Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Belum Siap
Beberapa hari kemudian
Suara mesin jahit Ibu Puspa terdengar lembut mengisi kesunyian yang ada. Karin dan Widuri duduk bersebelahan di sofa sambil sibuk berkirim pesan dengan pacar masing-masing.
"Kamu tuh kenapa keluar dari tempat kerja sih, Wi?" Ibu Puspa menghentikan sejenak aktifitasnya, lalu melihat Widuri yang sudah sepekan ini menganggur.
"Padahal kamu tahu jaman sekarang tuh susah sekali cari kerjaan."
Widuri menghela napas, "Kan aku udah bilang Bu. Aku mau cari kerjaan yang gajinya lebih gede. Kerja di minimarket tuh malah banyak nombokin, karena banyak barang yang hilang."
"Hah, alasan," sahut Ibu Puspa.
"Terus sekarang kamu udah nemu, pekerjaan yang lebih besar gajinya itu?"
"Ya belum lah," jawab Widuri, "Ibu sendiri kan yang bilang cari kerja itu susah."
"Iya harusnya kamu tuh berhenti setelah dapat kerjaan yang baru. Ini jadinya kan malah menganggur begini," omel Ibu Puspa.
Widuri tak menanggapi omelan Ibu Puspa, dan malah melirik Karin sambil menjentikkan jarinya. "Oh, iya Mbak, kira-kira Mas Tara bisa bantu aku enggak?"
Karin mengerutkan kening, "Bantu apa?"
"Ya, cariin aku kerjaan," jawab Widuri.
"Dari penampilannya aku bisa tahu kalau dia itu orang kaya yang punya banyak koneksi. Mungkin dia bisa bantu aku cari kerja kantoran gitu."
"Enggak ah, Mbak enggak mau ngerepotin Mas Tara terus," tolak Karin.
"Kamu cari sendiri aja. Di internet banyak kok lowongan."
"Ih, Mbak," protes Widuri, "Masa dia enggak mau sih bantu calon adik iparnya?"
Karin langsung memelototi Widuri, karena terkejut dengan ucapan Widuri. Sampai saat ini dia belum memberitahu ibunya soal hubungannya dengan Tara.
Ibu Puspa yang sedang fokus menjahit, dan mendengar percakapan keduanya langsung mengangkat kepala. "Calon adik ipar apa maksudnya?"
Widuri menoleh pada Ibu Puspa. "Ibu belum tahu ya kalau..."
Karin panik, dan langsung menutup mulut Widuri, "Bukan apa-apa, Bu. Widuri cuma asal bicara."
Widuri meronta, berusaha melepaskan tangan Karin dari mulutnya. Ibu Puspa tentu semakin curiga, lalu menatap ke arah Karin dengan tajam.
"Karin, kamu sembunyiin apalagi dari Ibu?" tanyanya dengan tegas.
Widuri, tak tahan lagi. Dia menghempaskan tangan Karin lalu berkata, "Mbak Karin itu mau menikah sama Mas Tara."
"Wi!" teriak Karin.
Ibu Puspa terkejut, lalu menatap Karin dengan senyum penuh harap. "Apa itu benar, Karin? Kamu sama Nak Tara mau menikah?"
"Enggak, begitu Bu. Aku sama Mas Tara masih pendekatan. Kita sepakat mau saling mengenal dulu."
"Loh, kok begitu sih Mbak?" tanya Widuri, "Bukannya kalian bilang akan segera menikah?"
"Kok Mbak berbohong sih sama aku?" tanya Widuri lagi. Dia tampak mulai kesal.
Karin menahan emosinya, dan mencoba menjelaskan. "Wi, Mbak butuh waktu. Mbak juga baru kenal sama Mas Tara. Enggak bisa semuanya tergesa-gesa."
"Udahlah Mbak, langsung nikah aja," saran Widuri, "Kalian pengenalannya pas udah nikah aja."
Ibu Puspa tampaknya setuju dengan Widuri, "Iya, Ibu setuju sama Widuri. Kalian bisa pengenalan setelah menikah. Kalau kamu tunda-tunda, takutnya Nak Tara berubah pikiran."
"Kapan lagi kamu bisa menemukan laki-laki sebaik Nak Tara?" lanjut Ibu Puspa, "Sudah baik, mapan, dan sepertinya keluarganya juga lebih kaya dari keluarganya Cakra."
Karin merasa tertekan, dan dia ingin menjelaskan perasaannya, "Bu, aku..."
"Jangan membantah terus, Karin," potong Ibu Puspa. "Pokoknya segera minta Nak Tara kemari. Ibu mau ngomong serius sama dia."
Karin merasa kesal dan sedih. Dia memilih beranjak dari ruang keluarga, lalu masuk ke kamar. Tadinya dia berharap ibunya akan mengerti kalau perasaannya masih terluka dan takut, tapi ternyata ibunya tak paham sama sekali.
Widuri menyusul Karin masuk, lalu duduk di samping Karin, "Sudahlah Mbak, Ibu sudah setuju. Jadi segera menikah ya kalian."
Karin mendesah frustrasi, "Apa di pikiran kamu tuh cuma ada pernikahan? Apa menurut kamu pernikahan itu permainan? Sekarang menikah, lalu kalau kenyataan besok hari tidak cocok, bagaimana? Apa bisa dengan mudahnya cerai?"
Widuri tampak bingung, "Mbak, kenapa emosi sih?"
Karin tak sadar mulai meneteskan air matanya, "Mbak kesal karena kalian sama sekali enggak mengerti perasaan yang Mbak rasain. Okelah Mas Tara memang baik, Mbak juga suka sama dia. Cuma untuk lebih serius, Mbak masih ragu."
"Mas Cakra saja bisa berkhianat," lanjut Karin tergagap, "Tidak menutup kemungkinan Mas Tara tidak akan melakukan itu."
"Tolong beri Mbak waktu," pinta Karin.
Widuri menghela nafasnya dengan malas. "Ah, terserah Mbak kalau begitu."
Widuri bangkit dari sisi Karib, lalu mengenakan jaketnya serta menyelempangkan tas miliknya.
"Kamu mau kemana?" tanya Karin
"Aku mau ke rumah Mas Bagas, sumpek di sini," jawabnya.
"Kamu mau kabur?"
"Enggak, aku cuma mau main aja," jawab Widuri, "Cuma kalau Mbak enggak menikah terus, aku bisa nekat minta dihamili."
"Wi! Jangan macam-macam kamu!"
"Bye! Bye!" Gadis itu tak peduli akan teriakan Karin, dan malah melambaikan tangan lalu pergi.
Karin menutup wajahnya dengan kedua tangan, meresapi beban emosional yang begitu terasa berat. Dia merenung, dan merasa terjebak antara harapan serta ketakutan.
Disaat seperti itu tiba-tiba ponselnya berdering. Nama "My Hero" tertera di layar, membuat jantung Karin seketika berdebar kencang. Dengan cepat, Karin menyeka air matanya lalu menjawab panggilan masuk itu.
"Halo, Mas," sapa Karin.
"Halo, Karin sayang," jawab Tara, suaranya begitu hangat dan penuh kelembutan. "Lagi apa kamu?"
Karin masih saja tersipu malu jika mendengar kata "sayang" yang terucap dari mulut Tara.
"Aku lagi diam aja di dalam kamar kok, Mas. Mas sendiri lagi apa? Sudah beres meeting di luar kotanya?" Sejak berpacaran gaya bicara keduanya berubah menjadi lebih santai.
"Sudah kok," jawab Tara, "Sebenarnya ini Mas lagi di jalan mau ke rumah kamu."
"Ke rumahku? Mau apa?" tanya Karin langsung melonjak dari Kasur.
Tara terdiam sejenak, lalu berkata, "Iya, mau ngajak kamu jalan-jalan. Kok kamu kayak panik begitu?"
"Hehe, aku enggak panik kok, cuma kaget sedikit," jawab Karin lalu langsung merapikan penampilannya.
"Mas masih jauh apa sudah dekat?"
"Sekitar 10 menit lagi aku nyampe," jawab Tara.
"Apa 10 menit lagi?" ucap Karin semakin panik.
"Yaudah Mas, aku siap-siap dulu ya." Dengan terburu-buru, Karin menutup panggilan telepon tersebut.
"Aku harus mencegah Mas Tara datang ke rumah. Bisa-bisa Ibu membahas soal pernikahan kalau bertemu dengan Mas Tara," batin Karin sambil bersiap-siap.
Dengan perasaan cemas, dia berpamitan pada Ibu Puspa, lalu berlari secepat mungkin menuju gerbang perumahan. Untunglah, Karin tiba di waktu yang tepat. Saat dia sampai di gerbang perumahan, mobil Tara ternyata sudah muncul di ujung jalan.
"Mas!" teriak Karin mencegat, melambaikan tangan.
Tara menghentikan mobilnya, lalu menurunkan kaca mobilnya. Dia melihat Karin sambil mengerutkan kening, "Loh, Karin, kenapa kamu di sini?"
"Aku nungguin kamu lah, Mas." jawab Karin sambil mendekat ke pintu mobil.
Tara membuka kunci, lalu Karin pun masuk dan duduk di samping Tara. Tara menatap sedikit curiga ke arah Karin. "Padahal kamu tunggu saja di rumah. Aku kan juga mau ketemu ibu. Ibu ada kan di rumah?"