NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta CEO Duda

Mengejar Cinta CEO Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Diam-Diam Cinta
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: triani

Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20, kedatangan tak terduga

Matahari siang bersinar terik di atas rumah megah Aditya ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu utama. Nadia turun dengan penampilan sempurna seperti biasanya—gaun mahal, tas berkelas, dan riasan yang tidak ada cacat. Namun, di balik senyumnya yang anggun, ada misi tersembunyi yang membuat niatnya menjadi tidak sebaik yang ia tunjukkan.

Alya sedang berada di ruang tamu bersama Tara, mengawasi gadis kecil itu yang sedang menggambar. Keduanya tertawa kecil ketika Tara menunjukkan hasil gambar kucing lucunya. Namun, tawa itu terhenti ketika suara bel pintu menggema di seluruh rumah.

“Siapa ya?” gumam Alya sambil bangkit untuk membuka pintu.

Saat pintu terbuka, Alya terkejut melihat sosok Nadia berdiri di sana. Nadia memberikan senyuman tipis yang tampak lebih dingin daripada ramah.

“Halo, Alya. Aku datang untuk bertemu Tara,” katanya tanpa basa-basi.

---

Alya mengangguk sopan, meskipun hatinya mulai gelisah. “Tentu. Silakan masuk,” katanya sambil mempersilakan Nadia masuk ke ruang tamu.

Begitu Tara melihat Nadia, matanya membesar. “Mama?”

Nadia langsung mendekat dan berlutut di depan Tara, mencoba menunjukkan sisi keibuannya. “Hai, sayang. Mama sangat merindukanmu,” katanya dengan suara lembut.

Tara tampak bingung, tetapi akhirnya mengangguk pelan. “Mama... kenapa datang sekarang?”

Nadia tersenyum dan mengusap rambut Tara. “Mama hanya ingin melihatmu. Mama tahu Mama sudah lama tidak datang. Tapi mulai sekarang, Mama akan sering bertemu denganmu, oke?”

Alya, yang mengamati dari samping, tidak bisa menahan perasaan bahwa ada maksud lain di balik kedatangan Nadia. Ia mencoba bersikap netral, tetapi tatapan Nadia ke arahnya menunjukkan bahwa ia dianggap sebagai penghalang.

---

Nadia mengambil kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya pada Tara. “Ini hadiah dari Mama. Sepatu balet baru. Mama ingat kamu suka sekali balet.”

Tara membuka kotak itu dan melihat sepatu cantik yang dihiasi pita. Ia tersenyum kecil, tetapi tidak seantusias yang Nadia harapkan.

“Terima kasih, Mama. Tapi aku sudah punya sepatu dari Alya. Dia yang membelikan untukku minggu lalu,” jawab Tara polos.

Wajah Nadia sedikit mengeras, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. “Oh, itu bagus. Tapi yang ini lebih spesial, sayang. Mama memilihnya langsung untukmu.”

Alya merasa bahwa suasana mulai canggung, jadi ia mencoba membantu. “Sepatunya cantik sekali, Tara. Kamu bisa memakainya untuk latihan balet nanti.”

Tara mengangguk sopan, tetapi ia kembali mendekat ke Alya, seolah mencari kenyamanan. “Alya, kapan kita latihan lagi?”

---

Melihat kedekatan Tara dengan Alya, Nadia merasa terganggu. Ia menatap Alya dengan senyum yang tampak palsu. “Alya, terima kasih sudah menjaga Tara sejauh ini. Tapi kamu tahu, seorang anak tetap membutuhkan ibunya, bukan?”

Alya tersenyum sopan, meskipun hatinya sedikit tersengat. “Tentu, Bu Nadia. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk Tara. Saya tahu dia sangat merindukan kasih sayang dari ibunya.”

Nadia menatap Tara lagi. “Sayang, bagaimana kalau kita pergi berdua hari ini? Mama ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu.”

Tara tampak ragu. “Tapi... aku sudah berjanji pada Alya untuk menyelesaikan proyek menggambar kami.”

Wajah Nadia kembali menunjukkan ketidakpuasan. “Proyek menggambar bisa menunggu, sayang. Waktu dengan Mama lebih penting, bukan?”

---

Alya menyadari situasi ini bisa menjadi konflik yang lebih besar jika tidak ditangani dengan hati-hati. Ia berjongkok di samping Tara dan berkata dengan lembut, “Tara, bagaimana kalau kamu pergi dengan Mama hari ini? Aku akan menyimpan proyek kita untuk nanti, dan kita bisa melanjutkannya besok. Ini kesempatan yang bagus untuk bersenang-senang dengan Mama.”

