Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Makhluk menyebalkan itu muncul lagi.
Sayang sekali, kali ini Aline gagal untuk menghindar dari pandangannya.
Stev mendekat. "Ngaku sama aku, kamu ke sini buat mencari Raga. Benar?"
Aline melemparkan tatapan tidak suka kepada pria berwajah jenaka itu.
"Kalau kamu diam tandanya benar, kan?" goda Stev sembari terkekeh.
Aline menghela napas. Sejujurnya Aline tidak senang berhadapan dengan pria sejenis Stev. Tapi untungnya, saat ini Stev sedang tidak bersama Vany. Coba saja kalau mereka berdua yang memergoki Aline di sini, habis sudah Aline digoda oleh mereka.
"Maaf, Kak. Tapi aku tidak sedang mencari siapa-siapa di sini. Aku hanya kebetulan lewat saja tadi." Aline berusaha menjelaskan.
"Bohong. Kamu pasti mau ketemu Raga diam-diam, ya, 'kan?"
Astaga.
Aline menggelengkan kepala. Entah harus berapa kali lagi Aline menjelaskan pada Stev kalau ia dan Raga sama sekali tidak memiliki hubungan.
"Sejak kapan kalian saling mengenal? Apa Ode sudah tahu tentang hubungan kalian?"
Duh, Stev!
Aline menepuk keningnya. Ingin sekali Aline berteriak di depan wajah pria ini.
"Kalian pacaran, ya?" Stev mendekatkan wajahnya ke hadapan Aline.
Mata Aline melotot. Aline meneguk air liurnya.
Stev memiringkan senyuman.
Stev... pria ini benar-benar kurang ajar!
Mau dibilang berapa kali pun, Stev tetap tidak akan diam. Stev itu orang paling berbahaya di kampus ini. Pokoknya kesalahpahaman seperti itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kalau berita ini sampai menyebar ke yang lain, bisa-bisa hal ini akan menimbulkan masalah untuk kehidupan Aline dan Raga.
Aline tidak mau itu terjadi. Pelan-pelan Aline berusaha berbicara dengan Stev.
"Kak Stev sepertinya sudah salah paham padaku. Aku dan Kak Raga tidak sedekat itu. Kami juga baru kenal kemarin."
"Masa, sih? Tadi pagi kalian kelihatannya akrab sekali, tuh. Kayak orang pacaran."
"Nggak! Kami tidak punya hubungan seakrab itu. Sudah, dong."
"O, ya? Apa kamu serius?"
"Memang seperti itu kenyataannya, kok. Kalau Kak Stev nggak percaya juga nggak apa-apa."
"Oke. Kalau begitu, apa kamu bisa jelaskan soal ilustrasi mata yang kamu buat di kelas tadi?"
"Apa?
"Bukankah kamu menggambar sepasang matanya Raga?"
"Tentang itu..." Aline tergagap.
Sialan! Orang ini malah melemparkan serangan telak untuk Aline. Aline menarik napas perlahan. Kepalanya mulai pusing menghadapi pria penyebar gosip ini.
"Kalian pacaran, kan? Ayo, ngaku, deh!"
Sepertinya, Stev tidak akan berhenti untuk menggoda Aline sebelum gadis itu menyerah dan mengakui hubungan yang Stev tuduhkan padanya.
Aline memutar bola matanya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan.
Mereka diam sejenak.
Stev menyeringai. Alis kirinya terangkat.
Aline menggelengkan kepala.
"Terserah kakak saja. Aku tidak peduli dengan perkataan kakak. Yang jelas aku dan Kak Raga itu sama sekali tidak punya hubungan apa pun! Dan, tolong berhenti menyebarkan gosip seperti itu. Aku nggak mau senior dan mahasiswa lainnya jadi salah paham sama aku." tegas Aline.
Stev memandanginya. Ia tersenyum lalu menyentuh kepala Aline dengan lembut.
"Aku senang kamu marah. Ucucuuu... kamu lucu sekali, sih."
Tawa Stev membuat Aline melongo.
Apa Stev sudah tidak waras? Pikir Aline.
Stev memamerkan senyumannya, giginya yang berukuran kecil dan berwarna putih gading itu terekspos di hadapan Aline. Ini yang Aline tidak suka dari Stev, bau napasnya yang beraroma nikotin.
"Selamat! Kamu lulus ujian dariku."
"Ujian?"
"Yup. Dan, sekarang kamu sudah boleh bergabung di auditorium kami."
