"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Oxford
London, sebuah kota yang penuh dengan keramaian dan keindahan arsitektur klasik yang berpadu dengan modernitas. Suara deru mobil dan langkah kaki yang cepat menciptakan simfoni kehidupan urban. Di tengah keramaian, Hamzah yang memperhatikan Doni, seorang pria yang baru ia kenal. Perasaan penasaran menghinggapi Hamzah, tetapi ia segera mengalihkan perhatian kepada Robi, yang tampak lebih santai.
“Doni, mau kemana dia?” gumam Hamzah dengan pandangan mengikuti langkah Doni yang mulai hilang dalam keramaian. Robi, yang menyadari kegelisahan Hamzah, bertanya, “Kau kenapa Zah?”
Hamzah berusaha menutupi perasaannya. “Tidak, tidak ada apa-apa Rob,” jawabnya sambil mengambil gelas minumannya. Namun, perasaannya terus mengganggu.
“Rob, yuk kita segera mencari tempat. Aku pingin sekali tidur,” lanjut Hamzah dengan nada lelah. Robi setuju dan mereka berdua berjalan menuju kasir. “Berapa Rob?” tanya Hamzah saat melihat Robi mengeluarkan uang. “Jangan kamu bayarin ya, kita setengah-setengah bayarnya,” tambahnya memaksa.
“Sudah pakai ini dulu saja,” timpal Robi dengan tegas. Meski Hamzah merasa tidak enak hati, ia tahu bahwa sahabatnya tidak akan mendengarkan.
Setelah membayar, mereka berjalan keluar restoran. Di luar, angin London berhembus lembut. Hamzah kembali mengungkapkan perasaannya. “Rob, besok-besok lagi jangan kamu terus yang bayar. Biarkan aku membayar tanggunganku.”
“Sssttt...,” sahut Robi sambil tersenyum. “Sudah tenang saja, toh cuma makan Zah.”
Hamzah merasa bersalah karena sering merepotkan Robi. “Maafkan aku Rob, aku selalu merepotkanmu,” ucapnya dengan nada menyesal. Robi mencoba menenangkan Hamzah. “Aku senang kok bisa mentraktir sahabatku. Kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri.”
Namun, ketegangan muncul ketika Hamzah bersikeras untuk tidak terus menerus menerima kebaikan Robi. “Tapi kan Rob...” timpalnya sebelum disela oleh ancaman bercanda dari Robi.
“Besok lagi kalau kamu masih bahas ini, aku akan mencari sahabat baru!” sahut Robi dengan tawa.
Hamzah hanya bisa pasrah dan berterima kasih atas semua kebaikan Robi. “Iya Rob, sebelumnya terimakasih banyak ya atas semua kebaikan kamu.”
Di tengah obrolan mereka, Hamzah berhenti sejenak dan berkata, “Eh sebentar Rob.” Ia ingin menelepon rumah untuk memberi kabar bahwa mereka sudah sampai di London.
“Yasudah, kita duduk disitu dulu,” saran Robi sambil menunjuk kursi panjang di trotoar jalan.
Saat mereka duduk di kursi panjang itu, suasana London terasa hidup di sekitar mereka. Suara tawa dan percakapan dari orang-orang di sekitar menambah kehangatan suasana. Dalam momen tenang ini, Hamzah merenungkan arti persahabatan sejati—bukan hanya tentang memberi atau menerima, tetapi tentang saling memahami dan mendukung satu sama lain dalam setiap langkah kehidupan.
***
Mereka berdua berjalan ke arah kursi. Hamzah, dengan semangat yang menggebu, duduk sambil meraih ponsel dari dalam tas kecilnya. Dengan hati-hati, ia menghidupkan ponsel yang semula dimatikan saat lepas landas. Begitu layar ponsel menyala, deretan notifikasi muncul, menandakan betapa banyaknya pesan yang menunggu untuk dibaca.
Hamzah membuka aplikasi chatting dan segera menelpon nomor Aan, adiknya yang sudah lama menunggu kabar. Suara dering ponselnya mengisi udara London yang tenang. “Dreng...dreng....dreng,” suara berdering itu seolah mengantarkan harapan baru.
“Halo, Assalamu’alaikum An?” ucap Hamzah membuka obrolan dengan penuh antusiasme.
“Iya, Wa’alaikumussalam mas,” jawab Aan dengan nada ceria. “Ada apa mas?”
“Ini An, mas ingin memberi tahu kalau mas dan Robi alhamdulillah sudah sampai London dengan selamat,” Hamzah menjelaskan dengan bangga.
