DIA YANG KU KAGUMI

Setelah pertemuan terakhir mereka di kafe itu, Yana dan Nabil semakin jarang berkomunikasi. Meskipun keduanya merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hati mereka, mereka memutuskan untuk membiarkan waktu yang berbicara. Hubungan yang dulunya penuh dengan tawa, berbagi cerita, dan rencana masa depan kini berubah menjadi kenangan yang perlahan menghilang.

Yana mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Dia mulai fokus pada pekerjaannya yang semakin menumpuk. Setiap pagi, dia bangun lebih awal untuk menyelesaikan proyek-proyek yang belum tuntas. Di malam hari, ketika dia merasa lelah dan ingin istirahat, dia membuka buku-buku yang sudah lama dia tinggalkan. Membaca memberikan kedamaian yang Yana butuhkan, memberikan ruang untuk melupakan rasa kehilangan yang tiba-tiba datang tanpa diduga.

Di sisi lain, Nabil juga berusaha melupakan Yana. Meski pada awalnya sangat sulit, dia mulai menemukan kenyamanan dalam rutinitas barunya. Dia mulai berolahraga setiap pagi, mengikuti kelas-kelas yoga, dan berusaha lebih sering berkumpul dengan teman-teman. Sesekali, ketika dia merasa ada hampa di dalam hatinya, dia mencoba untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa mereka sudah tidak lagi memiliki masa depan bersama. Setiap kenangan tentang Yana yang muncul dalam pikirannya, dia berusaha untuk menolaknya, berfokus pada hal-hal baru yang bisa membawa kebahagiaan.

Hari-hari berlalu, dan keduanya mulai terbiasa hidup tanpa satu sama lain. Yana semakin jarang melihat pesan singkat dari Nabil yang dulu selalu datang dengan penuh perhatian. Dulu, setiap kali ponselnya bergetar, Yana bisa merasa jantungnya berdetak lebih cepat, tapi kini itu semua terasa seperti sebuah kebiasaan yang sudah mulai pudar.

Nabil, di sisi lain, sering mengingat momen-momen indah mereka, seperti ketika mereka berjalan-jalan di taman, saling berbagi cerita tentang impian mereka. Namun, saat dia merenung lebih dalam, dia menyadari bahwa semuanya sudah berakhir. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah kenyataan itu, dan meski ada sedikit rasa sakit, dia tahu dia harus terus maju.

Suatu hari, Yana mendapati dirinya berjalan sendirian di taman yang dulu sering mereka kunjungi bersama Nabil. Ada perasaan asing yang mengalir dalam dirinya saat melihat tempat itu. Tidak ada lagi suara tawa mereka, tidak ada lagi canda tawa yang mengisi udara. Semua kenangan itu terasa semakin kabur, seiring waktu yang terus berjalan. Yana menarik napas dalam-dalam, merasa bahwa ini adalah bagian dari proses untuk melepaskan diri.

Sementara itu, Nabil juga sedang berada di tempat yang sama, meskipun dia tidak tahu bahwa Yana ada di sana. Dia berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak, merasakan angin sejuk yang bertiup. Beberapa bulan lalu, dia dan Yana pernah berjalan di sana, berbicara tentang masa depan, berharap ada banyak hal yang bisa mereka capai bersama. Namun kini, jalan setapak itu terasa kosong, seolah-olah mengingatkan Nabil bahwa semuanya sudah berakhir.

Seiring waktu, baik Yana maupun Nabil mulai belajar untuk menerima kenyataan. Mereka sadar bahwa meskipun cinta itu pernah ada, kadang-kadang hidup membawa mereka pada jalur yang berbeda. Kenangan yang dulunya begitu hidup, kini hanya menjadi bagian dari cerita yang harus mereka let go. Tidak ada lagi perasaan saling menginginkan, tidak ada lagi harapan yang menyatukan mereka. Mereka belajar untuk melangkah maju, meski rasa itu tak sepenuhnya hilang.

Yana akhirnya merasa bahwa dia sudah siap untuk membuka hati untuk hal-hal baru. Begitu juga dengan Nabil, yang perlahan kembali membuka diri untuk menjalin hubungan dengan orang lain, meski tak lagi dengan harapan yang sama seperti sebelumnya. Mereka berdua belajar bahwa meskipun perpisahan itu menyakitkan, itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus mereka jalani untuk menemukan kebahagiaan masing-masing. Waktu mungkin tidak bisa memulihkan semuanya, tetapi dengan waktu, mereka belajar untuk melupakan dan menerima bahwa kadang-kadang, melepaskan adalah hal yang terbaik untuk dilakukan.