Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan yang Membakar
Hari pemakaman Selir Agung Yi-Ang tiba. Langit yang kelabu seolah menggambarkan suasana hati seluruh istana. Para pelayan, bangsawan, dan petinggi kerajaan berdiri berjajar di pelataran utama, mengenakan pakaian duka berwarna putih. Prosesi itu penuh dengan kehormatan, tetapi tidak ada yang bisa menyembunyikan kabut duka yang menyelimuti semuanya.
Zharagi Hyugi berdiri di depan barisan, mengenakan jubah hitam kebesarannya. Wajahnya dingin, tetapi matanya masih menyiratkan kesedihan yang dalam. Dalam pelukannya, Putera Mahkota yang masih bayi digendong dengan hati-hati. Bayi itu tertidur dengan damai, seolah tidak menyadari betapa berat beban yang menanti di pundaknya.
Saat peti mati Yi-Ang mulai diangkat oleh empat orang prajurit pilihan, langkah mereka lambat dan penuh kehormatan. Zharagi mengikutinya dari belakang, setiap langkahnya terasa seperti menusuk hatinya. Bayi dalam pelukannya bergerak sedikit, membuatnya menoleh dengan lembut.
“Kau akan tahu, Puteraku, betapa mulianya ibumu,” bisiknya pelan, hanya untuk dirinya sendiri.
Ketika peti mati itu tiba di tempat peristirahatan terakhir, Zharagi melangkah maju. Semua orang menahan napas saat dia berdiri di hadapan peti tersebut. Tangan Zharagi gemetar saat dia menyentuh peti itu untuk terakhir kalinya.
“Selir Yi-Ang adalah cahaya di hidupku,” katanya, suaranya bergetar tetapi tegas. “Dia adalah wanita yang berdiri di sisiku dalam segala kesulitan, yang memberi kekuatan saat aku lemah, dan yang menghadiahkan aku putra ini, penerus Dinasti Huang. Dia yang sangat aku cintai.”
Dia menarik napas dalam, menahan emosinya yang hampir meluap. “Aku bersumpah di hadapan seluruh kerajaan, aku akan menjaga Putera Mahkota, dan aku akan memastikan dia mendapatkan tempatnya di takhta. Tidak ada yang akan menghalangi, tidak ratu, tidak klan, tidak siapa pun. Ini adalah janji seorang raja dan seorang suami.”
Suasana hening. Hanya suara rintik hujan yang terdengar. Kata-kata Zharagi menjadi pengingat bagi semua orang bahwa kekuasaan dan cinta bisa menjadi dua sisi yang sama beratnya.
Setelah upacara selesai, Zharagi kembali ke ruang pribadinya, menolak ditemani siapa pun. Dia meletakkan Putera Mahkota di tempat tidurnya, lalu duduk di sampingnya.
“Lihatlah wajah kecilmu,” gumamnya pelan, menatap bayi itu. “Kau mirip ibumu. Aku akan menjagamu dengan seluruh hidupku. Kau adalah harapan terakhirku, harapan terakhir dinasti ini.”
Namun, di balik tekadnya, Zharagi tahu tantangan yang akan dihadapinya tidak akan mudah. Dia sudah melihat bagaimana tatapan dingin Ratu Hwa dan petinggi klan selama prosesi tadi. Mereka tidak menyembunyikan ketidaksenangan mereka terhadap Putera Mahkota.
Zharagi memejamkan matanya sejenak, menggenggam jemari kecil bayi itu. “Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu,” janjinya lagi, kali ini hanya untuk didengar dirinya sendiri.
Di luar, hujan terus mengguyur, membawa firasat bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.
Malam yang sunyi menyelimuti Istana Huang setelah prosesi pemakaman selesai. Di balik tembok megah itu, bayang-bayang intrik mulai bergerak. Ratu Hwa duduk di kamarnya, dikelilingi oleh beberapa petinggi klan yang setia padanya. Wajahnya dingin dan penuh tekad.
“Selir Agung Yi-Ang sudah tiada,” katanya dengan suara rendah namun tegas. “Namun, keberadaan anak itu tetap menjadi ancaman bagi posisiku.”
