Terlahir dari keluarga broken home membuat Nirmala yang kerap dipanggil dengan Mala, sangat susah diatur oleh sang ibu sampai akhirnya dia di masukkan ke pesantren dengan harapan bisa membuatnya dapat berubah. Tetapi saat di dalam pesantren bukannya berubah, tetapi tingkahnya menjadi-jadi membuat guru-guru sampai gusnya pun pusing akan tingkahnya. Sampai suatu hari terjadi tragedi diantara keduanya, mereka terpaksa dinikahkan takut terjadi fitnah. Akankah Mala berubah sikap setelah menikah dengan gusnya atau malah semakin Badung ?. Yuk ! Baca Selengkapnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah Mayaddah f, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Salah Orang
Mala menatap kosong kertas yang di berikan Gus Ahtar padanya, karena ia tidur di kelas. Ia tidak menyangka tidur nyenyaknya tadi akan dibayar dengan segepok hafalan lagi. “Ini berneran gus tugas untuk saya ?”
“Kenapa kurang ?” Tanya Gus Ahtar
“Bisa di kurangi gak gus ?” Tawar Mala
“Masih kurang takzirannya ?, mau di tambahin ?” Tanya Ahtar Kesal
“Udah cukup kok gus” Jawab Mala malas
“Nanti kalau mau setoran hafalan kamu nambah sama yang ini, dan kamu di setorkan kepada Ustadzah Fitri dan minta tanda tangannya. Dan kalau sudah selesai semua, kertas ini kembalikan lagi kepada saya” Ucap Gus Ahtar sambil berlalu
“Ya Allah, ini kapan selesainya ?” Mala ngusap wajahnya frustasi
“Ayo kita ke kantin, kan hari ini kelas kita kosong karena hanya mata pelajaran gus Ahtar saja” Ajak Cika
“Aku nunggu makan siang sajalah” Ucap Sri
“Aku juga sama akan nunggu makan siag saja” Ucap Ririn
“Jangan bilang kamu belum ada kiriman oleh orang tuamu ya ?” Tanya Mala sangat tepat yang hanya dibalas dengan senyuman sendu
“Karena aku sedang baik hati dan tidak sombong, hari ini kalian aku traktir deh di kantin sepuasnya. Ayo !” Ucap Mala selanjutnya
“Beneran Mala ?” Tanya Sri begitu semangat
“Ya bener, ayo aku ini udah sangat lapar” Jawab Mala
Merekapun tidak menyia-nyiakan waktu, mereka pergi ke kantin dan memilih makanan yang ingin mereka makan, karena di traktir oleh Mala.
\*\*\*\*\*
Mala berjalan dengan langkah setengah diseret mengikuti kawan-kawan satu satu asramanya menuju ndalem. Ia belum sempat menuju ruang makan Ketika Sri menyeret paksa mengikuti mereka. Katanya ustadzah Hilma yang meminta mereka ke sana. Kebetulan hanya asrama mereka yang siang ini tidak punya kegiatan. Soalnya muraja’ah kitab yang biasa mereka lakukan per asrama itu hari ini tidak dilaksanakan karena Ustadzah Ratih sedang punya urusan keluaraga.
Tadinya Mala sudah menolak mati-matian, tapi sayangnya penolakkannya tidak berarti. Meskipun sebenarnya ia senang-senang saja di panggil ke ndalem karena dua orang yang ia hormati ada disana yaitu abah Rais dan uma Hana. Tapi sayangnya, orang yang paling ia ia takuti juga mendiami tempat itu yaitu Gus Ahtar. Dan sekarang, rasa takutnya saat ini melebihi rasa inginnya bertemu dua orang yang paling ia segani itu. Karena itu, ia ogah-ogahan Ketika di seret paksa oleh Cikadan teman-teman asramanya untuk membantu disana.
“Kamu ini ya Mala, santri-santri itu berebut pengen nyari berkah di rumah kyainya. Kamu malah mau kabur kaya gini. Gak bersyukur banget orangnya.” Ririn, salah satu teman seasrama Mala mendumel seanjang jalan. Ia cukup lelah karena harus berjalan sembari memegangi Mala agar tidak kabur. Soalnya mereka akan dihukum kalau ketahuan salah satu anggota mereka mangkir dari tugas yang sedang mereka emban. Apalagi yang memerintah mereka ini adalah ustadzah Hilma, ustadzah senior di pesantren ini. Konon, ustadzah Hilma sudah mengabdi di pesantren ini. Bahkan sebelum uma Hana, bu nyai mereka masuk pesantren. Jadi termasuk tokoh yang disegani disini. Bahkan dulu ustadzah Hilma termasuk salah satu guru uma Hana.
