam, kini terbuka perlahan. Kemudian mengerjap, menyesuaikan cahaya kamar.
"Din --"
"Hai, Zen. Nyenyak banget tidurmu."
"Ck, nyenyak gimana? Dari tadi belum bisa tidur."
"Yaelah, terus tadi siapa yang ngorok?"
"Mungkin kodok yang ngorok."
"Mana ada kodok masuk ke dalam kamar se elite gini?"
Dino terkekeh dan menjitak pelan kepala Zaenal.
"Oya, Zen. Aku pinjem kaos sama celana. Pakaianku basah nih."
"Kenapa bisa basah?"
"Kehujanan lah. Masa gara-gara nyegur selokan."
Zaenal beranjak dari tempat tidurnya, lalu menggapai almari yang berada di sisi ranjang.
"Nih, pake ini!" ujarnya sambil melempar pelan kaos dan celana pendek ke arah Dino.
"Makasih ya."
"Yo'i. Buruan gih ganti pakaian!"
"Di sini?"
"Di terasssss."
"Jiahahhha. Di teras ada Mbok Sumi sama Pak Bendot lagi pacaran. Di kamar mandi aja ya?"
"Yaelah, ngapain pake nanya."
"Pftttt, buat basa-basi." Dino membalas ucapan Zaenal sembari membawa langkahnya masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian ia segera mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian Zaenal.
"Udah ganteng 'kan?" ucapnya begitu keluar dari kamar mandi.
"Udah, kalau dilihat dari sedotan."
"Aelah." Dino menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, bersebelahan dengan Zaenal.
"Zen, kamu mau tau nggak --"
"Nggak," sahut Zaenal cepat--memangkas ucapan Dino.
"Ck, aku serius."
"Ya udah langsung ngomong aja. Nggak usah pake nanya. Bikin tambah puyeng aja lu."
"Hmm, baiklah. Denger baik-baik ya. Tadi sepulang dari pantai, aku mampir di BAR." Dino menekankan kata 'bar'.
"Gila! Tumben amat kamu main ke tempat begituan." Perkataan Dino sukses membuat Zaenal terkejut dan langsung mengalihkan atensi.
"Ngapain kamu ke bar?" tanya Zaenal dengan sedikit meninggikan intonasi suara.
"Nanti aku jelasin."
"Jangan bilang kalau kamu udah terkontaminasi Bagas --"
"Nggak lah. Aku nggak bakal terkontaminasi manusia sinting itu."
"Terus, ngapain kamu main ke bar? Senakal-nakal nya aku, aku nggak pernah main ke bar. Apalagi sampai ngajak kamu ke tempat begituan."
"Aku ke bar demi hubunganmu sama Fiya, Zen."
"Maksudmu?"
"Aku terpaksa masuk ke bar karena misi."
"Misi apa? Kenapa omonganmu muter-muter, Din? Tadi kamu bilang, kamu ke bar demi hubunganku sama Fiya. Terus sekarang kamu bilang, kamu terpaksa masuk ke bar karena misi? Maksud kamu apaan sih, Din? Bisa nggak ngomongnya to the point' aja?"
Zaenal gagal faham. Mungkin karena baru terbangun dari tidur dan nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Itu menurut Dino.
"Ck, sabar dulu napa? Aku jelasin pelan-pelan biar kamu faham dan bisa ngendaliin emosi."
"Oke, sekarang buruan gih jelasin!"
"Gini Zen, aku masuk ke bar karena menjalankan misi kita. Buat nyari kebenaran tentang foto Fiya."
"Serius lu?"
"Ya serius lah, anji*."
"Terus gimana?"
"Hah, ternyata bener dugaan ku. Bagas udah merekayasa foto Fiya sebelum dikasih ke kita. Ternyata cewe yang ada di foto bukan Fiya, tapi Si Cika."
"Cika?"
Dino mengangguk, lalu menghela nafas. "Iya, Cika. Mantanmu," ucapnya menegaskan.
"Tadi sepulang dari pantai, aku nggak sengaja ngeliat Bagas, Cika, sama Rama masuk ke dalam Bar. Ya udah, aku beraniin diri buat nyusul mereka."
"Lanjut!"
"Aku nyari tempat duduk di pojok ruang. Lalu ngerekam obrolan mereka."
Dino lantas memutar rekaman suara Bagas, Rama, dan Cika saat mereka berbincang di bar.
"Cik, kamu nekat banget. Demi cinta rela digituin sama Rama."