Tara menatap Alya dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Oke, Alya. Tapi nanti aku boleh cerita ke Alya tentang hariku, kan?”

“Tentu saja,” jawab Alya sambil tersenyum.

Nadia berdiri dengan penuh kemenangan. “Terima kasih, Alya. Kamu sangat pengertian.”

---

Saat Nadia membawa Tara keluar, Alya tidak bisa menahan perasaan bahwa ini bukan sekadar kunjungan biasa. Nadia jelas memiliki agenda tersembunyi, dan Alya tahu bahwa ia harus tetap waspada.

Di sisi lain, Aditya, yang baru pulang dari kantor, melihat Nadia pergi bersama Tara dari kejauhan. Ia mendekati Alya dengan alis terangkat. “Apa yang dia lakukan di sini?”

Alya menoleh dan menghela napas. “Dia ingin bertemu Tara. Saya pikir mungkin Tara memang perlu waktu dengan ibunya.”

Aditya menatap ke arah mobil yang menjauh, lalu kembali ke Alya. “Kau terlalu baik, Alya. Nadia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.”

Alya hanya tersenyum kecil. “Tara adalah prioritas saya, Pak Aditya. Selama dia bahagia, itu cukup bagi saya.”

Aditya terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih.”

Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa kedatangan Nadia hanya akan menambah rumit kehidupan mereka yang sudah sulit.

Setalah masuk ke dalam mobil, Tara terlihat begitu senang. Ia memakai sepatu balet baru yang diberikan Nadia dan membawa buku gambarnya, berharap bisa menunjukkan hasil karyanya kepada sang mama. Nadia mengajaknya pergi ke sebuah restoran mewah di pusat kota dan menjanjikan waktu yang berkualitas. Namun, harapan Tara mulai luntur ketika mamanya lebih sering sibuk dengan ponsel daripada berbicara dengannya.

Di restoran, Nadia menerima panggilan telepon yang panjang, berbicara dengan rekan bisnisnya, dan sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Tara hanya duduk diam, menggambar di buku gambarnya untuk mengusir rasa bosan. Ketika Tara mencoba menunjukkan hasil gambarnya, Nadia hanya memberikan senyuman kecil dan berkata, “Bagus, sayang,” tanpa benar-benar melihat.

****

Ketika mereka kembali ke rumah Aditya, Tara masuk dengan wajah lesu. Sepatu baletnya yang tadi ia pamerkan dengan bangga sekarang tampak dilangkahinya begitu saja di pintu masuk. Alya, yang sedang menata meja makan, langsung menyadari perubahan suasana hati Tara.

Alya berjongkok di depan Tara dengan lembut. “Tara, ada apa? Kamu kelihatan sedih. Bukankah kamu senang pergi dengan Mama hari ini?”

Tara menggelengkan kepala dan menatap Alya dengan mata berkaca-kaca. “Alya, Mama tidak benar-benar peduli padaku, ya?”

Pertanyaan itu membuat Alya terkejut. Ia menarik kursi untuk duduk di samping Tara, mencoba memberikan kenyamanan. “Kenapa kamu bilang begitu, Tara? Tentu saja Mama peduli padamu. Dia bahkan meluangkan waktu untuk bertemu denganmu hari ini.”

Tara menggeleng lagi, kali ini dengan lebih tegas. “Mama cuma sibuk dengan telepon dan laptopnya. Aku tunjukkan gambarku, tapi dia cuma bilang bagus tanpa melihat. Dia bilang kita akan ke taman, tapi malah batal karena dia bilang harus kerja. Apa Alya juga sibuk kalau aku mau cerita?”

Alya merasa hatinya tersentuh mendengar keluhan Tara. Ia mengusap rambut gadis kecil itu dengan lembut. “Tidak, Tara. Alya selalu ada untuk kamu. Kamu bisa cerita kapan saja.”

Tara terdiam sejenak, lalu memeluk Alya erat-erat. “Aku kangen punya Mama yang seperti Mama teman-temanku. Mereka main sama anaknya, masak bareng, atau sekedar ngobrol. Tapi Mama nggak begitu. Apa aku salah kalau aku mau Mama lebih peduli?”

