Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sertifikat
"Anak anjing kesayanganmu telah mengencingi sepatuku. Apa yang akan engkau katakan?" Asrul bertanya kepada Siti Adawiyah.
"Saya siap dihukum, Panglima." Siti Adawiyah berlutut.
Asrul menyebutkan hukuman untuk Siti Adawiyah. "Mulai sekarang engkau harus membersihkan ruangan di kamar saya selama satu bulan."
"Baik Panglima, aku siap melaksanakan hukuman." Siti Adawiyah mengangkat tangannya.
"Tidak boleh menggunakan sihir!" Asrul menambahkan.
Siti Adawiyah terdiam sejenak lalu menyetujui persyaratan dari Asrul. "Baiklah Panglima."
Kemudian Asrul mengeluarkan liontin yang dipungutnya dari punggung Pudel, lalu dilemparkan ke Siti Adawiyah.
"Apa ini?"
Siti Adawiyah menjawab. "Itu liontin milik Panglima."
Asrul menolak jawaban Siti Adawiyah. "Bukan! Itu bukan liontin yang aku maksud."
Siti Adawiyah menjawab.
"Aku benar-benar telah menghilangkannya. Aku sudah mencarinya kemana-mana, tetap saja tidak kutemukan."
Setelah berkata demikian, Asrul meninggalkan Siti Adawiyah sendirian.
Siti Adawiyah memandangi liontin buatannya itu. "Apa bedanya dengan liontin yang hilang itu? Bukankah semua liontin sama saja?"
Siti Adawiyah sudah tidak mempedulikan liontin itu lagi, dia langsung menjalankan hukumannya, mengepel lantai, membersihkan lelehan lilin, membersihkan kaca, semua dibersihkan oleh Siti Adawiyah.
Ketika Siti Adawiyah sedang mengepel lantai teras depan kamar Asrul, terdengar suara gaduh dari dalam kamar. Kemudian Siti Adawiyah memeriksanya. Betapa terkejutnya Siti Adawiyah melihat Pudel, anak anjing kesayangannya sedang memporak-porandakan ruangan baca Asrul.
"Pudel! Apa yang telah engkau lakukan? Kenapa semua menjadi berantakan?"
Semua alat tulis Asrul berserakan di lantai, dokumen-dokumen penting juga berserakan. Setelah Siti Adawiyah selesai merapikan barang-barang yang berantakan, dia melanjutkan membersihkan kamarnya.
Di dalam kamar Siti Adawiyah, ada Surti sedang duduk santai sambil ngemil kuaci. Semua kulit kuaci berserakan, tetapi Siti Adawiyah tidak memarahi Surti.
"Surti. Apakah engkau tidak sedang bekerja?" Siti Adawiyah menegurnya.
Surti menjawabnya dengan cuek. "Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku."
"Lihatlah. Betapa sulitnya pekerjaanku ini. Tidakkah engkau kasian dan menolongku?" Siti Adawiyah memohon kepada Surti.
"Engkau melakukan itu karena engkau menjalankan hukuman dari Panglima. Mana berani aku membantumu." Surti menjawab dengan enteng.
"Sungguh keterlaluan kau Surti, tidak setia kawan." Siti Adawiyah memasang muka cemberut.
"Memangnya engkau mau kemana? Apakah seluruh ruangan ini sudah engkau bersihkan?" Surti berfikir kalau Siti Adawiyah ingin pekerjaannya cepat selesai karena ada pekerjaan lainnya, makanya Siti Adawiyah memintanya untuk membantu.
Siti Adawiyah tidak menjawab, dia terus melanjutkan membersihkan meja altar. Diatas meja altar itu ada sebuah benda seperti piala.
"Piala apa ini, Surti?"
"Itu bukan piala. Itu adalah segel kekuatan keluarga Umar." Surti menjelaskan.
Siti Adawiyah penasaran. "Kenapa kekuatan keluarga Umar disegel? Apakah mereka telah melakukan kejahatan?"
"Dahulu, kepala keluarga dari keluarga Umar adalah seorang Jenderal yang hebat. Beliau telah banyak berjasa terhadap negeri akhirat. Suatu hari terjadi peperangan terhadap suku Iblis. Seluruh anggota keluarga Umar terkena virus pengaruh Iblis. Untuk menghindari penyebaran virus pengaruh Iblis, Khalifah Taimiyah menyegel kekuatan seluruh anggota keluarga Umar dan mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki negeri akhirat."
"Mengapa segel itu diletakkan disini?" Siti Adawiyah semakin penasaran.
"Segel itu adalah benda kenangan milik Khalifah Taimiyah. Beliau ingin mengenang jasa keluarga Umar dimasa kejayaannya."
Setelah menjelaskan hal ini, Surti terdiam beberapa saat, lalu Surti berpesan kepada Siti Adawiyah.
"Engkau jangan mempertanyakan hal ini dihadapan Khalifah Taimiyah, ini akan membuat dia sangat marah."
