Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak punya kesempatan
Saat Darwin keluar dari kafe, ia terkejut melihat Amanda berdiri di dekat pintu, tangan disilangkan di dada, tatapannya penuh kecurigaan. Wajah Amanda menunjukkan ekspresi yang tak bisa ia sembunyikan—campuran cemburu dan kesal.
"Kau belum pulang? Kenapa menungguku di sini?" tanya Darwin dengan nada terkejut, meskipun senyumnya tidak bisa ia sembunyikan.
Amanda menghela napas, tatapannya menusuk, dan ia menegakkan tubuhnya. "Aku menunggumu karena aku curiga," ujar Amanda dengan nada sedikit sinis, matanya menyorot tajam. "Kau sangat sering sekali berinteraksi dengan Belle. Apa yang sebenarnya sedang kau bicarakan dengannya?"
Darwin menahan tawa, mendekati Amanda dengan nada menggoda. "Jadi, pacarku ini cemburu, ya?" tanyanya sambil mengangkat alis, memperjelas godaannya.
Amanda mendengus kesal, tapi pipinya sedikit memerah, menunjukkan bahwa ia memang merasa terganggu. "Bukan soal cemburu, Darwin. Aku hanya merasa... aneh. Kau dan Belle akhir-akhir ini terlalu sering bertemu. Apa dia punya masalah besar yang kau tidak ceritakan padaku?"
Darwin tersenyum lebih lebar, meletakkan tangannya di bahu Amanda dengan lembut. "Amanda, kau tahu kan aku selalu jujur sama kamu. Belle memang punya masalah, tapi itu bukan sesuatu yang kau perlu khawatirkan. Aku hanya mencoba membantunya sebagai teman, tidak lebih."
Amanda menatap Darwin dengan sedikit ragu, meskipun hatinya perlahan mulai melunak. "Apa benar cuma itu? Karena dia sekarang satu sekolah dengan kita, aku hanya ingin tahu hubungan kalian sebenarnya seperti apa."
Darwin tertawa pelan. "Sayang, kau tahu aku hanya punya satu pacar, dan dia ada di hadapanku sekarang." Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, mencoba menenangkan Amanda. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal Belle. Aku hanya membantu seorang teman. Lagipula, apa kau mau aku berhenti membantu dia?"
Amanda terdiam sesaat, lalu akhirnya menghela napas, perlahan tersenyum. "Tidak... tidak perlu. Aku hanya... ya, kau tahu aku seperti apa." Amanda mencoba tersenyum, meskipun masih ada sedikit kecemasan di matanya.
"Tenang saja," ujar Darwin, mengambil tangan Amanda dan meremasnya lembut. "Aku bersamamu, dan itu tidak akan berubah."
Amanda akhirnya tersenyum penuh, meskipun dalam hati ia masih sedikit tidak yakin. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk mempercayai Darwin dan mengabaikan kecemburuannya.
Mereka pun berjalan pulang bersama, tangan mereka saling menggenggam, meski di benak Amanda, Belle masih menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan.
Belle yang masih berada di cafe, Belle duduk di sudut kafe, menyesap kopinya sambil menatap ponselnya yang terus-menerus bergetar. Layar ponselnya menampilkan pesan dari Draven yang tak henti-hentinya masuk. Pesan-pesan itu penuh dengan rasa khawatir dan pertanyaan yang belum terjawab.
"Aku sangat mengkhawatirkanmu, Belle. Tolong balas pesanku."
Belle menghela napas panjang, menggigit bibir bawahnya. "Kenapa dia tidak bisa berhenti?" pikirnya, semakin merasa kesal. Draven seolah tidak mengerti isyarat, meskipun Belle sudah berusaha menghindarinya sejak mereka bertemu kembali di sekolah.
"Aku tidak bisa terus begini. Aku hanya ingin tenang di sekolah ini tanpa melibatkan diri dengan dia," pikir Belle sambil menatap ke luar jendela, berharap udara segar bisa sedikit meredakan kekesalannya.
Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini, Draven menulis pesan yang lebih panjang.
"Aku hanya ingin bicara, aku ingin sekali berbicara denganmu."
Belle meletakkan ponselnya dengan keras di atas meja, membuat sendok kecil di sampingnya sedikit bergemerincing. Ia tahu Draven mungkin tulus, tetapi ia tak ingin terlibat lagi. Kenangan di Manchester dan perasaan lama yang muncul hanya akan membuat segalanya lebih rumit, terutama dengan Paula yang selalu waspada dan cemburu.