Alya menatap Tara dengan penuh kasih. Ia tahu ini adalah momen yang sensitif dan membutuhkan pendekatan yang tepat. “Tara, kamu tidak salah. Semua anak pasti ingin diperhatikan oleh mamanya. Itu wajar. Tapi tahu nggak? Kadang, orang dewasa juga punya banyak masalah yang mereka nggak bisa ceritakan. Mungkin Mama kamu ingin lebih dekat dengan kamu, tapi dia belum tahu caranya.”

Tara menatap Alya dengan tatapan penuh kebingungan. “Kenapa nggak tanya Alya? Alya kan tahu caranya.”

Alya tersenyum kecil, merasa bangga sekaligus sedih mendengar kepercayaan Tara padanya. “Mungkin Mama kamu perlu waktu untuk belajar, Tara. Sementara itu, kamu bisa berbagi ceritamu sama Alya atau Ayahmu. Kita semua sayang sama kamu.”

Tara menghela napas panjang. “Tapi Ayah juga sibuk. Dia selalu kerja. Kalau nggak ada Alya, aku cuma sendiri.”

Tanpa mereka sadari, Aditya berdiri di ambang pintu, mendengarkan percakapan itu. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ia perlahan masuk ke ruang tamu, membuat Alya dan Tara terkejut.

“Tara,” kata Aditya dengan suara lebih lembut dari biasanya. “Ayah dengar apa yang kamu bilang tadi. Ayah minta maaf kalau selama ini Ayah terlalu sibuk.”

Tara menatap ayahnya dengan mata besar, seolah tidak percaya bahwa Aditya benar-benar mendengarkan. “Ayah dengar?”

Aditya mengangguk dan berlutut di depan Tara. “Iya. Ayah dengar, dan Ayah janji akan mencoba lebih sering meluangkan waktu untuk kamu. Ayah tahu Ayah belum jadi ayah yang baik, tapi Ayah ingin belajar, sama seperti Mama kamu.”

Alya yang melihat momen itu merasa hatinya hangat. Ia berdiri pelan-pelan, memberi ruang untuk keduanya. Namun sebelum ia sempat pergi, Tara meraih tangannya.

“Alya juga harus ikut. Kalau nggak ada Alya, aku takut aku tetap sendiri,” kata Tara dengan suara kecil.

Aditya menatap Alya, dan meskipun ekspresinya tetap kaku, ada rasa terima kasih yang tersirat di matanya. “Tara benar. Kamu sudah banyak membantu kami, Alya. Terima kasih.”

Alya tersenyum lembut dan mengangguk. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Tara. Dia adalah anak yang luar biasa.”

-

Malam itu, untuk pertama kalinya, Aditya memutuskan untuk menyisihkan pekerjaan dan makan malam bersama Tara dan Alya di meja makan. Tara mulai tersenyum lagi, merasa bahwa keluarganya perlahan-lahan menjadi lebih hangat.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Alya masih merasa cemas. Kedatangan Nadia jelas meninggalkan jejak pada perasaan Tara, dan ia tahu bahwa ini bukan akhir dari konflik. Tetapi untuk malam ini, ia memilih untuk fokus pada tawa Tara yang memenuhi ruangan. Karena bagi Alya, itulah yang terpenting.

Bersambung

Happy reading

1
yuning
semangat Alya
yuning
ada yang mencair
yuning: hatiku say 😁
Tri Ani: tapi bukan es, apa tuhhhh😁
total 2 replies
yuning
aku ikutan menghangat
yuning
waalaikumsalam,sama sama Thor
Nursina
seru lanjutkan
Entin Fatkurina
so aweet
Tri Ani: makacihhhhhh
total 1 replies
yuning
calon istri idaman
yuning
menjadikan Alya istrimu solusinya
SRI JARWATI
Mama alya ....uuh pasti happy banget si tara , mwmiliki mama pengganti yg lpsmuh kasih sayang
SRI JARWATI
Semengat Tara , kamu memang anak yg cerdas.
SRI JARWATI
Bagus banget ceritanya, aqu suka
SRI JARWATI
Dasar manusia es , nyebelin
SRI JARWATI
Jangan menyerah alya , kamu pasti bisa mencairkan manusia dingin itu , semangat
SRI JARWATI
Terus semangat alya
SRI JARWATI
Semangat alya , kamu bisa
SRI JARWATI
Tuan CEO nya dingin banget ya , iihh serem
SRI JARWATI
Ceritanya bagus , selalu bikin penasaran dan menambah wawasan bagi yg belum berpengalaman
SRI JARWATI
Bagus banget cara merayunya /Good/
yuning
sarangheo
yuning
Alya calon ibu dari anak anak kamu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!