Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Salah Prasangka
Gelagatnya terlihat mencurigakan, Zia mencium aroma penguntitan lagi dan lagi. Seakan tak lepas dari Mikhail, selalu saja kemanapun dia pergi akan selalu diikuti.
"Bapak ngikutin saya?".
"Memangnya kamu siapa sampai aku ikuti? Zia jangan terlalu percaya diri ya ... kamu tau kan aku sesibuk apa?"
Meski hassratnya kerap menggelora, tapi gengsi Mikhail tetap setinggi harapan orangtua. Mana mungkin dia mengaku jika kemarin kakinya bahkan membiru karena tersandung sewaktu berlari mengikuti Zia dan Zidan di area parkir.
Padatnya sepeda motor yang berbaris rapi dan mata Mikhail yang tidak terlalu berfungsi kemarin adalah alasan kenapa dirinya bisa kehilangan keseimbangan.
Demi bisa memastikan apa yang Zia lakukan, dia rela mengikuti wanita itu kemanapun. Tak Zia pikirkan sepanas apa hati Mikhail ketika melihat manisnya Zidan di bioskop kemarin.
Buang-buang waktu tapi itu dia lakukan karena tak bisa tenang. Hari minggu yang seharusnya dia gunakan untuk istirahat dan mencari kesenangan justru dia habiskan dengan membakar dirinya sendiri.
Posisinya memang tak berarti dibadingkan Zidan, pria itu baru masuk dalam hidup Zia beberapa minggu lalu. Dia tidak mengerti saat ini memang cinta atau hanya karena candu tubuhnya saja, namun yang jelas dadanya seakan ditekan kala melihat Zidan tengah merasa sebagai pria paling bahagia di dunia.
"Oh iya? Kok bisa tau kalau kemarin kami pelukan?" tanya Zia tersenyum miring, entah sejak kapan batinnya juga bangkit sebagai penggoda.
"Ya tau saja, memangnya pasangan kalau bertemu mau melakukan apa selain pelukan, ciuman dan lainnya? Tidak mungkin bahas pasar modal, Zia."
Benar juga, memang ucapan Mikhail tidak salah. Ucapan Mikhail tidak ada yang salah dan jelas-jelas ini nyata. Pria itu membuang napas kasar dan kini fokus dengan layar monitornya seperti biasa.
"Bapak kenapa suka kartun?"
"Lucu," jawabnya singkat, padat dan kurang jelas karena yang Valenzia mau bukan jawaban yang begitu.
"Selain lucu apa?"
"Hanya lucu, kamu kenapa tanya begitu?" Mikhail mendongak dan pertanyaan ini cukup serius baginya.
"Aneh aja ... nggak cocok sama orangnya," jawab Zia singkat, tanpa menatap Mikhail dan menautkan ujung-ujung jemarinya.
"Maksud kamu cocoknya nonton blue film begitu?" tanya Mikhail mengerutkan dahi, sepertinya memang itu arah pembicaraan Zia, pikirnya.
"Ya nggak begitu juga! Siapa yang mikirnya begitu ... walau memang kemungkinan besar itu tontonan Bapak," tutur Zia biasa saja karena dia merasa ini tidak salah sama sekali.
"Untuk apa nonton kalau aku bisa praktek," celetuknya yang justru membuat wajah Zia memerah, panas dan seketika malu sendiri.
"Boleh saya tanya sesuatu?"
Berat sebenarnya, sejak kemarin dia ingin mempertanyakan hal ini. Entah kenapa hati Zia gusar dan penasaran sekali bagaimana Mikhail sebenarnya.
"Apa?"
"Dalam hidup Anda, apa tiga hal utama yang dibutuhkan saat ini?" tanya Zia pelan-pelan, dia belum seberani itu untuk mempertanyakan hal macam-macam pada Mikhail.
"Kekuasaan, kasih sayang dan sek*s." Mikhail menjawab tegas dan pada kalimat ketiga dia menoleh pada Zia membuat hati wanita itu berdenyut seketika, entah ini perasaan apa namun yang jelas ini lebih persis sebagai rasa sakit.
Faktanya demikian tapi kenapa jawaban pria itu menggores hatinya. Pria itu melihat perubahan dari raut wajah Zia, sejenak perhatiannya tertuju pada Zia yang kini menunduk lesu.
"Kamu kenapa? Apa aku salah bicara?"
Pria itu sudah mengenal berbagai karakter wanita, namun yang cukup menguras tenaganya lantaran sedikit sulit dipahami adalah Zia. Bukan karena wanita sebelumnya tidak pernah seperti Zia di hadapan Mikhail, tapi memang pria itu yang menolak untuk memahami mereka.
"Enggak, saya sudah boleh keluar sekarang?"
Mikhail menatap pergelangan tangan kirinya, sore ini dia harus ke luar kota untuk beberapa waktu demi memastikan cabang yang berada di kota kelahiran sang mama baik-baik saja.
"Sebentar, tetap di sini sampai jam makan siang ... setelah itu kamu akan merindukanku," ucapnya sengaja mengedipkan mata, menciptakan tanya dalam benak Zia yang tidak mengetahui maksud pembicaraan Mikhail.
"Bapak mau kemana?"
"Ke luar kota, ada urusan di sana ... bukan berarti kamu bebas pacaran, Zia." Tatapan matanya setajam itu bak seorang kakak yang melarang adik perempuannya berhubungan dengan seorang pria.
"Berapa lama? Sendiri ... atau?"
"Kurang lebih satu minggu, sendirian," jawabnya sembari menarik sudut bibir, beberapa pertanyaan sederhana Zia membuatnya merasa berharga.
"Ooh begitu, kenapa mendadak?" Pertanyaan itu sejak tadi terlontar sendiri sama sekali Zia tak sadar jika pertanyaannya sudah sebanyak itu.
"Ini tidak mendadak, Zia ... kamu saja yang tidak tau perkembangan."
"Mana saya tau agenda Bapak, aneh banget deh heran." Berbicara dengan Mikhail ternyata sesekali bisa menaikkan tensi darah, jawaban asal yang membuatnya cukup terkejut dan itu diluar dugaan.
"Santai, kamu kenapa jadi semakin galak begini? Atau jangan-jangan hamil," tutur Mikhail disertai gelak tawanya, pertanyaan spontan yang tiba-tiba membuat Zia merinding.
"Ngaco, siapa yang hamil!" sentaknya tak terima, jujur saja dia takut jika sampai itu terjadi.
"Ya kamulah, tapi kamu datang bulan ya? Tidak mungkin hamil sekarang." Santai sekali dia bicara, tanpa berpikir jika Zia sekarang ketar-ketir dan berharap jangan sampai hal itu terjadi padanya.
"Bapak jangan sembarangan dong ngomongnya, kalau beneran gimana," gumam Zia pelan, banyak sekali ketakutan Zia jika sampai benih yang dia dapatkan dari Mikhail benar-benar hidup dalam rahimnya.
"Hm? Kenapa mukanya gitu?" tanya Mikhail meriah dagu Zia, dia tidak suka lawan bicaranya menunduk saat bicara.
"Takut." Zia hendak menepis tangan Mikhail namun pria itu tak berniat melepaskan Zia walau sejenak.
"Takut apa? Takut hamil atau takut jadi istriku?"
Tbc