Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Mengunjungi Perkebunan dan Pabrik CPO
Bab 6: Mengunjungi Perkebunan dan Pabrik CPO
Kamis, 19 Januari 1984
Pagi itu, udara segar dan sedikit dingin sisa hujan semalam menyelimuti Sekayu. Langit cerah dengan awan putih yang bergerak lambat di atas desa. Keluarga Brata sedang bersiap-siap untuk perjalanan ke salah satu perkebunan mereka. Tujuannya sederhana, yaitu memperlihatkan kepada Arya bagaimana bisnis keluarga mereka beroperasi dari dekat.
Amanda, yang sangat bersemangat, sudah berdiri di depan rumah dengan membawa mainan masak-masakannya. Wajah kecilnya berseri-seri sambil melambaikan tangan ke arah Sulastri yang sedang memasukkan bekal piknik ke dalam mobil.
“Ibu, apa kita akan piknik di kebun sawit?” seru Amanda dengan nada penuh antusias.
Sulastri tersenyum sambil menutup keranjang bekal. “Iya, sayang. Kita akan piknik di kebun lagi,” jawabnya.
“Yeay! Aku ingin memetik banyak bunga!” kata Amanda sambil melompat-lompat, mengingat hamparan bunga liar di sepanjang jalan perkebunan yang pernah ia kunjungi sebelumnya.
Brata, yang sudah duduk di kursi pengemudi mobil off-road, menyalakan mesin kendaraan dan menunggu keluarganya masuk. Sulastri menggandeng Amanda menuju mobil, sementara Arya masuk ke kursi belakang, masih merenungkan perubahan besar dalam kehidupannya sejak terlahir kembali.
***
Mobil melaju di jalan berdebu yang dikelilingi oleh pepohonan lebat di kiri dan kanan. Udara pagi yang dingin mulai terasa hangat seiring naiknya matahari. Suasana di dalam mobil terasa santai, meski Arya tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Ayah, apa kita akan ke salah satu perkebunan kita? Ada di daerah mana kebunnya, dan berapa luasnya?” tanya Arya, memecah keheningan.
Brata melirik ke kaca spion dengan senyum kecil. “Tanya ibumu, Arya. Ayah hanya seorang polisi, tidak ikut campur soal bisnis keluarga,” jawabnya sambil terkekeh.
Arya tersenyum kecil, tapi pertanyaan berikutnya lebih serius. “Ayah, keluarga kita sudah kaya, kenapa Ayah masih menjadi polisi?”
Brata terdiam sejenak, matanya tertuju ke jalan di depan. Sebelum ia bisa menjawab, Sulastri menyela dengan nada lembut. “Arya, itu sudah jalan hidup Ayahmu. Dia mencintai pekerjaannya sebagai polisi, dan kita harus menghormati itu.”
Sulastri melanjutkan dengan semangat, mencoba mengalihkan perhatian Arya. “Kalau soal kebun, yang akan kita kunjungi ini jaraknya sekitar 35 kilometer dari Sekayu ke arah Sungai Lilin. Luasnya sekitar 15.000 hektar untuk karet dan 12.000 hektar untuk sawit. Selain itu, di sana juga ada peternakan kambing, sapi, dan ayam.”
Arya tercengang mendengar luasnya perkebunan itu. “Sebesar itu? Apakah semua milik pribadi keluarga kita, Bu?”
Sulastri menggeleng pelan. “Tidak, Arya. Perkebunan ini adalah yang pertama kami bangun, dan kami bekerja sama dengan desa-desa transmigran di sana. Ini adalah proyek percontohan yang kami jalankan bersama pemerintah.”
***
Arya semakin penasaran. “Proyek percontohan? Bukankah program inti-plasma baru dimulai pemerintah pada tahun 1986? Bagaimana keluarga kita melakukannya lebih dulu?”
Sulastri tersenyum, bangga mendengar putranya memahami konsep inti-plasma. “Benar, Arya. Program inti-plasma resmi baru diumumkan pemerintah pada 1986. Tapi perkebunan kita adalah proyek percontohan yang dimulai lebih awal, hasil kerja sama keluarga kita dengan Profesor Sugiharto, dosen Ibu, dan pemerintah.”
Arya mengangguk, merasa kagum. “Jadi, bagaimana pembagiannya, Bu?”
“Lahan inti milik kita seluas 7.000 hektar, sedangkan plasma dikelola oleh 10.000 hektar yang dimiliki oleh tiga desa transmigrasi dan dua desa lokal,” jelas Sulastri. “Kami juga mendirikan pabrik pengolahan seperti pabrik CPO, lateks, pakan ternak, dan pupuk organik untuk mendukung keberlanjutan di sana.”
Arya tersenyum kagum. “Perkebunan kita sangat terintegrasi, ya, Bu. Ini luar biasa.”
Sulastri membalas senyumnya. “Iya, Arya. Dengan model seperti ini, kami tidak hanya mendapatkan keuntungan dari hasil kebun, tapi juga membantu warga desa menjadi mandiri secara ekonomi. Banyak dari mereka yang sekarang menjadi jutawan berkat kerja keras mereka sendiri.”
Brata, yang sejak tadi hanya menyimak, akhirnya bersuara. “Berkat ibumu, Arya. Dialah otak di balik semua ini.”
Arya tersenyum ke arah ibunya. “Hebat sekali, Bu. Tapi bagaimana Ibu bisa menjalankan program ini?”
Sulastri menjelaskan dengan penuh semangat. “Itu semua berkat bantuan Profesor Sugiharto. Dia adalah sepupu Presiden Suharto. Setelah Ibu menjelaskan konsep inti-plasma kepadanya, beliau sangat mendukung karena program ini bisa membantu banyak petani di Indonesia, terutama transmigran. Dengan dukungannya, keluarga kita mendapat banyak bantuan dan insentif dari pemerintah.”
***
Mendengar cerita ibunya, Arya menyadari betapa strategisnya posisi keluarganya. Ia kembali bertanya, “Bu, dengan bantuan sebesar itu, tidak mungkin keluarga kita hanya memiliki 17.000 hektar perkebunan. Apakah kita memiliki perusahaan besar?”
Sulastri tersenyum kecil, tampak bangga. “Betul, Arya. Keluarga kita memiliki Perkasa Group. Perusahaan induknya adalah Perkasa Grup, dengan beberapa anak perusahaan seperti Perkasa Agri di bidang perkebunan, Perkasa Processing untuk pabrik olahan sawit, karet, dan daging, Perkasa Livestock di peternakan, serta Perkasa Transport dan Logistik.”
Arya tertegun, mencoba mencerna informasi itu. “Dan berapa luas total lahan kita?”
Sulastri melanjutkan. “Kita memiliki lebih dari 100.000 hektar perkebunan yang ditanami sawit, karet, kopi, padi, gandum, jagung, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Selain itu, kita juga memiliki 20.000 hektar tambang batubara yang belum dieksplorasi, serta beberapa sumur minyak dan gas alam.”
Arya merasa otaknya hampir tidak bisa memproses semua ini. “Bu… apakah keluarga kita adalah keluarga terkaya di Indonesia?”
Sulastri tertawa kecil. “Ibu tidak tahu, Arya. Tapi itu bukan hal yang penting. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain. Seperti yang sering Ayahmu katakan, kita harus membantu siapa saja yang membutuhkan, karena suatu saat kita juga akan membutuhkan bantuan mereka.”
***
Setelah perjalanan selama satu jam, mereka akhirnya sampai di perkebunan. Hamparan hijau luas menyambut mereka, dengan barisan pohon sawit yang rapi dan karet yang menjulang. Para karyawan menyambut keluarga Brata dengan senyum hangat, sementara beberapa anak desa terlihat bermain di sekitar kebun.
Arya turun dari mobil, matanya memandang ke seluruh penjuru. Ia merasa seperti berada di dunia lain. Perkebunan ini bukan hanya tempat kerja, tetapi juga komunitas yang hidup. Ia melihat karyawan yang sedang bekerja di pabrik CPO, beberapa lainnya memanen sawit, sementara peternakan di sisi lain tampak sibuk dengan aktivitas.
Sulastri memimpin keluarga menuju area piknik yang telah disiapkan. Makan siang itu terasa istimewa, dengan keluarga Brata duduk bersama karyawan dan warga desa. Arya mendengar cerita-cerita mereka, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga bagaimana program inti-plasma telah mengubah hidup mereka.
“Pak Arya,” kata salah satu karyawan tua, “Kami berterima kasih pada keluarga Bapak. Kalau bukan karena program ini, kami mungkin masih kesulitan mencari pekerjaan di desa asal kami.”
Arya hanya tersenyum, merasa bahwa keluarga mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Ia tahu, ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang harus ia lanjutkan.
***
Sambil menikmati makan siang di bawah rindangnya pohon akasia, Arya mengamati lebih dekat hubungan antara keluarga Brata dan para karyawan. Tidak ada jarak yang mencolok antara mereka; semuanya terlihat seperti satu keluarga besar. Bahkan Brata, meskipun jarang terlibat langsung dalam bisnis, tampak akrab dengan beberapa karyawan senior yang menghampiri untuk menyapanya.
“Pak Brata, lama tidak kelihatan di kebun,” ucap seorang pria paruh baya dengan senyum lebar. “Kabar baik, kan?”
“Baik, Pak Ahmad,” jawab Brata sambil menjabat tangan pria itu dengan hangat. “Saya cuma memastikan keluarga bisa melihat langsung kerja keras kalian di sini.”
Arya, yang duduk di samping Brata, memanfaatkan momen itu untuk menggali lebih banyak informasi. “Pak Ahmad, sudah berapa lama Bapak bekerja di sini?”
Ahmad tertawa kecil. “Sejak awal kebun ini dibangun, Nak. Dulu saya transmigran dari Jawa Tengah. Awalnya susah sekali, tanahnya keras, banyak batu. Tapi keluarga kalian memberikan kami pelatihan, pupuk, dan bibit yang bagus. Sekarang, lihatlah! Kebun ini jadi tempat kami menggantungkan hidup.”
Arya mengangguk, kagum dengan dampak besar program inti-plasma. “Lalu, bagaimana hasil panennya, Pak?”
“Alhamdulillah, panen sawit tahun ini sangat baik. Berkat pabrik CPO di sini, kami bisa langsung menjual hasilnya tanpa harus mengirim jauh-jauh. Semua jadi lebih mudah.”
***
Setelah makan siang, Sulastri mengajak Arya untuk melihat pabrik pengolahan CPO dan lateks yang berada tidak jauh dari area kebun. Bangunan pabrik menjulang tinggi, dengan cerobong asap yang mengeluarkan kepulan tipis. Di dalam, suara mesin bergemuruh, dan aroma khas sawit memenuhi udara.
Seorang manajer pabrik, Pak Surya, menyambut mereka dengan senyuman. “Selamat datang, Bu Sulastri, Pak Arya. Kami sedang memproses buah sawit dari panen pagi tadi.”
Arya mengamati dengan penuh minat saat Surya menjelaskan proses pengolahan. Dari pemisahan tandan buah segar hingga ekstraksi minyak mentah, semuanya dilakukan dengan efisien. Surya juga menjelaskan bagaimana limbah dari pabrik digunakan untuk membuat pupuk organik, menciptakan siklus produksi yang berkelanjutan.
“Kami berusaha memanfaatkan semua yang ada,” kata Surya. “Limbah cair diolah menjadi pupuk cair, sementara serat dan cangkang digunakan sebagai bahan bakar boiler.”
Arya merasa terkesan. “Ini benar-benar pabrik yang terintegrasi. Tidak hanya menghasilkan CPO, tapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.”
“Betul sekali, Nak Arya,” jawab Surya. “Semua ini berkat visi besar keluarga kalian.”
***
Saat perjalanan kembali ke rumah, Arya duduk diam di kursi belakang, memandangi hamparan hijau kebun sawit yang perlahan menghilang dari pandangan. Pikiran Arya dipenuhi berbagai gambaran tentang masa depan. Ia merasa kagum sekaligus terbebani dengan tanggung jawab besar yang kini ia miliki.
“Ibu,” kata Arya tiba-tiba, memecah keheningan, “Saya tidak pernah membayangkan kehidupan ini akan sangat berbeda dari sebelumnya.”
Sulastri menoleh dan tersenyum lembut. “Kehidupan memang selalu penuh kejutan, Arya. Yang penting adalah bagaimana kita memanfaatkannya untuk kebaikan.”
Arya mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi berbagai rencana. Ia tahu bahwa dengan pengetahuannya tentang masa depan, ia bisa membawa keluarga mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi ia juga sadar, tanggung jawab itu tidak mudah.
***
Ketika mobil memasuki halaman rumah, senja mulai menyelimuti Sekayu. Amanda yang kelelahan tertidur di pangkuan Sulastri, sementara Arya turun dari mobil dengan hati yang penuh semangat. Hari itu bukan hanya kunjungan biasa, tetapi sebuah pengingat akan warisan besar yang harus ia jaga dan kembangkan.
Arya memandang langit yang mulai gelap. Dalam hati, ia bersumpah untuk memanfaatkan peluang yang ada, tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
“Ini baru permulaan,” bisiknya pelan.
note: Tolong bantu komen, like dan share agar author lebih semangat bercerita.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa