Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Spicy Ramen
Mobil Bian menepi di salah satu restaurant Korea. Tentu saja Zizi sangat antusias ketika melihat menu spicy ramen di dekat pintu masuk.
“Kamu serius tadi udah sarapan?”
“Hmm, gak usah khawatir saya bohong deh Pak.” Jawabnya tersenyum lebar.
“Mmm... Oke ayo masuk.” Zizi hendak membuka pintu mobil. “Tapi...”
“Ya?”
“Saya mau ketemu sama temen, membahas tentang desain. Apa gapapa?”
“It's ok. Kalo saya mengganggu nanti saya yang pindah meja.”
“Engga. Saya udah pesen dua meja. Satu buat kita makan, satu buat bahas desain sama temen. Jadi nanti saya geser tempat.”
“Ah, baiklah kalau begitu Bapak Biantara.” Jawab Zizi manggut-manggut.
“Oke, oke.” Ucap Bian ikut manggut-manggut dan tertawa kecil.
Mereka pun turun dari mobil dan memasuki restaurant. Bian mengajak Zizi ke meja yang telah ia pesan. Pramusaji mengantarkan buku menu ke meja Bian.
“Ladies first.” Bian memberikan buku menu ke Zizi.
Zizi hanya tersenyum melihat Bian dan menerima buku menunya. Ia memilih dan menuliskan pesanan di secarik kertas yang sudah tersedia, lalu memberikan kembali pada Bian.
“Spicy ramen?” meyakinkan menu yang dipilih Zizi.
“Hmm, why?” sambil menatap Bian.
Bian menumpu kedua tangannya di meja.
“Bukankah masih pagi untuk memakan makanan pedas?”
“Pak Bian tenang aja, saya udah biasa sarapan makanan pedas.” Kembali fokus ke ponselnya.
“Perbaiki pola makanmu, sarapanlah dengan yang netral. Makanan pedas di pagi hari bisa membuat asam lambung naik.” Menyibukkan diri menulis pesanan.
“Hmm, dimengerti.” Zizi menatap heran dosennya yang mulai protektif.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Zizi menatap semangkuk spicy ramen dengan mata berbinar. Ingin sekali rasanya ia langsung melahap ramen itu. Namun, dia teringat dengan teman Bian.
“Temen Pak Bian gak jadi kesini?”
“Janji temu jam 10 lebih, masih ada waktu 30 menit untuk kita makan. Makanlah, jangan sia-siakan waktu.”
“Waaah Pak Bian ternyata jago juga ngetreat cewek.” Celetuknya sambil mengaduk ramen di mangkuk.
“Oh ya? Syukurlah kalau begitu. Bahkan saya belum pernah makan berdua dengan cewek.”
Jawaban Bian menghentikan aktivitas Zizi yang mencoba mendinginkan ramen. Timbul rasa ingin tau dibenaknya.
“Emang Pak Bian gak punya pacar apa?” Memasukkan sesuap ramen ke mulutnya.
“Bagi saya pacaran hanya membuang-buang waktu. Kalau ada hubungan yang pasti kenapa harus pacaran.” Jawabnya.
Hugh! Uhukk uhukk! Zizi cegukan dan terbatuk karena pedasnya ramen. Ia mengangkat jus dingin dan siap meneguknya. Namun, tangannya ditahan oleh Bian dan mengambil alih jus ditangannya. Bian menyodorkan minuman hangat pada Zizi.
“Makanan pedas hanya cocok dengan minuman hangat. Kalau minuman dingin yang ada makin pedes.” Menaruh jus di dekatnya.
“Tapi minuman dingin lebih menyegarkan.”
Hugh!
“Minumlah selagi hangat, itu bisa membantu meringankan rasa pedas.”
Zizi menghela nafas kesal dan meminum segelas jeruk hangat di depannya. Melanjutkan makan ramen dengan muka cemberut dan mengaduknya asal. Bian hanya tersenyum melihatnya. Lucu.
Nyebelin banget sih Pak Bian. Kenapa juga dia protektif ke gue? Iiih dasar dosen nyebelin. Gerutunya dalam hati sambil melahap ramennya.
“Biantara Wisam?”
Tiba-tiba suara laki-laki mengalihkan perbincangan mereka. Dua laki-laki menghampiri Bian yang tengah duduk bersama Zizi.
“Oh iya mas Ibram, silakan duduk.” Menjabat tangan Ibram dan mempersilakan duduk di meja sebelah.
“Ian.” Ucap teman Ibram menjabat tangan Bian.
“Sama asisten ya?” tanya Ibram.
Zizi tampak kalang kabut mendengar kata asisten dari laki-laki tersebut. Ia pun memperkenalkan diri melihat Bian memberi isyarat.
“Zefanya.” Menjabat tangan kedua teman Bian.
