Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Terungkap
“Kamu siapa?” tanya Mela mendengar suara pria yang menjawab telepon Rumi. Bahkan ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap layar memastikan kontak yang dihubungi memang milik Rumi.
“Ini ponsel Rumi ‘kan?” tanya Mela lagi.
“Betul ini ponsel Rumi, dia ke toilet. Dari siapa ini?” Masih terdengar suara pria di ujung sana.
“Aku Mela, sepupu Rumi.”
“Ahh, sepupunya.”
“Siapa kamu, kenapa menjawab telepon Rumi?”
Terdengar suara obrolan. “Halo, hei. Kamu siapa kenapa hp Rumi sama kamu?” tanya Mela lagi lalu panggilan berakhir.
“Siapa pria itu, apa Rumi menemui Ardi lagi.”
Kali ini Mela menghubungi Ardi, tapi tidak dijawab. “Hah, menyebalkan.” Mela menghubungi Rumi berkali-kali, tapi tidak dijawab.
Brak.
Ponsel Mela berakhir mendarat di lantai dilempar pemiliknya, entah mengapa ia mendadak kesal membayangkan pria itu mungkin kekasih Rumi. Kalau sudah ada pengganti, kenapa pula harus datang menemui Ardi.
“Dasar perempuan gatal, udah ada laki-laki tapi masih mengharap sama mantan.”
Kemudian Mela menghubungi Ibunya membicarakan masalah Rumi dan menumpahkan kekesalannya hari ini.
***
Kaisar menoleh ke arah pintu toilet saat ponsel Rumi berdering, kemudian mengabaikannya. Kembali berdering dan nama Mela tertera di layar.
“Kayaknya penting,” pikir Kaisar.
Panggilan ketiga ia pun memberanikan menjawab, toh hubungan mereka suami dan istri. Tidak ada yang perlu dirahasiakan dan sah-sah saja menjawab telepon tersebut. Tombol hijau ia geser dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Rumi, di mana lo? Ngapain ada di Jakarta, mau ganggu hidup kita hah?”
Belum sempat mulutnya mengucap salam, telinganya mendengar makian. Ada masalah apa sampai Rumi dibilang mengganggu hidup orang lain. Meski ingin sekali balas memaki, Kaisar hanya menjawab pertanyaan yang mudah.
“Hm, Rumi di toilet.”
Berharap Rumi segera selesai dengan urusan di toilet, tapi pintu itu masih tertutup rapat. Sedangkan suara perempuan di ponsel masih mencecar menanyakan Rumi dan siapa dirinya.
Ia pun balas bertanya siapa perempuan itu.
“Aku Mela, sepupunya.”
Shittt, ia merutuk dalam hatinya. Sejak tadi berusaha untuk sopan. Masih ia ingat betul setelah menikah, bertanya pada Rumi apakah memiliki kekasih atau tunangan. Rumi menjawab dengan lugas kalau mantannya yang brengs3k menikah dengan sepupunya.
Beruntung Reni datang membawakan makan siang, Kaisar tidak perlu melanjutkan pembicaraan dan langsung mengakhiri panggilan.
“Bu Reni boleh istirahat,” ujar Kaisar.
“Baik pak, jam dua siang ada rapat dengan Pak Deo.”
Informasi dari Reni didengar oleh Rumi yang baru saja keluar dari toilet. Kaisar meneuk sofa di sampingnya mengajak duduk.
“Ayo, kita makan dulu. Hari ini di kantor saja, besok-besok kita makan diluar.”
Bukan Rumi yang melayani, Kaisar sibuk mengeluarkan box dari plastik. Membuka dan menyodorkan alat makan, termasuk juga membuka seal botol air mineral.
“Mas, aku bisa sendiri.”
“Iya, aku tahu kamu bisa lakukan apapun sendiri. Saat denganku, tidak begitu. Kamu ratu di sini, jadi harus dilayani.”
“Gombal,” ejek Rumi.
Kaisar terkekeh lalu mengusap kepala sang istri, sepertinya Rumi berlama di toilet karena memperbaiki riasan wajah berusaha menutupi jejak bekas tangis. Hatinya terasa tercubit, ia harus lakukan sesuatu setelah mendapatkan informasi.
Ponsel Rumi kembali berdering, tapi diabaikan setelah melihat id caller. Di tengah kunyahnya, Kaisar mengatakan kalau Mela tadi menghubunginya.
“Dari Mela juga?”
“Hm.” Kaisar mengangguk. “Aku sempat angkat, takut penting. Nanti kamu hubungi lagi aja, kayaknya dia mau bicara denganmu.”
Rumi terdiam membuat Kaisar melirik.
“Biarin aja, malas banget telpon balik. Palingan Cuma pamer.”
“Pamer?” tanya Kaisar lalu meraih tisu dan mengelap bibirnya. Keluhan Rumi tentang Mela menarik untuk dia dengar. Paling tidak dia tahu bagaimana hubungan istrinya dengan keluarga.
“Setelah menikah, Mela kirim pesan hanya untuk pamer. Entah tempat tinggalnya, suasana di kamarnya, ya gitu kayak pamer hidup dia sudah enak. Yang menyebalkan dia kirim foto lagi peluk dan cium4n dengan suaminya.”
“Sakit jiwa,” gumam Kaisar.
“Ah, itu. Sakit jiwa.” Rumi membenarkan ucapan Kaisar.
“Bagaimana kalau kita balas,” usul Kaisar serius bahkan ia meletakan lunch box ke atas meja.
“Balas gimana?” tanya Rumi sambil mengernyitkan dahi.
“Kita kirim foto yang sama, kamu dan aku.” Kaisar mengerucutkan bibirnya. Rumi tersenyum lalu memukul lengannya.
“Ngaco ih. Nggak mau, nanti Mela terpesona melihat kamu.”
“Benar juga, kalau gitu jangan. Habiskan makananmu.”
Usai makan siang, Rumi hendak pulang. Dia tahu Kaisar sibuk dan ada rapat setelah ini. Keberadaannya di sana hanya akan membuat suaminya tidak fokus.
“Paling satu jam, kamu tunggu di sini saja,” bujuk Kaisar sambil memeluk pinggang istrinya. Ia duduk di kursi kerja menghadap Rumi yang berdiri. Sengaja ingin berlama karena tangan Rumi berani menyentuh wajahnya, mengusap pelan pipi lalu usapan di kepala. Rasanya seperti ada gelombang elektromagnetik membuat tubuhnya berdesir, padahal hanya usapan tangan saja. Namun, mampu membuat Kaisar berdenyut di bawah sana.
“Lain kali saja aku temani,” jawab Rumi.
“Hm. Oke.” Kaisar menghubungi supir kantor dan menyerahkan kunci mobil lalu memanggil Reni.
“Kamu pastikan istri saya sampai ke mobil,” titah Kaisar. “Nanti langsung menyusul ke atas, saya duluan temui Pak Deo.”
“Baik Pak.”
Kaisar berdiri dan mencium kening Rumi yang tersipu malu karena ada orang lain di sana melihat interaksi mereka.
“Hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai. Ponsel tidak akan tertinggal lagi,” tutur Kaisar menunjukan ponselnya yang langsung dimasukan ke saku celana.
Nyatanya urusan dengan Deo, direktur keuangan berlangsung cukup lama. Kaisar lega karena tidak menahan Rumi untuk menunggu dan masih sempat berbalas pesan saat bersama Deo.
[Ke ruanganku, sekarang!] pesan masuk dari Johan.
Seperti biasa, tanpa mengetuk pintu dan menyapa Kaisar memasuki ruang kerja Johan.
“Gimana, kamu nggak tanya macam-macam ke Rumi ‘kan?”
“Nggak, aku pura-pura nggak tahu aja.”
“Terus?” tanya Johan lagi.
“Tunggu info, ada orang yang aku tugaskan cari tahu,” jawab Kaisar. “Ardi mutasi dari cabang Surabaya, Rumi pun pernah di sana. Mungkin mereka kenal atau pernah dekat.”
Johan hanya berdehem mendengar penuturan Kaisar.
“Tapi Ardi tidak tahu kalau Rumi istrimu?”
“Sepertinya tidak, kalau tahu mana berani dia begitu. Hah, rasanya ingin aku tendang saja. Beraninya dengan perempuan.” Kaisar mengeluarkan ponselnya yang bergetar, ternyata telpon dari orang kepercayaannya.
“Iya,” ucap Kaisar lalu terdiam mendengar penuturan di ujung sana. Bahkan sempat mengernyitkan dahi lalu menggebrak meja.
“Kaisar,” tegur Johan.
“Kamu yakin?” tanya Kaisar pada penelpon.
Cukup lama pembicaraan tersebut, Johan tidak sabar menunggu penjelasan dari keponakannya.
“Ada apa?” tanya Johan saat Kaisar meletakan ponsel di atas meja.
“Ternyata Ardi itu … si brengs3k.”
\=\=\=\=
ini mau melahirkan tapi si papa masih aja kocak...