“Diajak nyari berkah malah mangkir, kamu tuh emang aneh banget” Ririn kembali mendumel
“Tapi disana ada gus Ahtar” Mala mengatakan alasannya
“Ya memang kenapa ? Disana memang tempat beliau tinggal. Kamu ini sebenarnya ada masalah apa sama gus Ahtar ? Segitunya nggak pengen ketemu sama dia. Dasar aneh, emang kamu tuh. Santri yang lain seneng bisa ketemu sama gus Ahtar kamu malah ngehindar” Ucap Cika
“Ya jelas dia menghindar. Dari kemarin gak berhenti dia buat masalah sama gus Ahtar” Luthfi memilih membeberkan kejadian kemarin
“Ya Allah Mala kamu ini kenapa gak pernah bosan nyari masalah terus. Yang lain pengen cari muka sama gus Ahtar kamu malah milih cari masalah” Ucap Ririn
“Memang kemari ada masalah apa ?” Kawannya yang lain bertanya denga tidak sabar.
“Kita ketahuan kabur. Aku sama Luthfi, terus si semprul ini malah keceplosan pake bilang kita skip sholat magrib. Jadilah kita di hukum nginep di masjid semalaman sholat taubat” Mala menjelaskan dengan nada jengkel sembari menatap Luthfi
Cika dan yang lainnya tertawa, kecuali Luthfi tentu saja memilih melengos. Tidak ingin mengingat kejadian kemarin lagi.
“Jadi kalian itu kemarin pamitnya pengen ketemu ustadzah Ratih itu bohong dan malah kabur terus ketahuan ?” Sri bertanya
“Iya” Jawab Mala sangat malas
“Pantesan tadi kamu tidur di kelas pules banget” Ucap Ririn menyindir
“Dan apesnya dia tidur pas mata pelajaran bahasa arab yang guru gus, karena itu ia tidak pengen ke ndalem hari ini. Takut di takzir lagi sama gus Ahtar, kayaknya surat cinta dari beliau tadi belum cukup untuk Mala deh. Lihat saja dia pasti menyiapkan takziran yang lebih berat dari itu” Luhtfi tertawa tebahak-bahak kini.
Mala hanya berdecak kesal karena sadar ucapan Luthfi ada benarnya. Apa sebaiknya ia kabur sekarang ? mumpung masih jauh dari ndalem.
“Heh, jangan berniat kabur kamuy ya. Sudah cukup Luthfi yang kamu ajak buat di takzir. Kami-kami ini gak pengen dihukum bareng kamu” Sri yang sudah bisa membaca gelagat teman sekamarnya yang sudah beberapa bulan tinggal seatap bersamanya itu segera waspada. “Pegang, Cika. Jangan sampai kabur lagi”
“Siap”
\*\*\*\*\*
“Yang bisa Cuma ini saja ?” Tanya Ustadzah Hilma
Ustadzah Hilma menatap para santri yang kini berdiri dihadapannya.
“Iya Ustadzah. Yang lain ada kegiatan semua” Jawab santri lain
“Ya sudah, ayo ke dapur. Makanan buat tamu-tamu pesantren harus siap sebelum ashar nanti. Ini dadakan jadi semua harus gerak cepat. Gak boleh malas-malasan” Saat ustadzah Hilma mengatakan itu tatapan tajam menyorot Mala yang memainkan ujung kerudungnya dibarisan paling pinggir. Kalau ada orang yang menyaingi sikap galak gus Ahtar, ustadzah Hilmalah orangnya.
Saat mengatakan itu, tatapan tajam ustadzah Hilma menyorot Mala yang memainkan ujung kerudungnya dibarisan paling pinggir. Saat tatapan keduanya bertemu, buru-buru Mala memperbaiki sikapnya dan berdiri dengan benar. Kalau ada satu orang yang galaknya menyamai gus Ahtar, ustadzah Hilma ini lah orangnya. Untungnya Mala tidak harus bertemu setiap saat dengan beliau. Karena kini, tugas wanita tersebut bukanlah mengurusi santri-santri lagi tapi kini bergabung dengan para pengasuh senior yang baru akan memunculkan diri ketika ada perayaan-perayaan penting, contohnya menjamu tamu-tamu pesantren saat ini. Diluar itu, mereka hanya mengontrol pesantren dan menerima laporan dari pengurus-pengurus pesantren yang lebih junior.
“Baik, ustadzah.” Penghuni asrama 10 itu pun mengekori langkah ustadzah Hilma menuju kebagian dapur ndalem lewat pintu samping.
Seperti yang ustadzah Hilma katakana, mereka benar-benar bekerja keras. Para santri menjadi babu bagi para pekerja dapur pesantren yang memang bertugas untuk mengolah masakan. Entah itu di suruh memotong bawang, seledri, sayur mayur, dan sebagainya. Belum lagi diminta untuk mengambil peralatan dapur bolak-balik dari dapur pesantren menuju ndalem. Dan karena Mala tidak seperti teman-temannya yang lain yang sudah ahli di dapur, ia kebagian di minta bolak-balik antara ndalem dan dapur pesantren untuk mengambil barang-arang yang dibutuhkan para tukang masak.
Mala sendiri tidak masalah, karena itu artinya ia tidak harus mendekam di ndalem dan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk bertemu orang yang sangat ingin dihindarinya. Tapi lama-kelamaan ia Lelah juga saat untuk kesepuluh kalinya ia diminta untuk kembali ke dapur mengambil barang-barang yang diperlukan.
Sepanjang perjalanan ia mendumel tidak habis-habisnya.
“Kenapa gak sekalian dikerjain di dapur pesantren aja sih ? ini lama-lama aku kayak lagi mindahin dapur pesantren ke ndalem. Sepertinya ustadzah Hilma dan mbak-mbak tukang masak itu menganut paham kalau da yang susah kenapa harus yang mudah. Haishh…. Nambah-nambah kerjaan saja bisanya. Mana perut lapar lagi, perasaan baru makan dan ini sudah lapar lagi karena karena angkat-angkat panic yang besar-besar mama aku ingin pulang saja disini aku tidak betah” Mala mendumel sembari Menyusun panic-panci besar itu menjadi tiga tingkat lalu mengangkatnya.
Dan ternyata pancinya malah oleng. Ini sih alamat dia akan kembali ke sini Cuma buat ambil satu panic lagi.
“Astagfirullah, mending tadi aku gantiin tari ngiris bawang aja daripada ngambil kerjaan kayak gini,” dumelnya tiada habis. Tapi menkipun begitu ia tetap mengangkat panic-panci tersebut. Dua panic yang ia tumpuk menjadi satu saja sudah menghalangi pandangannya, jadi ia tidak mungkin membawa ketiganya secara bersamaan.
Dan sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada Mala. Gadis itu melihat sosok kang Emil lewat di dekatnya ketika baru saja keluar dari pintu dapur.
“kang Emil !” Panggilnya
Tapi orang yang dipanggil bukannya berhenti malah meneruskan langkahnya di depan Mala, tidak menghiraukan panggilan gadis itu.
“Kaaaaaaaangg !” Panggil Mala lebih kencang. Sosok Kang Emil yang berjalan di depannya dan hanya bisa ia lihat bagian bawahnya dengan sarung andalannya yang berwarna hitam dengan corak etnik itu berhenti.
“Astagfirullah kang. Kok dipanggil gak noleh-noleh sih ? saya pengen minta tolong kang. Tolong bantuin saya bawain ini panic dong ke ndalem.”
Kang Emil bisa dikatakan santi paling lama disana. Mala sebernya tidak tahu jelas tugas kang Emil di pesantren. Laki-laki berusia 27 tahun asal Cicalengk aitu kadang bertugas sebagai supir abah Rais dan uma Hana, biasa juga bertugas menjadi muadzin, suka bantu-bantu santri membersihkan masjid dan kadang merangkap menjadi satpam. Intinya kang Emil bagi semua warga pesantren adalah menyelamat. Karena itu saat Mala melihat siluet baju yang berwarna biru, kemeja khas yang selalu di pakai kang Emil dengan sarung hitam andalannya di depan, Mala segera saja ia memanggil laki-laki tersebut.
“Ini tolong dibawain ya. Saya ambil satu lagi di dalam dulu”
Dan setelah panic itu berpindah tangan, terkesiap kaget Mala terdengar.
“Ya Allah gus !” Ucap Mala kaget
“Iya, Kenapa ?” Tanya Gus Ahtar
“M-maaf saya kira kang Emil. Sini gus biar saya saja yang membawa pancinya” Jawab Mala saat akan membawa kebali panci tersebut namun oleh gus Ahtar diangkat tinggi-tinggi oleh laki-laki itu.
“BISA DIAM TIDAK KAMU” Sentak Gus Ahtar karena ia dan Mala menjadi tontonan para santri yang lewat dan membuat para santri tersenyum akan tingkah mereka berdua
Mala bisa saja merebutnya, tapi itu akan membuat ia tidak berjarak dengan gusnya itu. Dan meskipun nyali Mala cukup besar, ia tetap tahu batasannya. (Astagfirulloh Mala, kamu ada-ada saja).