Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilamar
Rasanya mulut Rihana kaku saat mengunyah baksonya. Tatapan Alexander padanya seolah hendak menembus dasar hatinya.
Tapi yang agak aneh, Rihana juga merasa bos besarnya juga sesekali menatapnya.
Walau senang, hatinya juga sedih.
Apa papanya sudah bisa merasakan kehadirannya?
Syukurlah teman temannya ngga menyadari tatapan Alexander padanya. Mereka hanya terfokuskan pada rasa gugup dan deg degan karena laki laki yang mereka bicarakan berada ngga jauh dari mereka.
"Aku ngga bisa kenyang nih, makan kalo gini," bisik Seli dengan senyum lebarnya.
Rukma dan Ratna ngikik perlahan. Begitu juga Puspa dan Milfa. Sedangkan Winta hanya tersenyum kecil.
Biarpun ngga bisa digapai, ngga apa apa, kan, dinikmati keindahannya saja? Itu prinsip mereka.
"Mengapa ada perempuan seberuntung Aurora," bisik Rukma membuat dada Rihana nyesak lagi.
Ya, Auroa adalah main leadnya. Dia hanya second lead.
"Kaya raya, cantik, juga pintar dan terkenal," sambung Winta mengabsen kelebihan Aurora.
"Pasti Alexander ngga akan menolaknya. Bidadari begitu," imbuh Ratna dengan tatapan iri.
"Orang kaya pasangannya ya orang kaya. Orang cantik sama orang tampan. Kita yang pas pasan juga dapatnya yang pas pasan," tawa Rukma membuat mereka pun tertawa pelan. Memyadari benar apa yang dikatakan Rukma.
Rihana tersenyum getir.
Tapi ngga salah, kan, kalo hatinya masih tetap berlabuh pada Alexander, apalagi laki laki itu tadi malam seperti memberinya banyak harapan.
Rihana ngga bisa tidur, apa lagi sejam setelah kepergiannya, Alexander mengirimkan pesan ke nomer ponselnya. Entah dari mana Alexander tau nomernya.
Laki laki tampan itu ingin menjemputnya besok pagi, tapi terpaksa dia tolak, karena Puspa yang akan menjemputnya.
Rihana bingung jika nanti menolak Puspa. Ngga tau alasan apa yang bisa membuatnya percaya akan penolakan kebaikannya.
Rihana juga takut berdekatan dengan Alexander bisa membuat hatinya tambah berbunga bunga. Padahal dia tau jarak yang membentang di antara mereka semakin jauh.
Lebih tepatnya Rihana takut dengan harapan palsu yang diberikan Alexander.
Rihana menelan paksa baksonya sampai dia harus menelan banyak minum. Saat itulah dia melihat Alexander menunjuk ke ponselnya.
Rihana mengerti, dia pun membuka dompetnya dan melihat ponselnya
Ada satu pesan dari Alexander.
Alexander
Temui aku di halaman belakang kafe ini.
Rihana terdiam. Dia tertegun melihat Alexander sudah beranjak pergi ke arah belakang kafe.
Ngga mungkin Rihana langsung mengikuti. Dia pasti akan ketahuan.
Lagian laki laki ini terlalu nekat. Apa dia ngga tau akan ketahuan calon mertua dan kekasihnya.
Rihana memutuskan ngga akan menemui Alexander. Resikonya terlalu besar.
Tapi baru saja dia memutuskan begitu, ponselnya kembali berdenting.
Alexander menelponnya!
Pemaksa sekali dia.
"Emm... aku pergi bentar, ya. Ibu Saras menelpon," pamitnya terpaksa berbohong. Muka Rihana agak panik.
"Ada apa?" tanya Puspa dan Winta bersamaan. Wajah keduanya tampak cemas.
"Ngga apa apa. Ya, semoga. Sebentar, ya," pamitnya berusaha tenang.
"Oke."
Dengan agak terburu buru, Rihana berjalan ke halaman belakang, menemui Alexander yang sudah ngga sabar menunggunya.
"Eh," kaget Rihana ketika tangannya ditarik seseorang dan membawana ke balik tembok halaman belakang.
"Kenapa lama sekali?" tanya Alexander sambil melepaskan tangan Rihana. Bibirnya mengumbar senyum saat melihat wajah shock Rihana.
"Alex," ucap Rihana penuh tekanan.
"Ya," senyum Alexander begitu betah di bibirnya.
"Kamu terlalu lama," ucapnya santai ketika melihat mata Rihana masih menatapnya horor.
Ternyata di pertemuan keduanya ini, Alexamder sudah ngga setegang dan sekaku tadi malam.
"Ada bosku. Nanti aku bisa dipecat," omel Rihana sambil menenangkan detak jantungnya yang masih ngga beraturan.
"Bagus, kan. Kamu bisa langsung kerja jadi aspri ku," senyummya lagi. Tampak keluar dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Ngawur," decih Rihana dengan rona merah di wajahnya. Jantungnya pun masih belum normal.
Asisten pribadi?
Membayangkannya pun membuat pikirannya sudah melayang jauh ke arah yang ngga benar.
Alexander tersenyum lagi. Berdua bersama Zira-nya walau hanya sebentar membuat rasa bahagia menguar begitu saja di rongga dadanya.
Apa lagi mereka seperti maen petak umpet. Takut ketahuan orang orang yang bersama mereka. Sangat membuat jantung ngga berhenti joget dangdut remix.
"Aku dan Aurora ngga ada apa apa, kalo itu yang mau kamu dengar," jelas Alexander setelah beberapa lama kemudian.
"Ada apa apa juga ngga apa apa. Itu urusan kamu," tanpa bisa dicegah, Rihana menjawab dengan nada judes
Tersadar akan kesalahannya, Rihana memalingkan wajahnya menjauhi mata Alexander yang menatapnya nakal dan menggoda.
"Waktu aku mau berangkat kuliah ke Inggris, aku sempat mampir ke panti kamu. Sayangnya panti lagi kosong. Ngga ada orang," kata Alexander membuat Rihana menoleh, menatap dengan mata beriak.
Benarkah?
Waktu itu mereka sedang ziarah ke makam suami Ibu Saras, kemudian lanjut ke makam mamanya. Semua penghuni panti ikut. Karena setelahnya mereka diajak Ibu Saras makan di sebuah restoran yang cukup mewah untuk merayakan kelulusan Rihana.
"Mau buat surat udah ngga sempat lagi," kata Alexander menambahkan.
Rihana makin terpana. Matanya terus saja menyorot pada Alexander yang terus saja tersenyumn menatapnya.
Antara ngga percaya dan senang. Dia mengira Alexander akan meninggalkannya begitu saja.
"Harusnya aku buat surat, ya," kekehnya lagi.
Rihana tersenyum. Benar benar tersenyum.
Alexander meraih tangannya dan digenggam dengan erat.
Jantung Rihana semakin heboh berjoget dangdut remix. Tubuhnya terasa semakin hangat dengan perut yang mulai mulas. Semua rasa itu bercampur jadi satu.
"Zira, jadilah istriku."
Hening.
Sunyi
Senyap.
Rihana terpaku. Ngga menyangka kata kata itu yang keluar dari mulut Alexander. Mereka baru saja bertemu. Kemarin tepatnya as etakh hampir enam tahun tanpa kabar berita. Apa dia ngga bernimpi saat ini?
Alexander melamarnya?
"Maaf, tempatnya ngga romantis," candanya membuat bibir Rihana sedikit berkedut.
"Mama dan papaku sudah setuju, mereka mau bertemu kamu," sambung Alexander lagi. Matanya menatap penuh binar.
Rihana masih belum bisa menjawab. Seolah terkunci. Jantungnya semakin keras memukul dadanya.
Dia bahagia, sangat bahagia. Dalam keterpurukannya Alexander memberikan bahunya untuk dia sandarkan.
"Tapi Alex..." ucapnya mengambang. Rihana takut dia sedang bermimpi. Takut akan dihempaskan lagi oleh harapan tingginya pada Alexander.
"Tapi apa?" tanya Alexander mulai dilanda takut. Reaksi diam Rihana diisangka lain oleh dirinya.
Dia ditolak?
"Aku---."
Drrrtt ddrrrtt
Ucapannya terpotong oleh getar ponsel Alexander.
Alexander ngga menggurisnya. Dia menunggu kelanjutan omongan Rihana.
Dddrrrrtttt dddrrrrrrttt
Suara getar ponsel itu semakin panjang dan membuatnya ngga nyaman.
"Sebentar," Akhirnya Alexander melepaskam genggamannya dan mendekatkan ponselnya di telinganya.
"Kak Alex? Apa masih lama?" suara Aurora terdengar bertanya.
"Sebentar lagi aku ke sana," ucapnya sambil melihat Rihana yang menatap ke arah lain.
"Oke, kak."
Alexander langsung memutuskan ponselnya dan meraih tangan Rihana lagi.
"Ini kali kedua aku ingin memilikimu, Zira. Jangan tolak lagi," kata Alexander lembut dan penuh permohonan.
Rihana kaget. Kapan dia pernah nolak?
"Aku... aku hanya merasa ngga pantas buat kamu," jawab Rihana jujur.
Alexander tersenyum lega. Beban berat di dadanya terangkat dan lenyap.
"Nanti kita bicara lagi," katanya sambil mengelus sebentar pipi Rihana yang terpaku dengan perlakuannya.
Kemudian laki laki itu pergi meninggalkannya yang masih bergeming menatap punggungnya.