Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resign
Tanpa terasa dua jam telah berlalu sejak Mumu berteleportasi ke kantor Erna tadi.
Erna sudah Mumu bawa pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mumu melanjutkan mengobati istrinya hingga energi negatif keluar seluruhnya dari tubuh Erna.
Mumu tidak menyangka jika energi itu begitu kuat.
Dengan kekuatan spiritualnya saat ini, ia masih memerlukan waktu satu jam untuk membersihkan semua energi negatif dari tubuh Erna.
Saat ini Erna sedang tidur dengan nyenyak. Dia kelelahan dan sesekali dia bermimpi buruk.
Mumu terus berjaga disisinya sepanjang waktu.
Sebuah dering telepon memecah keheningan di kamar.
Mumu menghela napas panjang, merasa terganggu oleh suara itu. Dengan enggan, ia meraih handphonenya dari meja di samping tempat tidur dan melihat nama Pimpinan Rumah Sakit tertera di layar.
Hatinya semakin berat, ia tahu telepon ini tidak akan membawa kabar baik.
“Ya, Pak. Ada apa, Pak?” suara Mumu terdengar datar, meski dalam hatinya ia sudah bersiap-siap untuk menghadapi masalah yang akan datang.
"Dokter Mumu, kamu harus segera datang ke Rumah Sakit. Keluarga pasien melaporkan kamu." Suara pimpinan rumah sakit terdengar tajam di seberang sana.
Mumu mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus jengkel.
"Melaporkan saya? Tapi kenapa, Pak?"
"Tentu saja karena kamu menolak untuk menangani pasien. Memangnya apa lagi alasannya?"
"Pasien yang mana, Pak?"
"Jangan pura-pura tak tahu, Dokter! Pasien yang mana lagi jika bukan pasien yang sedang kritis di IGD."
Bukankah saya hanya bertugas di Poli Akupunktur? Dan pasien saya di Poli Akupuntur baik-baik saja."
"Mengenai pasien yang di IGD, saya hanya sekadar membantu ketika diminta. Ini bukan tanggung jawab saya."
"Bertanggung jawab atau tidak, yang jelas keluarga pasien menuduhmu tidak mau mengobati orang tua mereka di IGD."
"Mereka bilang kamu bersikap tidak peduli. Ini masalah serius, Mumu. Kamu harus segera datang ke sini untuk meminta maaf kepada mereka."
"Minta maaf? Apa saya tak salah dengar, Pak? Mengapa saya harus meminta maaf atas sesuatu yang tidak saya lakukan. Apa maksud Bapak?"
"Dokter...anda harus paham. Pasien ini berasal dari keluarga terpandang. Mereka punya jabatan dan mereka punya kekuasaan."
"Agar masalah ini tidak berlarut-larut, kamu harus segera meminta maaf kepada mereka dan mengakui kesalahan kamu!"
"Saya tidak peduli mereka berasal dari mana. Yang jelas saya tidak akan meminta maaf atas sesuatu yang tidak saya lakukan."
"Saya perhatikan dari cara Bapak bicara, seolah-olah pihak Rumah Sakit dengan sengaja mendorong saya masuk ke dalam jebakan Bapak."
"Jangan sembarangan kamu, Dokter!"
"Saya tak ingin lagi mendengar apa pun alasan kamu, Dok! Bagai manapun juga, kamu harus datang dan menyelesaikan masalah ini. Kita tidak bisa mengabaikan laporan keluarga pasien, apalagi jika sampai melibatkan pihak berwenang.”
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa!"
"Ini bukan permintaan, Dok. Ini perintah! Kamu harus menyelesaikan ini, atau reputasi kita terancam." Ujar Pimpinan Rumah Sakit tanpa memberikan celah untuk penolakan.
...****************...
Setibanya di rumah sakit, Mumu langsung disambut oleh Pimpinan yang menunggunya dengan wajah tegang.
“Kamu harus segera bicara dengan keluarga pasien. Mereka marah besar.” Kata Pimpinan itu tanpa basa-basi.
Mumu menahan amarahnya. Ia merasa diperlakukan tidak adil, tapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat sekarang.
Mumu berjalan menuju ruangan tempat keluarga pasien menunggu.
Begitu memasuki ruangan itu, ia disambut oleh pandangan tajam dari seorang pria paruh baya, yang sepertinya adalah anak dari pasien yang dimaksud.
“Kamu! Dokter yang tidak mau mengobati ayah saya!” Teriak pria itu, suaranya penuh kemarahan.
Mumu mengangkat tangannya, mencoba menenangkan situasi.
“Tolong, Pak. Dengarkan saya dulu! Saya hanya bertugas di Poli Akupunktur, bukan di IGD. Saya sudah menjelaskan hal ini sebelumnya. Saya tidak punya kewenangan untuk menangani pasien di IGD. Kecuali saat diminta, itu pun setakat membantu.”
Namun, pria itu tidak peduli.
“Kamu Dokter, kan? Harusnya kamu bisa mengobati siapa saja! Apa kamu tidak peduli dengan nyawa orang lain?”
Mumu menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang sedang dilanda emosi.
“Saya sangat peduli, Pak. Tapi saya juga punya batasan dalam tanggung jawab saya. Di IGD, ada tim yang lebih berwenang. Saya hanya membantu sebisanya.”
Sebelum pria itu bisa membalas, tiba-tiba Pimpinan Rumah Sakit masuk.
Pimpinan rumah sakit, dengan wajah memerah, mengarahkan pandangan tajam ke arah Mumu.
"Dokter Mumu, kamu sebaiknya mengakui salahmu dan meminta maaf pada pihak keluarga pasien." ujarnya dengan nada tegas dan penuh tekanan.
Pria paruh baya itu mendengus. "Walaupun kamu meminta maaf, kami tidak akan melepaskan kamu semudah itu. Kamu telah menelantarkan Ayah saya, dan kamu harus menanggung konsekuensinya."
Mumu tetap tenang. Ia tahu situasi ini semakin rumit, namun ia juga merasa tidak melakukan kesalahan. Oleh karena itu ia tetap pada pendiriannya.
"Saya tidak akan meminta maaf, Pak, karena ini bukan kesalahan saya. Jika Bapak ingin menyalahkan seseorang, sebaiknya Bapak panggil penanggung jawab IGD!"
"Saya hanya Dokter di Poli Akupunktur, dan bukan wewenang saya menangani pasien di IGD." Jawab Mumu dengan suara tenang namun tegas.
"Bagus...bagus...saya suka pria yang punya nyali seperti itu. Ini membuatnya semakin menarik." Pria itu tersenyum sinis.
Sebaliknya Pimpinan Rumah Sakit terlihat semakin kesal.
"Dokter Mumu, kamu jangan keterlaluan! Ini sudah di luar batas!"
Pimpinan Rumah Sakit takut insiden ini bisa merusak reputasi Rumah Sakit dan dia ingin insiden ini Mumu yang bertanggung jawab.
Namun, Mumu tetap tak bergeming karena ia sudah bisa menduganya.
"Maaf, Pak, saya tetap pada pendirian saya."
Mendengar itu, Pimpinan Rumah Sakit semakin murka. Dia harus cari muka sekaligus cuci tangan.
"Jangan sampai saya memberhentikan kamu dengan tidak hormat!" Ancamnya dengan nada yang makin tajam.
Mumu menatap pimpinan rumah sakit dengan tenang.
Ia tahu ancaman ini bukan hal yang sepele, tetapi ia juga tahu ia harus bertindak sesuai dengan prinsipnya.
"Bapak tidak perlu melakukan hal itu." Jawab Mumu tenang.
Pimpinan Rumah Sakit menyeringai, merasa kemenangan sudah di tangannya.
"Kenapa? Kamu takut, kan? Kalau begitu, minta maaf sekarang! Akui kesalahanmu!"
Namun, jawaban Mumu yang berikutnya membuat seluruh ruangan terdiam.
"Bapak salah sangka. Maksud saya, Bapak tidak perlu memberhentikan saya, karena saya, atas kesadaran dan tanpa ada paksaan, mulai hari ini, detik ini, mengundurkan diri. Saya tidak lagi menjadi bagian dari Rumah Sakit ini."
Semua orang terkejut mendengar keputusan Mumu yang tiba-tiba.
Pimpinan Rumah Sakit terbelalak, tidak menyangka Mumu akan mengambil langkah seberani itu.
Pria paruh baya pun tampak bingung, tidak menduga bahwa situasi ini akan berakhir dengan cara seperti ini.
"Tapi..." Lanjut Mumu,
"Saya tetap akan mengobati ayah Bapak semampu saya sebelum saya pergi dari sini."
Tanpa menunggu respon mereka, Mumu langsung berbalik menuju pasien yang sedang kritis tersebut.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...