Siti Adawiyah tidak menjawab perkataan Surti, kemudian Surti meninggalkan Siti Adawiyah sendirian.
Sementara itu, di depan aula utama, Jenderal Umar bersama beberapa pengikutnya sedang berjalan menuju kediaman Khalifah Taimiyah. Jenderal Umar membawa sebuah kotak yang berisi sertifikat surat tugas sebagai Panglima negeri akhirat.
Dihadapan Khalifah Taimiyah, Jenderal Umar berlutut.
"Salam, Khalifah."
"Apa ini?" Khalifah Taimiyah tidak mengerti maksud Jenderal Umar menunjukkan Sertifikat Surat Tugas Panglima.
Jenderal Umar menjelaskan maksudnya. "Saya telah gagal membunuh siluman burung kendaraan raja Iblis. Saya takut akan mengecewakan Khalifah. Lagipula Panglima Jenderal Asrul telah kembali, aku tidak pantas untuk tetap memegang sertifikat ini. Kuharap Khalifah mengambil kembali sertifikat ini."
"Apakah engkau telah yakin?" Khalifah Taimiyah tidak menyangka kalau Jenderal Umar telah berfikir sejauh itu.
Jenderal Umar tidak menjawabnya. Lalu Khalifah Taimiyah melanjutkan.
"Kalau begitu engkau boleh menyerahkannya langsung kepada Panglima Jenderal Asrul."
"Itu..." Jenderal Umar tidak tahu harus menjawab apa.
Khalifah Taimiyah memecahkan lamunan Jenderal Umar. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa. Kalau begitu saya akan memberikannya langsung kepada Panglima Jenderal Asrul." Jenderal Umar tidak bisa membantah perkataan Khalifah Taimiyah.
Kemudian Khalifah Taimiyah mendekati Jenderal Umar dan membantunya untuk berdiri.
"Jenderal Umar, engkau telah memegang Sertifikat Surat Tugas Panglima selama dua puluh tahun. Seluruh warga negeri akhirat telah menyaksikan jasamu dalam memimpin pasukan. Begitupun dengan Panglima Jenderal Asrul. Kalian berdua adalah pilar negeri akhirat. Aku ingin kalian berdua tetap akur demi keharmonisan negeri akhirat."
Jenderal Umar menjawab. "Aku mengerti, Khalifah."
Khalifah Taimiyah tersenyum. "Baguslah kalau begitu."
Setelah pertemuannya dengan Khalifah selesai, Jenderal Umar kembali ke kediamannya. Ajudan pribadi Jenderal Umar bertanya. "Apakah Khalifah menerima sertifikat itu, Jenderal?"
Jenderal Umar menghela nafasnya. "Khalifah Taimiyah memerintahkan agar aku menyerahkannya langsung kepada Panglima Jenderal Asrul."
"Bukankah hal ini berarti telah jelas bahwa Khalifah Taimiyah menginginkan agar Jenderal tunduk kepada Panglima Jenderal Asrul?"
Jenderal Umar menundukkan kepalanya. "Sudah bukan rahasia umum bahwa Khalifah Taimiyah sangat menyukai Panglima Jenderal Asrul."
Ajudan pribadi Jenderal Umar khawatir Jenderal Umar akan melampiaskan kemarahannya kepada ajudannya. "Jangan marah, Jenderal Umar. Bukankah kita telah mengetahui bahwa hal ini pasti akan terjadi?"
"Memangnya kenapa jika aku memberikan Sertifikat Surat Tugas Panglima itu kepada Panglima Jenderal Asrul? Bukankah ketika di persidangan sudah jelas bahwa Panglima Jenderal Asrul telah terpojok atas insiden pembunuhan terhadap prajurit negeri akhirat?"
Ajudan pribadi Jenderal Umar menyatakan pendapatnya. "Lucu sekali. Khalifah Taimiyah menyukai Panglima Jenderal Asrul. Sementara jutaan prajurit negeri akhirat tidak harus mematuhinya. Untuk hal ini, aku adalah orang yang pertama sebagai orang yang menentangnya."
Ajudan pribadi Jenderal Umar melanjutkan perkataannya.
"Jenderal Umar, daripada kita tetap tertekan dengan keadaan ini, bagaimana kalau kita mendesaknya saja? Semua orang pasti berfikir bahwa tidak mungkin tidak terjadi sesuatu peristiwa dibalik tragedi pembunuhan di peperangan jurang neraka. Didalam Sertifikat Surat Tugas Panglima tentu ada rincian laporan kejadian peperangan. Biarkan Panglima Jenderal Asrul membuka sendiri laporan peperangan itu, disitu akan terlihat jelas apa yang telah dilakukan oleh Panglima Jenderal Asrul."
Jenderal Umar menanggapi. "Tentu saja itu harus dilakukannya. Oh ya. Bagaimana perkembangan penyelidikanmu mengenai peristiwa di Pulau Es Utara?"