“Silakan duduk mas Ibram, mas Ian. Zefanya adalah mahasiswi saya kebetulan ada project yang perlu dikonsultasikan ke saya untuk tugas ujiannya.”
Zizi menahan senyum mendengar jawaban Bian. Bohong dikit gapapa, ya kan? Tak disangka Pak Bian mampu berimprovisasi karena keadaan. Hehehe.
Bian tak lupa memesan beberapa camilan dan minuman untuk kliennya. Juga ia memesan jus strawberry dingin untuk Zizi. Setelah pesanannya tiba, Bian menyuruh pramusaji untuk mengantar jus strawberry dingin ke meja Zizi. Ia sontak melihat Bian. Bian mengisyaratkan Zizi untuk meminumnya. Zizi menggigit bibir bawahnya menahan senyum kegirangan. Ia lalu meneguk jus strawberry dingin dan kembali melihat Bian yang sudah fokus pada dua temannya.
Zizi membuka laptopnya dan mulai mengerjakan proposal untuk tugasnya. Bian mendapati Ian yang sedari tadi melihat Zizi. Perasaannya tak terima jika Ian melihat Zizi dengan cara seperti itu. Benar saja Zizi sedang mencoba mengikat rambutnya.
“Ah saya lupa, saya ada beberapa referensi untuk desain logonya. Beberapa hari yang lalu saya sempet bikin beberapa draft. Saya ambil tablet dulu.”
Bian kembali ke meja Zizi untuk mengambil tablet. Padahal semua juga ia simpan di laptopnya. Ia sengaja kembali untuk menegur Zizi.
“Jangan ikat rambutmu.”
“Hah? Emang kenapa?”
“Jangan banyak tanya. Nurut kata saya.”
Bian memberi tatapan tajam kepada Zizi sebelum akhirnya kembali ke meja sebelah. Zizi pun mengurungkan niatnya untuk mengikat rambut. Membiarkan rambutnya terurai begitu saja.
“Kenapa seprotektif itu?”
Zizi menaikkan satu alisnya dan menghela nafas panjang. Ia tak sengaja melihat ke meja sebelah. Tak disangkanya ia dapati Ian yang menatap ke arahnya. Zizi menganggukkan kepala dan memberi senyum tipis. Kemudian melihat Bian yang menatapnya tajam. Sekarang ia mengerti alasan mengapa Bian menegurnya. Zizi melanjutkan fokusnya pada laptop di depannya. Tak lupa ia menyumpal telinganya dengan earphone dan mendengarkan lagu kesukaannya.
Setelah beberapa waktu, akhirnya pertemuan Bian dan teman-temannya selesai.
“Ternyata Anda lebih berbakat dari yang saya kira. Terima kasih telah membantu.” Ucap Ibram begitu deal akan desain yang dibuat Bian.
“Tidak juga, justru saya yang harusnya berterima kasih pada mas Ibram karena memberi saya kepercayaan.”
Mereka kemudian menjabat tangan satu sama lain untuk mengakhiri pertemuan ini. Tak lupa mereka juga berpamitan dengan Zizi yang masih fokus dengan laptopnya. Zizi menoleh saat tangan Bian menyentuh tangannya saat meletakkan laptop di meja.
“Mereka mau berpamitan.” Zizi pun kemudian bangkit dari duduknya.
“Zefanya, kamu harus bangga punya dosen seperti Bian. Sangat kompeten di bidangnya.” Tutur Ibram.
“Jangan gitu mas Ibram, saya jadi gak enak deh.”
“Ah terima kasih. Pak Bian memang sangat kompeten, tak sedikit mahasiswa yang memuji cara mengampunya.” Zizi memberikan senyum.
“Wah ternyata begitu. Yasudah kami pamit dulu, sekali lagi terima kasih Bian sudah membantu kami. Kami tunggu kiriman cetakan logonya. Zefanya, senang bertemu denganmu.”
“Semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan. Kalau ada waktu luang, mampirlah ke perusahaan kami.” Ucap Ian menambahkan.
“Baik terima kasih banyak.”
Mereka pun berlalu keluar dari restaurant. Zizi dan Bian membereskan perlengkapan yang mereka bawa.
“Benarkah yang kamu katakan tadi?”
“Engga. Cuma mencoba memberikan branding yang keren kepada dosen tampan yang digandrungi seluruh mahasiswi di Fakultas Seni.”
Ia mengangkat kedua alisnya menggoda Bian.
Bian tertawa renyah mendengar penuturan Zizi yang terlalu bar-bar. “Pasti kamu adalah salah satu mahasiswi itu.” Berjalan ke kasir untuk membayar.
Zizi masih mematung di sebelah meja. Mengangkat satu alisnya mencoba mencerna perkataan Bian dan mengingat kembali apa yang keluar dari mulutnya. “Apa gue salah omong?”
“Apa kamu mau terus berdiri di situ?”
Zizi pun berlari menghampiri Bian yang kini sudah di berada di pintu keluar.