Seorang pria tua dengan janggut putih, pemimpin salah satu klan terkuat, mengangguk setuju. “Ratu benar. Putera Mahkota dari Yi-Ang akan menarik perhatian para bangsawan muda yang haus kekuasaan. Jika dia tumbuh dewasa, posisinya akan sulit digoyahkan.”
Ratu Hwa mengepalkan tangannya, matanya memancarkan kebencian. “Aku tidak akan membiarkan seorang anak dari selir menguasai takhta. Takhta ini adalah milik putra yang seharusnya aku lahirkan.”
“Tetapi, Yang Mulia,” seorang penasihat lain angkat bicara, “Raja Zharagi telah bersumpah di depan seluruh kerajaan bahwa Putera Mahkota akan menjadi penerusnya. Jika kita melawan secara terang-terangan, kita akan dianggap sebagai pengkhianat.”
Ratu Hwa menyeringai tipis, mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri. “Aku tidak memerlukan pemberontakan terang-terangan. Kita hanya perlu membuat Raja Zharagi kehilangan pijakannya. Dia sedang dalam masa berkabung, hatinya rapuh. Kita bisa menggunakannya untuk menjatuhkannya.”
Mereka mulai merencanakan langkah-langkah licik, sementara di kamar lain, Zharagi duduk dengan gelisah di samping tempat tidur Putera Mahkota.
Bayi kecil itu mulai terbangun, menangis dengan suara lirih. Zharagi segera menggendongnya, menenangkan dengan lembut. “Tenanglah, Puteraku. Ayah ada di sini.”
Saat dia memandangi wajah kecil yang polos itu, sebuah tekad baru muncul di hatinya. Tidak peduli seberapa besar rintangan yang dihadapinya, dia tidak akan membiarkan putranya menjadi korban ambisi orang lain.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Menteri Agung Liu Zheng masuk dengan sikap hati-hati. Dia adalah salah satu orang yang paling dipercaya Zharagi. Wajahnya tegang, membawa kabar yang tidak menyenangkan.
“Yang Mulia,” kata Liu Zheng dengan suara rendah, “saya baru saja mendengar kabar bahwa beberapa petinggi klan mengadakan pertemuan rahasia dengan Ratu Hwa malam ini. Saya khawatir mereka sedang merencanakan sesuatu.”
Zharagi mengangkat alisnya, meskipun dalam hatinya dia tidak terkejut. “Tentu saja mereka akan mencoba sesuatu,” gumamnya. “Namun, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Putera Mahkota.”
“Ratu Hwa memiliki banyak pendukung,” Liu Zheng memperingatkan. “Jika mereka bergerak bersama, situasi ini bisa menjadi jauh lebih rumit.”
Zharagi menatap Liu Zheng dengan mata yang dipenuhi ketegasan. “Aku sudah kehilangan Yi-Ang. Aku tidak akan kehilangan putraku juga. Siapkan pengawal terbaik untuk menjaga Putera Mahkota. Dan kau, Liu Zheng, cari tahu apa rencana mereka. Aku ingin tahu setiap detailnya.”
Liu Zheng membungkuk dalam-dalam. “Tentu, Yang Mulia. Saya akan memastikan Putera Mahkota aman.”
Setelah Liu Zheng pergi, Zharagi kembali memandang putranya yang sudah tertidur di pelukannya. “Kau adalah masa depan kerajaan ini,” katanya dengan nada lembut. “Dan aku akan memastikan tidak ada yang mengambilnya darimu.”
Di luar kamar itu, awan gelap terus menggantung di atas istana, membawa firasat bahwa masa depan Dinasti Huang akan penuh badai.
Malam yang hening menjadi saksi ketegangan yang terus membara di istana. Di aula rahasia yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk istana, Ratu Hwa mengadakan pertemuan dengan beberapa petinggi klan. Mereka duduk melingkar di sekitar meja rendah, lilin-lilin kecil menerangi wajah mereka yang tegang.
“Liu Zheng,” ujar salah satu petinggi klan, pria tua bernama Wei Guang, “dia akan menjadi penghalang terbesar dalam rencana kita. Selama dia ada di sisi Raja Zharagi, kita tidak akan bisa melangkah lebih jauh.”
