Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Salah Bicara
"Honey?" Eliana melayangkan tatapan protes. Raut tak mengerti tergambar jelas di paras cantiknya. "Kenapa?"
Sastra kembali menoleh pada sang kekasih. "Tidak apa-apa," jawabnya enteng. "Kurasa, pertunangan tidak terlalu penting. Kalau aku sudah benar-benar siap, pernikahan akan jadi pilihan secepatnya. Apa yang menjamin pertunangan bisa benar-benar mengikat pasangan hingga ke pelaminan?"
"Apa itu berarti Nak Sastra menolak rencana pertunangan?" Baskara mempertegas ucapan Sastra.
"Bisa dibilang begitu." Sastra mengiyakan. "Menurutku, itu hanya buang-buang waktu dan biaya, meskipun aku yakin di antara kita tidak ada yang kekurangan uang sedikit pun."
Kedua orang tua Eliana saling pandang. Begitu juga dengan Laras, yang menatap tak mengerti pada sang suami.
Sementara itu, Carson justru terlihat tenang. Dia sudah memahami watak sang anak. Itulah kenapa dirinya menyerahkan keputusan kepada Sastra.
"Ta-tapi ... bukankah salah satu alasan kamu kembali ke Indonesia adalah untuk melangsungkan acara pertunangan denganku?" protes Eliana, tak terima akan keputusan Sastra.
Sastra tersenyum kalem, seraya menatap lembut wanita yang sudah dipacari selama dua tahun tersebut. "Semua rencana bisa berubah, tanpa perlu ada alasan yang benar-benar bisa dijadikan alasan. Jangankan hanya ucapan sederhana. Janji setia pun bisa diingkari tanpa ada rasa bersalah."
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu." Eliana menatap aneh Sastra, yang tetap terlihat tenang. "Kita sedang membahas masalah pertunangan. Bukan tentang pengkhianatan atau semacamnya."
Sastra mengangguk samar, diiringi embusan napas pelan dan dalam. "Keputusanku sudah bulat. Tidak ada pesta pertunangan," ucapnya cukup tegas.
Melihat ekspresi keluarga Eliana yang terlihat kebingungan, serta keresahan di wajah sang kekasih, membuat Sastra kembali mengembuskan napas pelan bernada keluhan.
"Kenapa jadi tegang begini?" Sastra menoleh kepada Eliana. Dia tersenyum kalem, seraya mengusap-usap punggung tangan wanita itu. "Tenang saja. Tidak ada pertunangan, bukan berarti aku akan meninggalkanmu. Kenapa kamu begitu resah?"
Eliana tidak menjawab. Sorot matanya menyiratkan rasa tak suka, atas sikap sang kekasih.
"Tante Dhania, tolong beri pengertian pada Elia. Papa dan mendiang mamaku menikah tanpa bertunangan terlebih dulu. Bukankah begitu, Pa?" Sastra mengarahkan perhatian pada Carson, yang langsung menanggapi dengan anggukan pelan.
Namun, Eliana dan orang tuanya tetap terlihat tegang. Mereka terkejut dengan keputusan sepihak Sastra, yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Kecanggungan bertahta. Dua keluarga yang awalnya terlihat sangat bahagia karena bisa berjumpa setelah sekian lama, jadi saling diam dan hanya sesekali membahas sesuatu yang tidak terlalu penting.
Tak ingin makin lama terjebak dalam suasana tidak nyaman, Carson memilih mengajak Laras berpamitan.
Begitu juga dengan Sastra. Tak ada gunanya berlama-lama di sana. Dia sadar sudah membuat Eliana dan keluarganya kecewa.
"Kenapa Sastra berubah pikiran? Kenapa dia tidak ingin bertunangan denganmu?" tanya Dhania, saat menemani Eliana di kamarnya.
"Aku tidak tahu, Ma. Aku juga tidak mengira Sastra akan mengambil keputusan demikian," jawab Eliana gelisah. Dia ingin menangis, tetapi ditahan karena malu.
"Apa kamu merasa ada sesuatu yang aneh atau berubah dari diri Sastra?" tanya Dhania lagi.
"Entahlah, Ma. Dia baru kembali dari Skotlandia. Kami sudah lama tidak bertemu secara langsung. Kalaupun ada yang berubah dari dirinya ...." Eliana tak melanjutkan kalimatnya. Wanita berambut panjang itu termenung sesaat, memikirkan ucapannya barusan.
"Mama tidak mau menerka-nerka," ucap Dhania, seakan mengarahkan pemikiran sang putri, pada apa yang jadi ketakutannya dalam beberapa hari terakhir.
"Tolong tinggalkan aku sendiri, Ma. Aku ingin menenangkan pikiran terlebih dulu. Kita bicara lagi nanti." Eliana beranjak dari kasur, lalu masuk ke walk in closet untuk berganti pakaian.
Sementara itu, Sastra baru tiba di apartemen sang ayah. Dia merasa lega karena Carson tidak banyak bicara tentang keputusannya tadi.
"Entah apa alasanmu mengambil keputusan begitu, Nak," ucap Carson, sebelum turun dari kendaraan.
"Kenapa acara pertunangan begitu penting, bagi Eliana dan orang tuanya?"
"Mungkin, itu sudah jadi impian Eliana sejak lama," ujar Laras menanggapi. "Kenapa kamu tidak membicarakannya dulu, sebelum membawa keputusan itu ke hadapan orang tua Eliana?"
Sastra tersenyum kecut. "Eliana akan histeris, jika kami membahasnya berdua saja. Aku sedang malas," ujar Sastra tak acuh.
"Oh. Ya, ampun." Carson memilih tidak banyak menanggapi. Dia memberi isyarat pada Laras, agar melakukan hal yang sama.
"Ya, sudah. Lagi pula, kami sangat lelah. Besok masih ada acara penting yang harus aku dan Laras lakukan," ucap Carson, seraya melepas sabuk pengaman.
"Itulah yang kuinginkan, Pa, Kalian tidak perlu ikut risau. Aku tahu dan bisa mempertanggungjawabkan keputusan yang telah diambil. Jadi, jangan khawatir."
"Baiklah. Selamat malam, Nak." Carson keluar terlebih dulu, sebelum membantu Laras turun dari kendaraan.
"Selamat malam. Aku pulang dulu," pamit Sastra. Tak berselang lama, mobil double cabin yang dikendarainya melaju gagah meninggalkan halaman depan bangunan apartemen mewah, yang jadi tempat tinggal Carson dan Laras setiap kali berkunjung ke Indonesia.
Ketika dalam perjalanan menuju apartemennya, Sastra terus memikirkan segala yang terjadi tadi di rumah Eliana. Dia tak tahu apa yang akan sang kekasih lakukan, setelah diberi rasa kecewa seperti itu Namun, Sastra tidak merasa bersalah. Tak ada sedikit pun penyesalan yang tampak dari paras tampannya.
Setelah tiba di apartemennya, Sastra memeriksa telepon genggam yang dimatikan sejak tadi. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari Asha.
[Apa Kakak sudah menemui Kak Ratri?]
"Ratri ...," gumam Sastra, diiringi embusan napas berat. Dia ingin sekali menghubungi wanita itu. Namun, Sastra belum menyimpan nomornya. Satu hal yang dia inginkan adalah, Ratri sendiri yang memberikan nomor teleponnya.
Sastra membalas pesan itu, sebelum berlalu ke walk in closet. Malam ini, dia hanya ingin tidur nyenyak.
......................
"Sastra menolak melangsungkan acara pertunangan," ucap Eliana, saat bicara berdua dengan Ratri di kantor.
"Kenapa?" tanya Ratri keheranan.
"Aku tidak tahu. Sudah kukatakan. Sastra banyak berubah setelah kembali dari Skotlandia. Apa mungkin di sana dia memiliki wanita lain?" resah Eliana.
"Tidak. Itu tidak mungkin," bantah Ratri segera. "Jika Sastra memiliki wanita lain di sana, untuk apa dia pulang ke Indonesia?"
"Ya. Aku juga sempat berpikir begitu. Namun, semua terasa berbeda. Dia jadi agak lain."
Ratri tak segera menanggapi. Rasa tak enak kembali hadir di relung hatinya. Andaikan bisa, dia ingin mengatakan bahwa Sastra merasakan kebosanan, terhadap sahabat sekaligus rekan kerjanya tersebut.
"Apa kamu sudah bicara dengan Sastra? Maksudku, bicara dari hati ke hati. Siapa tahu dia merasakan sesuatu yang ... um ... mungkin, Sastra membutuhkan penyegaran dalam hubungan ...."
"Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?"
"Dia sendiri yang mengata ...." Ratri menggigit bibir pelan bibirnya.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...