“Waahhh, alhamdulillah mas. Berarti ini Mas Hamzah sudah di Inggris dong, wiiihh,” sahut Aan dengan bahagia. Suara Aan menggema dalam hati Hamzah, memberikan rasa hangat di tengah dinginnya cuaca London.
Di tengah perbincangan mereka, suara ibu Hamzah tiba-tiba terdengar dari ponsel. “Siapa yang telfon nak? Kakakmu bukan?” teriak ibu dari ujung telepon.
“Iya bu, ini Mas Hamzah telfon,” sahut Aan yang juga berteriak.
“Halo Assalamu’alaikum Nak?” suara lembut ibu menyapa Hamzah.
“Wa’alaikumussalam bu,” timpal Hamzah, merasakan kerinduan mendalam setelah mendengar suara ibunya.
“Sudah sampai nak?” tanya ibu penuh rasa ingin tahu.
“Alhamdulillah Hamzah dan Robi sudah sampai dengan selamat bu,” jawab Hamzah dengan penuh rasa syukur.
“Alhamdulillah Ya Allah, ibu senang mendengar kamu sudah sampai dengan selamat,” sahut ibu dengan bahagia. Setiap kata dari ibunya seolah menyentuh relung hatinya yang paling dalam.
“Kamu sudah makan belum?” lanjut ibu.
“Alhamdulillah Hamzah sudah makan bu,” jawab Hamzah meyakinkan.
“Alhamdulillah, pokoknya jangan sampai lupa makan lho ya!” Ibu mengingatkan dengan nada khawatir.
“Iya ibu ku sayang, Hamzah tidak akan lupa makan kok,” jawab Hamzah sambil tersenyum kecil.
Ibu Hamzah kemudian mengingatkan pesan-pesan penting yang selalu diulangnya setiap kali Hamzah pergi jauh. “Dan juga, kamu jangan sampai lupa dengan pesan-pesan dari ibu. Masih ingat kan pesan dari ibu?”
“Iya bu, Hamzah masih ingat semua pesan ibu untuk Hamzah, bahkan sampai Hamzah catat biar tidak kelupaan,” timpal Hamzah sambil tertawa kecil.
Setelah beberapa saat berbincang penuh kasih sayang, ibu pamit karena sedang memasak. “Ya sudah nak kalau begitu. Ini ibu sudahi dulu ya, ibu baru menggoreng tempe, takut gosong,” sambung ibu tertawa.
“Hehehe, iya bu. Terimakasih banyak ya bu. Do’akan Hamzah selalu ya bu,” ucap Hamzah sebelum menutup pembicaraan.
“Iya nak, itu sudah pasti. Ya sudah, assalamu’alaikum nak,” kata ibu sebelum menutup telepon.
“Wa’alaikumussalam bu,” jawab Hamzah sambil memandang jalanan yang penuh akan kendaraan berlalu-lalang di London. Setelah percakapan itu berakhir, ponsel kembali diambil alih oleh Aan. “Halo mas,” ucap Aan kembali ke topik awal.
“Iya An?” jawab Hamzah.
“Mas, ini kan Aan baru ngerjain PR, nah maka dari itu Aan sudahi dulu ya mas telfon nya. Kita sambung lagi nanti,” ucap Aan dengan nada minta maaf.
“Ya sudah kalau begitu, toh ini mas juga mau melanjutkan perjalanan. Kamu semangat ya ngerjain PR-nya! Sudah ya assalamu’alaikum,” sahut Hamzah sebelum memutuskan panggilan.
“Iya mas, Wa’alaikumussalam,” jawab Aan menutup obrolan.
Setelah itu, Hamzah menekan tombol merah di ponselnya untuk mengakhiri panggilan. Namun sebelum ia bisa beranjak dari tempat duduknya, ia melihat chat dari Ririn yang belum ia buka.
“Mas?” tulis Ririn dalam pesan singkatnya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Hamzah membuka pesan tersebut dan segera mencoba menelpon Ririn.
“Dreeeng....dreeeng...dreeng,” suara berdering kembali beradu dengan suara kendaraan yang melintas. Namun kali ini tidak ada jawaban. “Mohon maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.”
“Kok tidak bisa dihubungi?” gumam Hamzah sembari menatap layar ponselnya dengan bingung dan sedikit khawatir. Ia mencoba sekali lagi tetapi hasilnya tetap sama: nomor Ririn tidak dapat dihubungi.
“Mungkin Ririn sedang sibuk,” lanjutnya dalam hati.