"Heh?" Aline kelihatan bingung.
"Sini, sini!"
Stev mengajak Aline duduk di bangku panjang dekat pintu. Stev kemudian menjelaskan alasannya menggoda Aline seperti tadi.
Stev bercerita, katanya dua tahun lalu pernah ada kejadian yang membuat Raga hampir mendekam di penjara. Ada seorang gadis yang sempat ditolong Raga dan dibawa ke auditorium itu. Karena Raga bersikap baik kepada gadis itu, gadis itu jadi sering datang ke auditorium untuk sekadar menyapa Raga dan memberikan hadiah.
Selama kuliah di kampus ini, gadis itu sering membual kepada teman-temannya. Ia bahkan mengarang cerita kalau Raga sudah mengajaknya berkencan.
Seluruh mahasiswa di kampus ini percaya kalau gadis itu memang memiliki hubungan khusus dengan Raga. Pasalnya, gadis itu sering keluar masuk auditorium dan selalu membagikan foto-foto kebersamaan mereka di akun Instagram pribadinya. Padahal Raga tidak pernah sekali pun menyatakan bahwa ia menyukai gadis itu.
Dan, setelah beberapa bulan gadis itu menjadi mahasiswa di Trapunto, gadis itu justru dikabarkan sedang berbadan dua. Semenjak kabar kehamilannya tersiar, gadis itu sudah tidak pernah terlihat di kampus. Namun satu pekan kemudian, gadis itu ditemukan tewas di persimpangan jalan dekat rumahnya Raga.
Semua orang mendemo Raga atas kematian gadis itu. Para mahasiswa beserta orang tua gadis itu bahkan melaporkan Raga ke polisi. Raga sampai harus bermalam di sel untuk dimintai keterangan oleh kepolisian.
Untunglah, keluarga Raga cepat bertindak dan menemukan pelaku sebenarnya yang telah membunuh serta melakukan pelecehan seksual terhadap gadis itu.
"Jadi, semenjak itu Raga menjadi laki-laki berdarah dingin. Dia tidak pernah tertarik pada gadis-gadis di kampus ini." Stev mengakhiri ceritanya.
Aline yang sedari tadi mendengarkan dengan penuh antusias, merasa ada sesuatu yang hangat terjatuh dari pelupuk matanya.
"Kasihan sekali Kak Raga." ucap Aline, sembari mengusap setetes air bening di ujung dagunya.
Stev melirik Aline, lalu mengembuskan napas.
"Itu belum seberapa. Raga masih punya duka lain yang tidak pernah dia perlihatkan pada orang selain aku."
Giliran Aline yang melirik Stev. "Duka apa?"
Stev menggeleng. "Urusan itu aku tidak bisa mengatakannya padamu."
"Kalau nggak niat buat bahas, kenapa Kak Stev memberitahu aku?"
Stev tertawa kecil. "Hanya sekilas info boleh, kan? Kalau mau tahu lebih lanjut, hubungi saja orangnya langsung."
Aline mendesis.
"Maaf ya, tadi bercandaku sudah keterlaluan. Kamu pasti kesal padaku, kan?" ujar Stev serius.
"Tidak apa-apa, kok. Aku mengerti."
Stev mendesah kecil. "Raga itu selalu lemah terhadap perempuan. Terutama pada gadis yang mirip seperti kamu. Jadi, sebagai sahabat terdekatnya, aku sudah bertekad untuk melindungi Raga dari gadis manapun. Aku tidak akan membiarkan Raga terjebak untuk yang kedua kali. Jadi, karena itu..." Stev menghentikan ucapannya.
"Karena itu Kak Stev berhak mencurigai aku, kan?" Aline melempar pandangan keras pada Stev.
Stev nyengir.
"Sori, Lin. Tapi ini nggak seperti yang kamu pikirkan, kok." Stev memainkan rambut pendek bergaya layered undercut itu dengan sepasang tangannya.
Stev kelihatan gugup. Sejurus kemudian ia membuang napas dan kembali berbicara.
"Sebisa mungkin aku tidak mau menjadi kacang yang lupa pada kulitnya. Karena itu, hanya ini saja yang bisa aku lakukan untuk balas budi sama Raga." Stev terlihat sungguh-sungguh.
"Balas budi? Balas budi apa maksud kakak?" Dahi Aline mengernyit.
Stev mengembuskan napas panjang. "Aku cuma kasih tahu ke kamu saja, ya. Jujur, aku itu punya hutang nyawa dan harta sama Raga. Raga sudah mendonorkan darahnya dan membantu membiayai rumah sakit ibu serta pendidikan adik-adik aku sampai hari ini."
Saat itu wajah Stev yang jenaka jadi terlihat serius sekali. Aline dapat merasakan kalau Stev memang tulus berteman dengan Raga.
"Jadi Kak Stev dan Kak Raga itu ..."
Stev mengangguk. "Kami sudah berteman dari kecil."
"Oh." Aline mangut-mangut.
"Begitulah. Sedari dulu Raga orangnya dingin. Sulit banget buat dekat sama orang lain. Tetapi dulu dia tidak sedingin sekarang. Sebenarnya dia itu orangnya baik banget ..."
Stev menghela napas. "Kalau aku bahas Raga, aku jadi ingat kehidupan masa kecil kami. Entah kenapa dari dulu Raga itu hobi sekali membantu orang yang kesulitan. Tapi, ya, saking baiknya dia ada saja orang yang memanfaatkan kebaikannya. Raga itu nggak pernah bisa menolak, apalagi jika ada wanita yang menangis di hadapannya. Ah, sudahlah... pokoknya sebagai sahabat, aku hanya ingin melindungi dia dari gadis-gadis seperti itu."
Aline memperhatikan bentuk muka Stev. Urat-urat di leher Stev mulai kelihatan tegang, tangannya mengepal dan sekali-sekali ditepukkan ke pinggir bangku.
Aline berkata. "Kak Stev masih mencurigai aku, ya?"
"Ha? Tidak, tidak. Kalau sekarang sudah tidak."
Stev nyengir. Sekejap saja ekspresinya kembali seperti biasa, dengan wajah jenaka yang menyebalkan.
"Setelah aku perhatikan, kamu itu berbeda dari gadis-gadis yang aku bicarakan tadi. Serius."
Hah... Aline sudah tak bertenaga untuk bertengkar dengan laki-laki ini. Kepalanya sudah terlalu berat memikirkan hal-hal lain.
Beberapa saat kemudian Ode muncul dari laboratorium sewing, membawa segulung kain berdua dengan Levi.
"Aline? Loh, kalian sedang apa di sini? Nunggu aku?" tanya Ode.
Aline menyapa Ode dengan melambaikan tangannya.
"Sudah lama?"
Suara lembut Ode selalu terdengar ramah diiringi oleh senyum manis yang mengembang di bibirnya.
Aline tersenyum dan mengangguk kecil.
Levi menengok ke arah Aline. Matanya sedikit menyipit. "Kamu teman Uli yang tadi, kan?"
Aline mengangguk lagi.
"Bukannya Sir Julian sudah menyuruh kalian pulang, ya? Kenapa kamu masih berkeliaran di sini?" tanya Levi dengan suara serak khasnya.
Aline kaget. Ia langsung menundukkan kepala.
"Aku yang suruh Aline ke sini, kok, Lev." Ode berbohong.
"Oh, begitu. Jadi Ode yang suruh kamu ke sini? Pantas saja." Stev melirik Aline, tingkahnya jadi serba salah.
Aline malah bingung. Ia menatap Ode yang sedang mengedipkan sebelah matanya.
"Ma, Maaf. A, aku... aku pamit duluan, Kak." Aline beranjak dari kursi, membungkukkan badannya satu kali lalu berlari melewati tangga darurat.
"Lho? Aline!" Ode baru saja akan mengejar tapi sebelah tangannya ditahan oleh Levi.
"Biarkan dia pergi. Tidak baik kalau kita dekat-dekat dengan mahasiswa baru itu. Lagi pula, gadis itu bisa saja terkena masalah kalau dia dibiarkan keluar masuk ruang istirahat kita."
"Tapi, Lev—"
Levi menyentuh mulut Ode dengan jari telunjuknya. "Percaya saja padaku. Kamu nggak mau, kan, dia jadi bahan gosip di kampus kita?"
Ode terlihat kecewa. Ia hanya bisa menatap punggung Aline yang kini mulai tidak terlihat di ujung tangga.
Levi menempatkan sebelah tangannya di pundak Ode. Menepuk-nepuk pundak itu dengan perlahan. "Kamu harus percaya kalau dia akan baik-baik saja, oke?"
Ode mengembuskan napas. "Ya, semoga saja dia masih baik-baik saja."
Ode menghempaskan tangan Levi. Ia berbalik, membuka kunci auditorium. Mereka bertiga kemudian masuk dengan perasaan yang tidak karuan.