Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦶꦥꦸꦭꦸ
"Benar-benar pribumi yang selalu mengacau," ujar William dengan suara bergetar penuh emosi, matanya menyala penuh kebencian. Ia semakin geram karena setiap usaha yang dilakukannya untuk menguasai Pulau Jawa ini selalu terhalang oleh perlawanan keras dari penduduk lokal. Tidak ada hari tanpa gejolak. Setiap desa yang ia taklukkan, setiap benteng yang ia rusak, selalu ada saja orang-orang pribumi yang berani menentang dan menggagalkan rencananya.
Di dalam kamarnya yang dipenuhi peta dan rencana perang, William menatap dengan marah ke arah gambar pulau Jawa yang terukir di atas meja. "Mereka tidak mengerti, mereka tidak tahu siapa yang berkuasa sekarang," pikirnya dengan penuh kekesalan. Namun, di balik amarah itu, ada rasa cemas yang tumbuh dalam hatinya. Perlawanan yang semakin terorganisir membuatnya merasa kekuatan kolonial yang sudah menguasai banyak wilayah dunia ini mulai rapuh.
Kabar tentang perlawanan itu sudah sampai ke telinga para pejabat tinggi di Batavia, yang semakin mendesak untuk segera menundukkan seluruh wilayah Pulau Jawa. William tahu, jika ia gagal kali ini, ia akan dihukum berat. Namun, darah pemimpin yang tebal dalam dirinya membuatnya tetap bertekad untuk menundukkan Jawa, meskipun setiap langkahnya terasa seperti menghadapi badai.
"Pulang saja atau mati di sini," gumamnya dengan suara pelan, "tetapi jika aku menang, sejarah akan mencatatku sebagai orang yang menundukkan negeri ini." Dengan tekad yang lebih bulat, ia merencanakan serangan besar, berharap bisa menghancurkan perlawanan yang terus berkembang itu.
Di luar sana, desa-desa yang tersebar di seluruh Jawa, dengan penduduk yang tak kenal lelah berjuang, sedang mempersiapkan diri. Mereka tahu, perang ini bukan hanya tentang mempertahankan tanah, tapi tentang mempertahankan hidup mereka. Ketika suara guntur dari jauh terdengar, bukan hanya hujan yang datang, tetapi semangat perlawanan yang semakin kuat.
"Aku punya ide," ujar seorang militer yang tampak lebih muda, menggerakkan tangannya dengan bersemangat. "Bagaimana jika kita habisi saja nyawa pribumi itu?" Ia menunjuk ke arah luar jendela, tempat di mana Amangkurat II, Raja Mataram, dan pasukannya berkumpul di istana mereka yang megah.
William menatapnya dengan dingin, matanya menyipit seolah menimbang setiap kata yang keluar dari mulut orang tersebut. "Bodoh jika kita menghabisi mereka yang ada. Kita yang akan terkena dampaknya juga. Tidak ada yang lebih buruk daripada menyingkirkan mereka begitu saja tanpa berpikir panjang," jawabnya dengan suara yang rendah dan penuh kebijaksanaan yang tajam.
Prajurit muda itu ragu sejenak, seolah ingin membantah, tetapi akhirnya ia menundukkan kepala, memahami bahwa dalam pertempuran politik, setiap langkah harus dihitung dengan seksama.
Salah satu orang yang duduk di ujung meja, seorang pejabat Belanda yang lebih tua, lalu membuka mulut dengan suara berat dan tegas. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bermain dengan politik adu domba? Kita ciptakan ketegangan antara pihak istana dan penguasa lokal lainnya. Dengan begitu, kita bisa memperlemah kekuasaan Amangkurat II dan membuat mereka saling menghancurkan."
William tersenyum puas mendengar usulan itu. Senyumnya yang tipis menandakan bahwa ia setuju dengan strategi yang lebih licik namun sangat efektif itu. "Ada bagusnya juga. Dengan adu domba, kita bisa memperburuk hubungan antara mereka tanpa harus mengangkat senjata. Jika kita bisa menggoyahkan pondasi kekuasaan mereka, maka kita bisa lebih mudah menguasai wilayah ini tanpa melibatkan terlalu banyak pasukan kita."
Pembicaraan semakin dalam, semakin licik. Mereka tahu bahwa kekuasaan Belanda di Jawa sudah mulai terancam. Mataram yang dipimpin oleh Amangkurat II masih cukup kuat, tetapi terdapat celah-celah yang bisa dimanfaatkan. Dalam diam, Belanda merencanakan bagaimana merusak fondasi kekuasaan Mataram, menggunakan politik sebagai senjata yang lebih tajam daripada pedang.
"Jika kita bisa memperkuat hubungan dengan beberapa pemimpin lokal yang merasa terpinggirkan oleh kekuasaan Amangkurat II, kita bisa mengguncang stabilitas kerajaan ini," ujar seorang pejabat lainnya. "Kita bisa menawarkan perlindungan dan keuntungan perdagangan, sebagai imbalan untuk mereka mendukung kita dan berbalik melawan sang raja."