"Dia punya tunangan," Belle mengingatkan dirinya sendiri, mencoba untuk menenangkan hatinya yang sedikit bergetar karena pesan-pesan tersebut.
Sambil menatap ke arah kopinya yang sudah dingin, Belle memutuskan untuk tidak membalas pesan Draven. Ia mengambil ponselnya lagi, melihat notifikasi pesan yang masih belum terbaca, lalu mematikannya. "Aku harus fokus dengan hidupku sekarang. Biarkan dia dengan kehidupannya sendiri," bisik Belle dalam hati.
Tanpa berlama-lama lagi, Belle berdiri, menyampirkan tas di bahunya, dan keluar dari kafe. Ia butuh udara segar, jauh dari kebisingan pesan yang terus menghantuinya. Di luar, jalanan mulai sepi, dan Belle berjalan tanpa arah. Langkahnya pelan, namun di dalam pikirannya, segalanya begitu kacau.
***
Draven duduk di sofa kamarnya, dengan ponsel di tangannya yang masih memperlihatkan pesan-pesan yang belum dibalas oleh Belle. Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi, merasa seperti dikepung dari segala arah—oleh Belle yang terus menghindarinya, Paula yang terus menuntut perhatiannya, dan keluarganya yang memaksanya menjalani hidup yang tidak pernah ia inginkan.
"Sialan..." Draven berbisik pelan, sambil menatap kosong ke arah jendela kamarnya. "Aku sudah lelah dengan semua ini. Rasanya aku ingin mengakhiri pertunangan ini sekarang juga."
Tatapan Draven semakin tajam, namun perasaan tertekannya semakin dalam. Setiap langkah yang ia ambil seolah-olah bukan keputusan pribadinya, tapi pilihan yang sudah dibuatkan oleh ayahnya, Lucas. Sejak kecil, Draven selalu berada dalam bayang-bayang harapan ayahnya—menjalankan perusahaan, menjalani hubungan dengan Paula yang sudah diatur, bahkan menjalani hidup sesuai skenario yang dibuat oleh keluarganya.
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamarnya, kepalanya penuh dengan pemikiran tentang Belle. Ada sesuatu tentang Belle yang berbeda. Di Manchester, ia merasakan kedamaian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, dan sekarang, ketika mereka bertemu lagi, perasaan itu muncul kembali. Namun, ada tembok besar yang memisahkan mereka—Paula, keluarganya, dan tuntutan sosial.
Draven melemparkan ponselnya ke sofa, berjalan menuju jendela besar di kamarnya, menatap pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. "Aku tidak punya pilihan... Aku terjebak dalam permainan ini," gumamnya, suaranya lemah. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin kuat keinginan untuk melawan.
Ia kemudian menghela napas panjang, berbalik menatap ponselnya yang masih tergeletak di sofa. Pikiran tentang mengakhiri pertunangannya dengan Paula terus berputar di kepalanya. "Aku tidak pernah mencintainya. Semua ini cuma bisnis, permainan kekuasaan," ujarnya pelan.
Namun, ia tahu ini bukan keputusan yang mudah. Ayahnya akan marah besar, dan keluarganya akan kehilangan kesempatan untuk menggabungkan dua kerajaan bisnis. Draven tahu dia harus hati-hati, tetapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah ini. Ia sudah terlalu lama hidup tanpa pilihan, dan sekarang, ia ingin merebut kembali kendali atas hidupnya—meskipun itu berarti harus melawan keluarganya.
Di sisi lain, Belle masih menjadi teka-teki. Ia tahu Belle bukan seperti gadis-gadis lain yang hanya tertarik padanya karena status atau popularitas. Belle berbeda, dan itu membuatnya semakin ingin dekat. Tapi bagaimana caranya agar Belle mau mendengarnya, sementara ia masih terikat dalam pertunangan yang tidak pernah ia inginkan?
Draven duduk kembali di sofa, mengambil ponselnya, dan tanpa berpikir panjang, menulis pesan baru untuk Belle:
"Aku harus bicara denganmu. Ini penting. Kumohon, beri aku kesempatan sekali saja."
Namun, kali ini ia ragu. Setelah beberapa saat menatap pesan tersebut, ia tidak langsung mengirimnya. Draven hanya memandangi layar ponselnya, berharap suatu hari ia bisa memiliki kebebasan untuk membuat keputusannya sendiri.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus