Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Luka yang Tak Terkata
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Anna berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar ke arah taman yang sepi. Pagi cerah dengan matahari yang perlahan naik ke langit, tetapi di dalam hatinya, ada mendung yang tak kunjung pergi. Semalam ia telah memutuskan untuk kembali mencoba bersama Alan. Namun, keputusan itu bukan tanpa rasa sakit. Rasa bersalah, kecewa, dan luka dalam yang terus menghantui membuatnya sulit untuk benar-benar merasa lega.
Alan keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, matanya melirik Anna yang masih berdiri terpaku di depan jendela. “Kamu sudah sarapan?” tanyanya dengan nada lembut yang terasa canggung.
Anna menoleh perlahan. “Belum. Aku... aku masih belum lapar,” jawabnya dengan suara pelan. Ia memalingkan wajahnya lagi, tidak ingin menatap mata Alan terlalu lama. Ada perasaan ganjil yang terus mengendap, meskipun Alan mencoba bersikap seolah-olah segalanya bisa diperbaiki.
Alan mendekat, berdiri di sampingnya. “Anna,” katanya sambil menghela napas. “Aku tahu semuanya tidak mudah. Aku tahu aku juga salah, dan mungkin aku yang memulai semua kekacauan ini. Tapi aku benar-benar ingin kita mencoba lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Anna mengangguk kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa. Di dalam dirinya, ada perang besar antara rasa cinta yang tersisa dan luka yang sulit dihapuskan. Ia ingin percaya pada Alan, ingin memberi kesempatan lagi untuk hubungan mereka. Tapi bayang-bayang perselingkuhan Alan dan hubungannya dengan Erik masih melekat erat di pikirannya.
---
Hari itu Anna mencoba menjalani rutinitas seperti biasa. Ia membersihkan rumah, memasak, dan menyibukkan diri dengan hal-hal kecil. Alan pergi bekerja, meninggalkan Anna sendirian di rumah. Meski begitu, ketenangan itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Justru, pikiran-pikiran gelap mulai menguasai dirinya.
Ia teringat pertemuannya dengan Erik beberapa hari lalu. Senyum Erik yang hangat, cara dia menatapnya dengan perhatian, dan bagaimana dia mendengarkan setiap kata yang Anna ucapkan. Saat itu, Anna merasa dihargai, merasa dicintai dengan cara yang sudah lama tidak ia rasakan dari Alan.
Namun, Anna tahu bahwa hubungan dengan Erik tidak mungkin diteruskan. Ia sudah memilih untuk kembali kepada Alan, meskipun hatinya masih goyah. Tetapi kenangan tentang Erik terus menghantuinya. Ponselnya tergeletak di meja dapur, dan entah kenapa tangannya tergerak untuk mengambilnya.
Ia membuka aplikasi pesan dan menemukan percakapan terakhirnya dengan Erik. Pesan itu singkat, tetapi penuh makna: “Kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar, aku selalu ada.”
Anna menutup aplikasi itu dengan cepat. Ia tahu bahwa membalas pesan Erik hanya akan membuat segalanya lebih rumit. Namun, godaan untuk menghubungi pria itu begitu besar, terutama saat ia merasa sendirian seperti sekarang.
---
Malam itu, ketika Alan pulang, suasana di rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Mereka makan malam bersama, tetapi hampir tidak ada percakapan di antara mereka. Anna hanya menjawab pertanyaan Alan dengan singkat, dan Alan pun tampak ragu untuk memulai obrolan lebih dalam.
Setelah makan malam, Alan akhirnya memutuskan untuk berbicara. Ia duduk di sofa, menatap Anna yang sedang merapikan piring di dapur.
“Anna, kita tidak bisa terus seperti ini,” katanya, suaranya serius tetapi lembut. “Kalau kita mau memperbaiki hubungan ini, kita harus mulai bicara satu sama lain.”
Anna berhenti sejenak, menatap Alan dengan ragu. “Aku tahu,” jawabnya singkat.
“Kalau kamu tahu, kenapa kamu terus menjauh dariku?” Alan bangkit dari sofa, mendekat ke arah Anna. “Aku tahu aku bukan suami yang sempurna. Aku tahu aku telah menyakiti kamu dengan semua yang sudah terjadi. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya, Anna. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Anna menunduk, merasa hatinya semakin berat. “Alan, ini tidak semudah itu,” katanya akhirnya. “Apa yang terjadi di antara kita... terlalu banyak luka. Aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan semuanya.”
Alan menggenggam tangan Anna, tetapi wanita itu menarik tangannya dengan cepat. “Tolong, Anna. Beri aku kesempatan. Kita bisa mencoba lagi, kan?”
Anna menatap Alan, dan untuk sesaat, ia melihat ketulusan di mata pria itu. Tetapi di balik ketulusan itu, ada rasa sakit yang terus menghantui dirinya. “Aku tidak tahu, Alan. Aku butuh waktu.”
---
Beberapa hari berlalu, dan hubungan antara Anna dan Alan tetap terasa tegang. Meskipun mereka tinggal di rumah yang sama, ada jarak emosional yang sulit dijembatani. Anna mencoba fokus pada hal-hal lain, tetapi pikirannya terus melayang ke arah Erik.
Sore itu, ketika Alan sedang rapat di kantor, ponsel Anna berbunyi. Nama Erik muncul di layar, membuat hati Anna berdebar. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.
“Halo,” katanya pelan.
“Halo, Anna,” suara Erik terdengar tenang di seberang telepon. “Aku tahu mungkin ini tidak pantas, tapi aku hanya ingin tahu apakah kamu baik-baik saja.”
Anna menghela napas. “Aku baik-baik saja, Erik.”
“Aku tahu semuanya pasti berat untukmu,” kata Erik. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu.”
Kata-kata itu, meskipun sederhana, memberikan kenyamanan yang tak bisa dijelaskan. Anna tahu bahwa berbicara dengan Erik hanya akan membuat hatinya semakin bingung, tetapi ia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri.
“Terima kasih, Erik,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak tahu apakah ini benar.”
“Tidak apa-apa, Anna,” jawab Erik dengan lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian.”
Setelah telepon itu berakhir, Anna merasa hatinya semakin kacau. Ia tahu bahwa ia harus menjauh dari Erik jika ia ingin memperbaiki hubungan dengan Alan. Tetapi di sisi lain, Erik adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa dihargai dan dicintai.
---
Malam itu, Alan pulang lebih awal dari biasanya. Ia tampak lelah, tetapi matanya memancarkan tekad. Setelah makan malam, ia mengajak Anna untuk duduk di ruang tamu.
“Aku tidak bisa terus seperti ini, Anna,” katanya dengan nada serius. “Aku butuh kepastian. Apakah kamu benar-benar ingin mencoba memperbaiki hubungan kita?”
Anna terdiam, merasa terjebak dalam situasi yang semakin sulit. “Aku... aku tidak tahu, Alan. Aku masih bingung.”
“Bingung?” Alan menatapnya tajam. “Apa yang membuatmu bingung, Anna? Apa ada orang lain?”
Pertanyaan itu membuat Anna terkejut. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku,” kata Alan. “Dan aku ingin tahu apa itu.”
Anna merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan, tetapi ia tidak tahu apakah ia siap untuk mengungkapkan segalanya.
“Alan, aku... aku hanya butuh waktu,” katanya akhirnya. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”
Alan menatapnya dengan ekspresi campuran antara kecewa dan marah. “Kalau begitu, Anna, pikirkan baik-baik. Karena aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.”
---
Malam itu, Anna tidur sendirian di kamar tamu. Ia merasa seperti hidupnya sedang berada di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Alan, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Erik.
Ketika pagi tiba, Anna tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Tetapi keputusan itu tidak akan mudah, karena apa pun yang ia pilih, seseorang pasti akan terluka. Dan yang paling menyakitkan adalah, mungkin luka itu akan tetap ada dalam dirinya sendiri.