Ratu Hwa menyipitkan matanya. “Aku tahu. Liu Zheng adalah orang yang setia, tetapi dia bukan tak terkalahkan. Kita akan menemukan cara untuk membuatnya lengah.”
“Dan apa yang akan kita lakukan terhadap Putera Mahkota?” tanya seorang wanita berusia paruh baya yang dikenal sebagai Nyonya Xue, pemimpin klan Xue yang berpengaruh. “Jika kita tidak segera bertindak, anak itu akan semakin dilindungi oleh pengaruh Zharagi.”
Ratu Hwa menggenggam gelas teh di depannya dengan kuat. “Kita tidak perlu terburu-buru. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menciptakan celah dalam pemerintahan Zharagi. Setelah itu, kita akan membuat rakyat mempertanyakan kelayakan anak itu sebagai penerus.”
Wei Guang mengangguk pelan. “Menciptakan celah. Bagaimana caranya?”
Ratu Hwa tersenyum dingin. “Kita akan memulai dari rakyat. Kabar tentang hilangnya orang-orang di perbatasan semakin ramai. Aku ingin kalian menyebarkan rumor bahwa Raja tidak peduli dengan keselamatan rakyatnya, karena dia terlalu sibuk berkabung.”
Nyonya Xue menatap ragu. “Apakah itu cukup?”
“Tentu tidak,” jawab Ratu Hwa. “Tapi itu langkah awal. Jika kita bisa membuat rakyat meragukan Zharagi, para bangsawan yang belum menentukan posisi mereka akan mulai bergerak. Dan saat itu terjadi, kita akan mengambil langkah terakhir.”
Sementara itu, di ruang kerja pribadinya, Zharagi memandang peta besar yang terbentang di meja kayu. Liu Zheng berdiri di sisinya, menunjuk beberapa wilayah perbatasan yang menjadi titik utama gejolak.
“Wilayah ini, dekat dengan Sungai Huan,” kata Liu Zheng, “adalah tempat sebagian besar orang hilang. Prajurit yang kita kirimkan belum kembali, dan warga mulai menyebarkan cerita-cerita aneh.”
Zharagi mengernyit. “Cerita aneh apa?”
“Mereka percaya bahwa roh jahat dari gunung sebelah barat telah bangkit,” jawab Liu Zheng dengan hati-hati. “Namun, saya yakin ini hanyalah kebetulan. Mungkin ada perampok atau pemberontak yang memanfaatkan situasi ini.”
“Roh jahat?” Zharagi mengulangi dengan nada sarkastik. “Itu cerita yang bagus untuk menakut-nakuti rakyat.”
“Benar, Yang Mulia,” jawab Liu Zheng, “tetapi cerita seperti itu dapat digunakan untuk melawan Anda. Jika kita tidak bertindak cepat, rumor ini bisa menjadi senjata bagi para pemberontak.”
Zharagi terdiam sejenak, memikirkan langkah selanjutnya. “Aku akan pergi ke perbatasan sendiri,” katanya akhirnya.
Liu Zheng menoleh kaget. “Yang Mulia, itu terlalu berbahaya!”
“Aku tidak bisa hanya duduk di sini dan membiarkan rakyatku menderita,” tegas Zharagi. “Jika aku ingin menjaga kedudukan putraku, aku harus menunjukkan bahwa aku adalah raja yang layak. Persiapkan pasukan kecil untuk berangkat besok pagi.”
Liu Zheng tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Baik, Yang Mulia. Saya akan memastikan semua persiapan selesai malam ini.”
Di pagi hari, Zharagi meninggalkan istana dengan pasukan kecilnya. Hanya beberapa orang tahu tentang keberangkatannya, termasuk Liu Zheng yang tetap tinggal untuk mengawasi Putera Mahkota.
Namun, Ratu Hwa, yang mendengar kabar keberangkatan itu dari mata-matanya, tersenyum penuh kemenangan. “Ini adalah kesempatan kita. Dengan Zharagi pergi, aku bisa mulai menjalankan langkah berikutnya,” ujarnya kepada Wei Guang.