William mengangguk setuju, matanya berbinar seolah merasakan keberhasilan yang sudah di depan mata. "Kita akan mulai dengan para bangsawan yang merasa bahwa kekuasaan mereka semakin terancam oleh kebijakan Amangkurat II. Kita beri mereka janji akan kekuasaan lebih besar jika mereka bergabung dengan kita. Jika mereka bergabung, kita bisa merusak koalisi internal di dalam kerajaan."
Perkataan itu menggema di dalam ruangan yang sunyi. Semua yang hadir dalam rapat itu menyadari betapa cerdasnya strategi tersebut. Mereka bukan hanya mengandalkan kekuatan militer, melainkan juga manipulasi politik untuk menciptakan ketegangan dan ketidakpastian yang akan melumpuhkan kerajaan dari dalam.
Malam itu, setelah diskusi panjang yang penuh dengan rencana licik, William dan anak buahnya pun mulai bergerak. Mereka mengirimkan utusan ke beberapa pemimpin lokal yang terpinggirkan dan memulai perundingan. Janji-janji manis tentang kekuasaan dan kemakmuran mereka tawarkan. Sementara itu, pasukan Belanda bersiap di perbatasan, menunggu perintah untuk bergerak apabila segala sesuatunya mulai terkendali.
Tak lama kemudian, para pemimpin lokal yang sebelumnya cemas akan masa depan mereka mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Mereka yang merasa terancam oleh Amangkurat II, yang sedang berusaha mempertahankan otoritasnya, mulai menerima tawaran Belanda. Mereka berjanji akan bergabung dan memberikan dukungan politik kepada Belanda, menginginkan lebih banyak hak dan kuasa yang seolah-olah bisa diberikan oleh pihak asing tersebut.
Di sisi lain, Amangkurat II yang tengah menghadapi tekanan besar, baik dari dalam kerajaan maupun dari luar, tidak menyadari bahwa di sekelilingnya terjadi perpecahan yang sengaja direncanakan oleh musuh-musuhnya. Beliau terfokus pada menjaga stabilitas kerajaan dan mengatasi pemberontakan kecil yang muncul di berbagai wilayah, tanpa menyadari bahwa Belanda sedang memainkan peran yang jauh lebih besar dalam merancang ketidakstabilan.
Pada saat yang tepat, rencana Belanda mulai menunjukkan hasil. Pemimpin-pemimpin lokal yang telah berpihak pada mereka mulai mengangkat senjata dan menyerang pasukan Amangkurat II di beberapa tempat. Konflik internal pun semakin memanas, sementara Belanda tetap berada di balik bayangan, mengendalikan jalannya peristiwa dengan lihai.
Ketika Amangkurat II menyadari bahwa dirinya terjebak dalam perangkap politik yang dirancang dengan cermat, sudah terlambat untuk menghentikan proses itu. Kerajaannya sudah mulai terpecah belah, dengan beberapa wilayah berpihak pada Belanda. Sementara itu, di balik layar, William dan anak buahnya semakin memperkuat posisi mereka, mempersiapkan untuk menuntut hak lebih besar atas perdagangan dan kekuasaan di tanah Jawa.
Namun, meskipun rencana ini berjalan dengan lancar, Amangkurat II yang memiliki kebijaksanaan dan keberanian tetap tidak menyerah begitu saja. Meskipun kekuasaannya semakin tergerus, ia berusaha mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan penguasa lokal lainnya yang masih setia, berusaha untuk menghimpun kembali kekuatan dan melawan ancaman yang semakin nyata.
Belanda, yang merasa bahwa mereka sudah berhasil menancapkan kukunya dalam kerajaan Mataram, kini menghadapi tantangan besar: bagaimana mengontrol wilayah yang telah mereka pecah-pecah dan mengubahnya menjadi sebuah kekuasaan yang benar-benar bisa mereka kuasai sepenuhnya.
Tapi untuk saat ini, yang paling penting bagi William dan pasukannya adalah menikmati kemenangan yang sudah hampir di tangan mereka. Mereka tahu bahwa kemenangan ini bukan hanya diperoleh melalui kekuatan militer, tetapi juga melalui permainan politik yang licik, manipulasi yang tajam, dan perencanaan yang jauh ke depan.
"Ini baru permulaan," kata William dengan suara tenang namun penuh keyakinan, saat ia menatap peta besar di depan mejanya. "Kerajaan ini akan segera jatuh ke tangan kita, dan kita akan mengendalikan segalanya dari belakang layar."
Senyumnya kembali muncul, kali ini lebih lebar, seiring dengan keyakinan bahwa masa depan mereka di tanah Jawa sudah terjamin.