"Bukan demi cinta. Tapi demi ambisi dan masa depan yang cerah. Kamu tau 'kan, Zen anak tunggal dan pewaris perusahaan Pramudya Group."
"Iya, tau. Semua makhluk di kampus juga tau. Tapi 'kan nggak harus kamu sendiri yang foto begituan sama Rama. Kamu bisa bayar orang lain. Misal, Si Onah atau Jamilah. Mereka 'kan per**."
"Dasar blo**! Bentuk tubuh Onah dan Jamilah beda banget sama bentuk tubuh Fiya. Yang mendekati 'kan cuma aku. Bahkan tinggi kami cuma selisih satu centi."
"Lagian cuma foto, bukan beneran ngelakuin adegan gituan."
"Meski cuma foto, tapi kamu menang banyak, Ram. Bisa nyentuh squishy nya Cika. Lah aku, cuma bisa ngeliat sambil ngelap iler."
"Hhahahaha." (Suara tawa mereka bertiga)
"Bagas, Bagas. Bentar lagi kalian bisa nyentuh squishy Nofiya. Bukan cuma nyentuh, tapi menyesap madunya. Meno-dai marwahnya. Dan aku ... Aku bisa memiliki Zen dan hartanya."
Dino menggeser layar gawai. Menghentikan rekaman yang sebenarnya belum selesai.
Nampak olehnya raut wajah Zaenal yang terbingkai api amarah. Sepasang matanya memerah dan tangannya terkepal kuat.
"Bajin***." Zaenal menggebrak meja kayu yang ada di hadapannya seraya meluapkan amarah.
"Mereka harus habis di tanganku."
"Jangan, Zen! Jangan mengotori tanganmu!"
"Mereka udah keterlaluan, Din."
"Iya, aku tau. Mereka memang pantas dihabisi. Tapi cara itu nggak cukup buat ngasih mereka pelajaran."
"Terus gimana caranya?"
"Nanti aku kasih tau. Lebih baik, kamu segera hubungi Fiya. Bilang ke dia, jangan pulang ke Blitar dulu. Untuk saat ini, Fiya lebih aman berada di sana."
"Baiklah. Tapi sekarang udah jam dua malam. Fiya pasti udah tidur."
"Coba aja kamu kirim chat ke dia. Atau miscall. Sapa tau Fiya langsung nyahut."
Zaenal tampak berpikir. Ia bimbang.
"Baiklah," ucapnya. Kemudian mendial nomer Nofiya.
Suara khas yang dirindu menggetarkan hati dan membuat degup jantung terdengar berdentum.
Wajah cantik tanpa polesan yang memenuhi layar gawai, memaksa batin berbisik memuji keindahan maha karya Illahi.
"Hai, Zen. Kamu udah nggak marah?" Nofiya berucap diiringi sebaris senyum yang membuat wajahnya kian terlihat cantik di mata Zaenal.
"I-iya."
"Zen, maafin aku ya."
"I-iya. Aku udah maafin. Maafin aku juga."
"Iya, Zen."
"Aku kangen, Yang. Kangen banget."
"Aku juga kangen. Insya Allah, besok pagi aku berangkat ke bandara."
"Kamu mau pulang ke Blitar?"
"Iya, Zen."
"Jangan, Yang! Lebih baik kamu di sana dulu."
"Loh, katanya kamu kangen, kenapa malah ngelarang aku pulang ke Blitar?"
"Iya, aku memang kangen. Tapi untuk saat ini kamu lebih aman berada di sana."
"Maksud kamu apa, Zen?"
"Panjang ceritanya, Yang. Aku mohon, kali ini dengerin aku. Jangan pulang dulu ke Blitar."
"Hmm, baiklah. Tapi kamu harus janji, besok jelasin ke aku. Kenapa kamu ngelarang aku pulang ke Blitar."
"Iya, aku janji. Lebih baik, sekarang kamu istirahat. Besok aku vidio call lagi."
"Heem. Kamu juga, Zen. Buruan istirahat."
"I Miss you --"
"Miss you too --"
🍁🍁🍁
Bersambung ....
ada2 gajah deh
dasar Conal
Dia otaknya encer...hehehege
Ampuunnn Dahhh
sini di belakang rumahku..sambil ngingu pitik
Dari tadi, aku baca di Zaenal manggilnya YANG..YANG..terus..
itu nama pacarnya Zaenal, Fiya apa Mayang sih..
Aku juga ketawa nihh
Aku pikir Kirana putri cantiknya Author
yang gantengnya sejagad jiwa..yang kumisnya bikin Author gak bisa lupa