Hamzah kemudian menaruh handphone di sampingnya. Ia kemudian menyenggolkan sikunya ke tubuh Robi yang sedang duduk di sampingnya. "Rob," ujar Hamzah dengan nada yang santai namun curiga, "Aku belum ada pandangan kita mau tinggal mana. Kamu sudah ada?" Tanyanya terdengar seperti permohonan maaf, tetapi juga isyarat bahwa ia telah bersiap untuk mendapatkan jawaban.
Robi, yang tenggelam dalam pikiran sendiri, terlihat agak terganggu. "Mmm, kamu sudah selesai telfon?" tanya Robi dengan ekspresi yang sedikit bingung.
"Sudah Rob," jawab Hamzah dengan senyum tipis. Suaranya hangat dan ramah, tetapi juga menandakan bahwa ia tidak sabar mengetahui rencana mereka.
Robi tertawa ringan. "Iya, hahaha." Ekspresinya tampak lucu, tetapi juga menunjukkan bahwa ia sedang berusaha menghindari soal yang sebenarnya—tempat tinggal mereka.
"Jadi bagaiamana? Kamu ada tempat?" lanjut Hamzah dengan nada yang lebih tegas. Ia tidak ingin menunda-nunda lagi; ia butuh jawaban secepat mungkin.
“Hehe, belum,” jawab Robi singkat dengan lagak yang santai, tetapi mata kirinya mengepak cepat-cepat seperti seekor burung yang sedang mencari makanan.
Hamzah menggaruk pipinya dengan jarinya. "Sudah Rob, mendingan kita segera ke sana saja. Daripada mencari di Google, lebih baik kita menuju Oxford dulu," ucap Hamzah dengan suara mantap, menunjukkan bahwa ia telah membuat keputusan akhir. Robi angguk-angguk dan berdiri dari tempat duduknya. "Iya deh iya."
Mereka berdua kemudian berdiri dari duduknya, menghirup udara segar yang penuh semangat. Hamzah dan Robi, sahabat karib sejak kecil, memutuskan untuk menjelajahi keindahan kota Oxford. Dengan bersemangat, mereka melangkah menuju bus bandara yang akan membawa mereka dari Heathrow ke Oxford. Perjalanan ini, meskipun hanya memakan waktu satu setengah hingga dua jam, sudah cukup untuk membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Di dalam bus, Hamzah memperhatikan sopir yang tampak sangat dedikatif. Ia tidak hanya mengemudikan bus dengan mahir, tetapi juga menyapa setiap penumpang dengan ramah. "Selamat datang! Tujuan Anda ke mana?" tanyanya sambil membantu memasukkan koper ke dalam bagasi. Hamzah merasa terkesan; perhatian sopir itu membuat suasana perjalanan menjadi lebih hangat.
Setelah beberapa penumpang termasuk mereka siap, sopir menancap gasnya. Bus melaju di jalanan yang mulai dikelilingi oleh pemandangan indah. Hamzah menatap keluar jendela, dan seolah-olah ia telah memasuki dunia lain—sebuah negeri dongeng. Di sebelah kanan dan kiri terhampar padang rumput yang luas, dihiasi bukit-bukit kecil yang dipenuhi domba-domba putih berlarian. "Ini luar biasa," gumam Hamzah dalam hati.
Beberapa saat kemudian, bus mulai memasuki perkampungan di Oxford. Rumah-rumah berwarna coklat tua dengan jendela putih terlihat berjejer rapi, menciptakan nuansa yang sangat khas. Beberapa bangunan masih memiliki cerobong asap, menambah kesan klasik pada pemandangan tersebut. Hamzah terpesona; ia merasa seolah-olah sedang berada dalam sebuah lukisan hidup.
Rumah-rumah di Inggris tidak terlalu besar, mirip dengan tipe 21 namun bertingkat. Hampir semua rumah memiliki taman kecil di bagian depan, dihiasi oleh karakter Gnomeo yang lucu. Taman-taman ini terlihat liar namun indah, penuh dengan bunga-bunga berwarna-warni yang mekar dengan bebas. Berbeda jauh dengan taman di Indonesia yang biasanya rapi dan hijau.
Di tengah momen indah menikmati pemandangan kota Oxford, tiba-tiba Hamzah teringat sesuatu yang membuatnya terkejut. “Gustiii,” ucapnya kaget seraya menepuk jidatnya dengan telapak tangan.
Seketika Robi menoleh dengan wajah bingung. “Ada apa Zah?” tanyanya.
“Aku lupa Rob! Ponselku tertinggal di tempat kita duduk tadi!” suara Hamzah terdengar panik. Jantungnya berdegup kencang saat ia membayangkan betapa pentingnya ponsel itu—bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai penyimpan kenangan dan informasi penting.